Gastrooz Belum Kehabisan Bensin

Reza A. Fernando
Selayang
Published in
5 min readFeb 11, 2022

Jumat selepas salat, ketika saya masih asik bergumul membakar tembakau yang dimampatkan dalam papir, sebuah notifikasi pesan Whatsapp berdenting. Seorang kawan bertanya apakah saya mau menulis tentang EP Keluh Lelah milik Gastrooz. Tentu saja saya bersedia dengan senang hati.

Kebetulan Gastrooz baru saja melaksanakan tasyakuran album mereka beberapa hari lalu meski rilisnya sebenarnya sudah sejak Mei 2021. Harap maklum, tasyakuran ini tentu saja minus nasi besek yang biasanya lengkap dengan lauk ayam bakar serta lalapan, plus tahu tempe. Kebetulan pula Muhammad ‘Jiunk’ Hafizh, adalah salah satu kawan dekat saya. Apalagi saya pun ikut menyaksikan bagaimana Gastrooz berproses. Setidaknya, saya kebetulan hadir pada hari itu ketika Jiunk baru saja putus dengan pacarnya dan kemudian memutuskan untuk menulis “Ode Si Melankolis”. Semuanya memang serba kebetulan. Aneh. Maka, saya coba tulis esai ini agar semuanya tidak menjadi hanya sekadar kebetulan.

Gastrooz, band asal Bekasi yang awalnya lahir dari Jiunk dan teman-temannya waktu di SMAN 18 Bekasi dulu, sering kali disebut-sebut sekaligus digadang-gadang sebagai yang kembali menghidupkan skena musik indie dan underground Bekasi setelah bubarnya Bestiality — yang kini berevolusi menjadi Humanimal. Jiunk, sebagai frontman Gastrooz, manggut-manggut saja dengan harapan itu. Sebab, bersama Creatitude Movement serta Robel Rebel, Jiunk dan kawan-kawan jelas saja sudah membikin riuh sudut-sudut kota Bekasi yang memang biasa sesak dengan raungan distorsi gitar dalam beberapa kali penyelenggaraan gigs. Persetan dengan pandemi. Virus keparat ini tak akan bisa menghalangi kami untuk bersenang-senang.

Suasana “slametan” album mini Keluh Lelah.

Meski Gastrooz tampaknya telah mengembalikan skena musik bawah tanah Bekasi yang nyaris mati suri, mereka sebenarnya pernah hampir mogok, enggan jalan. Saya mengetahui cerita ini sejak pertama kali saya mengenal Jiunk, bahkan cerita ini sudah diceritakannya berkali-kali sampai pada tahap saya yang lebih hafal detail ceritanya. Singkat cerita, band ini nyaris bubar perkara selangkangan. Tapi, Jiunk tak mau mundur. Napasnya ada hanya untuk band ini. Maka, pada tahun 2020 band ini kembali mendapatkan sulutan bensinnya dengan merilis beberapa single sambil melakukan beberapa kali bongkar pasang personel.

Dengan semangat DIY ala Punk serta gaya hidup khas rock and roll star yang mepet-mepet sex-drugs-and-alcohol, Gastrooz memang langsung tancap gas, siap untuk sebuah perjalanan jauh. Meraung beringas sebising mesin Harley V-Twin 1200 cc. Gahar dan berisik. Mereka mencoba mencampur genre grunge dan psikedelik, seperti ramuan selembar LSD yang tertempel di gusi atau bola mata. Maka, lahirlah gaya musik ala Gastrooz. Lagi pula, persetan dengan genre. Sudah tak relevan. Kami hanya ingin berpesta dan berbahagia.

Jiunk numpang nampang di jalanan Summarecon, Bekasi. Tancap doong, bro! (Sumber: IG Jiunk)

Mei 2021. Akhirnya, Gastrooz merilis EP mereka bertajuk Keluh Lelah. Saya bukan orang yang amat mengerti musik seperti Bens Leo atau pun jurnalis musik ternama macam Soleh Solihun atawa Rio Tantomo. Saya juga nggak ngerti-ngerti amat urusan teknis main musik. Saya malah buta nada. Tapi, jikalau saya boleh merangkum apa yang ada dalam Keluh Lelah, sejatinya EP ini merupakan wahana bagi Jiunk mengeluhkan isi hatinya yang tampak mulai lelah dihantam realita hari-hari. Sebab, Jiunk adalah epitome dari kata apes.

