Ke Jakarta: Sebelum Pandemi Itu

Reza A. Fernando
Selayang
Published in
4 min readDec 29, 2021

jakarta penuh dengan benci
penuh dengan deritanya

Jakarta Story”, Thirteen

Tidak seperti Jogja — yang ujar puisi Jokpin terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan — Jakarta sama sekali tak bisa dibikin romantis. Pun, Jakarta tak terbuat dari romantika ala Bandung, sebuah kota yang konon tercipta ketika Tuhan sedang tersenyum (entah Tuhan yang mana yang suka tersenyum).

Tampaknya, justru larik lagu Thirteen yang memang lebih tepat menggambarkan Jakarta: kota yang penuh benci dan derita. Seperti pula kata Eka Annash dalam lagunya, “Ode Pinggiran Jakarta”, tempat ia mencoba meraih sendok nasibnya yang tak berubah selama dua tahun, dengan tulang yang hanya terbalut kopi dan mie instan.

Saya sendiri tidak lahir dan besar di Jakarta. Saya lebih banyak tinggal dan tumbuh di pinggiran-pinggirannya. Hanya sempat beberapa kali pengalaman hidup ini membawa saya menyenggol tubuh ibukota Indonesia ini. Kuliah di salah satu kampus di Jakarta makin membuat saya sedikit banyak merasakan Jakarta.

Mengendarai Honda BeAT Injeksi 110 cc keluaran 2015 yang pajaknya terlambat lima tahun, saya membelah aspal menapak tilas jalan-jalan di Jakarta. Berhenti sebentar, tepat di depan stasiun Jatinegara, sembari memijit-mijit rokok kretek yang sedikit tertekuk, lantas menyalakannya. Ya, saya memang bajingan aspal, merokok sambil berkendara. Tapi, siapa peduli? Biar saja asap-asap rokok ini berkelindan bersama asap-asap kendaran bermotor yang di antaranya telah lulus uji emisi, sementara yang lain memuntahkan asap hitam bak tinta cumi-cumi menyembur muka dan menjadikannya kumal.

Sumber foto: Pinterest

Earphone tertancap di telinga menguarkan suara Jimi Multhazam dengan “Matraman” di daftar putar, mengantar saya menyambangi Universitas Negeri Jakarta di Rawamangun. Mereka-reka ung kondisi dua tahun ke belakang sebelum pandemi menggerogoti aspek-aspek kehidupan dan saya masih berkuliah secara offline, bertatap muka langsung dengan teman-teman, menyomot gorengan dan rokok, sambil menyeduh kopi di warung samping jurusan, lantas berbincang apa saja dengan teman-teman lain yang memutuskan membolos masuk kelas.

Menghenyakkan pantat di depan jurusan dengan kopi saset seduhan di gelas plastik, dengan rokok filter ketengan yang terbakar di antara jari manis dan jari tengah sembari sesekali menyesapnya. Sebelum gelap malam menyingsing dan satu per satu dari kami berjalan ke arah parkiran, mengambil sepeda motor masing-masing dan segera pulang, atau sekadar mampir ke Sunan Giri untuk santap malam terlebih dahulu. Atau tidak, beberapa dari kami memilih pulang lebih telat, menghabiskan malam di kampus sembari masing-masing dari kami merogoh kantong, mengeluarkan pecahan sepuluh ribu atau lebih, patungan membeli seplastik Intisari sebagai teman bicara. Dengan minuman yang konon bisa membuat Atlas kuat memanggul palang langit, beberapa dari kami membicarakan hal-hal yang perlu dan tak perlu. Membicarakan hidup yang begini-begini saja, berisi kekecewaan dan kekecewaan lainnya dan bagaimana mensiasatinya. Kita diperkosa kehidupan dan terpaksa menikmatinya.

Saya memang mengatakan bahwa Jakarta sama sekali tak pantas untuk dibikin romantis, tetapi saya justru merasakan pengalaman yang romantis di Jakarta. Saya menemukan pasangan — kini telah menjadi mantan pasangan — yang membantu mengantar saya menyelami Jakarta lebih jauh.

Berawal dari Release Party album kedua Barasuara dan seterusnya dan seterusnya hingga kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Kami membelah Jakarta selayaknya Musa membelah laut merah. Menyambangi gigs ke gigs dari timur paling jauh hingga ujung paling selatan Jakarta. Barasuara, The Sigit, Elephant Kind, The Trees and The Wild, dan seterusnya dan seterusnya. Semua kami libas.

Release Party Barasuara (Foto: Arsip Pribadi)

Belum lagi pengalaman kuliner kami. Menikmati dimsum ala Tiongkok di bilangan Kemang Selatan, Nasi Hainan di Fatmawati, atau sekadar mie ayam babi di daerah Glodok. Wisata kuliner demi pemuasan lidah kami kala itu mengantar saya berkeliling Jakarta. Membuat saya mengenal jalan-jalan di Jakarta seakrab saya mengenal jalan-jalan di Bekasi.

Dan, di antara riuhnya Jakarta yang tak pernah tertidur, ngobrol adalah salah satu cara kami agar menjadi tetap waras. Entah itu sekadar duduk-duduk di pelataran Plaza Festival, bahkan sampai menginap semalaman karena dia ogah pulang malam itu. Entah itu jalan kaki mengelilingi Kemang dengan sebotol Intisari (lagi-lagi) yang telah kami pindahkan ke dalam botol lain, tak lupa sebungkus rokok filter yang kami hisap bersama. Pokoknya, ngobrol! Membicarakan apa saja mengenai kami, kehidupan, dan Jakarta yang begitu sureal ini.

Sayangnya, jalan cinta kami tampaknya tidak semulus kepala gundulnya Foucault. Lebih mirip jalanan Bekasi yang sering saya lewati ketika berangkat ke kampus. Banyak bolong dan retak, tambal sulam di sana-sini. Hubungan kami kandas diiringi gema takbir yang bersahut-sahutan di malam H-1 lebaran itu.

Jakarta, Jakarta
dan kenangannya

Kunto Aji, “Jakarta Jakarta

Toh tanpa asmara pun, Jakarta tatkala mendung punya tempat tersendiri dalam kenangan saya. Entah mengapa. Juga, hanya di Jakarta saya dapat menyaksikan sesaknya kereta Tanah Abang-Bekasi, ‘nempel dari kulit ke kulit. Benar-benar tak ada ruang tersisa. Bagaimana sumpah-serapah menguar dari mulut pengendara motor yang bersenggolan akibat tak sabar ingin buru-buru sampai tujuan, bahkan tak jarang berakhir dengan adu jotos.

Jakarta kota yang tak pernah tidur. Malam yang selalu meriah oleh lampu-lampu gedung tinggi yang menggapai langit. Oleh lampu-lampu kendaraan yang lewat sepersekian detik membelah angin. Pula, bising oleh berbagai macam lalu-lalang orang: yang berangkat kerja, patroli lalu lintas, belanja sayur, berangkat sekolah, cabut kuliah, atau sekadar nongkrong menghabiskan waktu.

Betapapun, Jakarta dan kenangannya akan selalu hidup sebab Jakarta memang tak mau padam, tak mau berhenti berdenyut. Pandemi hanya membuatnya seperti orang yang malas bangun tidur, tetapi toh dia kembali bergegas dan sibuk.

--

--

Reza A. Fernando
Selayang

Gantung mimpi setinggi langit. Gantung leher di langit-langit