Detak Labia

devi atmaja
Selayang
Published in
3 min readApr 27, 2022

Namaku Rahayu. Aku senang membuat kopi setiap pukul dua belas malam. Setelahnya, aku pergi melacur. Bukan pada waktu atau pun norma sosial yang biasa dijadikan analogi orang-orang kota. Aku benar melacur. Berpakaian mini dan bersolek tebal. Menjual kemolekan tubuhku untuk bersanggama demi uang. Hari ini taman dan trotoar tidak dipenuhi mata lapar dan adiksi kelekukan tubuhku. Entah sedang sepi atau barangkali istri dan jabatan mereka meminta untuk dimanja, satu hari saja.

Tepat pukul tiga, aku pulang ke rumah reyotku. Pendar cahaya gedung yang mencakar langit tidak bisa menyamarkan nyata ilusi kedukaan rumahku. Sebab, becek-kotor-rapuh terlalu nyata untuk bias yang mencumbu langit.

“Kalau udah pukul tiga, tugasku hanya ngopi, merokok, dan mandangin si kecil yang lagi tidur. Bajunya terbungkus warna coklat. Apik sekali. Nanti kalau sudah besar, bisa jadi pilot, pengusaha, atau pun pemimpin di gedung itu. Pekerjaan orang kota.”

Sudah pukul tiga lewat lima belas menit, segera kuhentikan senyum renyahku. Masih kupandangi si kecil. Mengamuk tidur lelapnya dengan mata nanarku. Berharap ia kembali tersadar dari mimpi gilanya akan kesepian. Senyumku menyayat seluruh permukaan kulitnya. Membelai halus segala resah yang hampir tertanam rapi, tak tersentuh. Ia masih saja bisu.

Biasanya, setelah puas, aku terlelap. Mata memeluk mata. Pada tubuh kecoklatan anakku, si kecil.

***

Lukisan: Indro

Pukul delapan adalah realitas paling nyeri. Si kecil masih saja tidur. Tak tega membangunkannya, kutitip kecup pada dahi mungilnya. Meninggalkannya adalah suatu keharusan. Aku harus bekerja demi berlembar kertas yang bisa membuatnya jadi orang kota. Apa saja aku lakukan, mengetuk rumah-rumah, mengumpulkan batu. Bahkan, melepas kain di pinggir kali, barangkali ada yang ngaceng dan menyewaku.

Namun, pukul delapan adalah realitas paling nyeri. Bunyi klakson meredam empati orang-orang kota. Mereka meludahi sampai menjadi genangan. Kalau sudah jadi genangan, aku bisa melihat diriku yang amat menyedihkan. Bersimbah borok-borok ketakutan. Setelahnya, suara klakson tergantikan pekik ruam suaraku.

“Pensiun jadi pelacur malah jadi gila. Pasti dia kena azab.”

“Kasihan anaknya. Korban perempuan sundel itu.”

“Jangan deket-deket deh, nanti ketularan gila. Amit-amit.”

Suara mereka menghantam tubuhku. Tapi, dua tiga bogeman juga turut melukai pelipis. Perih. Kutemui sekujur tubuhku memerah. Memekat tiap kali mereka membicarakan si kecil.

Tapi, tidak dengan Pak Arif. Ia tersenyum ramah. Teramat ramah.

Aku balik melontarkan senyum dengan mata nyalang. Kebingungan membalas senyum Pak Arif dengan apa. Kalau sudah melukis senyum biasanya mulutku tumpah ruah. Kalau sudah tumpah ruah, orang-orang jadi kebingungan. Kemudian, aku meninggalkan kerumunan, terseok-seok.

Sesampainya di rumah, kehampaan memeluk erat tubuhku. Bau busuk menguar di seluruh ranjang penuh rayap. Si kecil masih terlelap. Damai dalam bungkus kecoklatan yang melekat di tubuhnya. Kukecup pelan dahinya. Merebah segala renta pikiran di samping tubuhnya. Tetiba, langit-langit kamar mulai memutar sebuah film. Mengingatkanku akan jurang kesepian. Menajamkan indra-indra di tubuhku. Membuat refleksi yang luar biasa besar. Bau busuk si kecil memantik kewarasanku.

“Maaf atas cita-citamu yang ikut terkubur. Maaf, kepalaku terantuk waktu Pak Arif memaksa batangnya untuk masuk. Maaf atas ranjang peyot ini. Maaf, aku tidak bisa menjadikanmu hidup seribu tahun.”

Aku hening setelahnya. Membopong si kecil yang sudah terbungkus kain kecoklatan. Pergi ke belakang rumah, tempat pemakaman si kecil. Aku tidak punya uang untuk menguburnya di Kasablanka. Aku menggali tanah lebih dalam dengan suam kuku jariku. Yang kemarin sudah jeblos kena hujan.

“Si kecil sudah mati. Tiap pukul dua belas malam aku menggali pemakamannya. Mengecup dahinya.”

Kuambil sejumput tanah. Mencampurnya dengan segelas kopi hitam saset yang siap kuseduh. Kuminum walau asap masih mengepul ke atas. Kujilati tanah yang merangsek masuk ke kuku jariku. Setidaknya, si kecil hidup pada keringkihan tubuhku. Senyumnya berlarian di depan mata kacaku. Selalu hampir pecah.

Perlahan, kunyalakan sigar sambil menikmati piktorial yang diilusikan diriku. Kuseruput kopi hingga tanah melumuri bibirku yang kering pucat. Sudah pukul tiga dini hari. Waktunya aku tertawa. Terbahak-bahak. Tergila-gila. Teriris-iris telinga siapa pun yang mendengar tawaku. Lalu seketika, aku terpilu-pilu. Terseok-seok. Terberai-berai mata siapa pun yang melihatku.

Esoknya, aku akan bangun di hari penuh anyir. Menyuapi anakku dari makam yang selalu basah. Kembali menemui kematianku. ❖

Lukisan: Indro

--

--