Trek pertama dalam EP ini berjudul “Nihil”. Saya tak tahu pasti apakah judul ini menyiratkan ke arah nihilisme Nietzsche-an. Namun, apa yang bisa saya tangkap dari nomor pembuka ini adalah bagaimanapun kita hidup, sekeras apapun kita berusaha, semampus-mampusnya; semua pada akhirnya omong-kosong belaka. Kita hanya berputar-putar dalam fantasi yang kita kira bahagia, nyatanya nihil dan percuma.

Digilas waktu dalam lingkar bahagia
Yang nyatanya sebatas repetisi fantasi buta

Trek selanjutnya adalah “Ode Si Melankolis”, favorit saya dalam EP ini. Tak perlu susah-susah menafsirkan, saya tahu persis mengapa lagu ini ditulis. Saya menyaksikan langsung bagaimana Jiunk menulis lirik untuk lagu ini pada Hari Lebaran 2020 lalu. Seusai menghabiskan kue pancong setengah matang dengan topping meses coklat yang lumer dan cukup untuk membuat gigi ngilu karena terlalu manis, Jiunk menumpahkan seluruh kekesalannya setelah mengetahui pacarnya saat itu minggat dengan lelaki lain. Apesnya, tetap saja Jiunk yang dianggap paling bersalah dalam kejadian itu. Dengan nada kemarahan yang diberi topping gaya ironi, lagu ini tuntas sudah menumpahkan betapa apesnya dikau, Jiunk.

Akulah si melankolis
Beri aku belas kasihanmu
Sebab itulah senjataku
Tuk renggut semua hakmu!

“Positif” menjadi nomor ketiga dalam EP ini. Ini tentu tidak ada hubungannya dengan positif covid. Sebab, bagi Jiunk, covid hanya akal-akalan. Hehe… Yang jelas, dia merasa masyarakat dewasa ini kerap kali terbuai dengan sikap positif yang semu. Semua hal seolah dipaksakan untuk selalu diambil nilai positifnya. Huh, kami tak butuh positif! Maka, persetan dengan omongan Schiller bahwa “hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan”. Toh, kita sudah kalah dari awal, bukan?

Lagu “Problematika Dogmatis” menjadi penutup dalam EP ini. Penutup yang cukup manis. Bagaimana Jiunk ingin mengkritik dogma yang selama ini ia terima dalam hidupnya. Saya yakin lagu ini berasal dari keresahannya terhadap ibunya yang menanyai tiap temannya yang datang ke rumahnya apakah mereka seorang yang relijius atau bukan.

Usai sudah perjalanan saya berkendara bersama Keluh Lelah-nya Gastrooz. Perjalanan yang cukup menyenangkan. Kita dibawa pelan terlebih dahulu di awal album dengan “Nihil”. Sedikit tancap gas sekencang tarikan motor modipan thai-look, ngebut di trek sepanjang 201 meter pada “Ode Si Melankolis” dan “Positif”. Kemudian, kembali mengatur kecepatan dengan stabil pada “Problematika Dogmatis”.

Personel Gastrooz (Sumber: IG Gastrooz)

Jiunk (vokalis), Rifqi (drummer), Nuel (keyboardist), Pajong (gitaris), dan Men (basis) berhasil memberikan pengalaman berkendara yang ciamik. Mereka mengimani apa kata Koil dalam “Nyanyikan Lagu Perang”.

Hei hei, tidakkah kau bosan menyanyikan keluhan

Maka, kini keluhan mereka sulap menjadi sebuah pengalaman berkendara: bersama Keluh Lelah.

--

--

Reza A. Fernando
Selayang

Gantung mimpi setinggi langit. Gantung leher di langit-langit