Kepada Nyi Marsih

devi atmaja
Selayang
Published in
4 min readNov 15, 2021

Kepada Nyi Marsih,

aku mencintaimu

hingga batas paling anyir

pada jurang-jurang kepahitan.

*****

Sekiranya, sekurang-kurangnya, aku mencintai Nyi Marsih. Kepiawaiannya meliukkan tubuh, menusuk bingkai paling cantik di mata biruku. Seketika mataku lupa, tak apalah, biar kutemani pedih yang dirasakan Nyi Marsih. Tangan-tangan kasar yang meraup asal payudaranya. Mata-mata kepalsuan yang menyingkap rok pendek batik di tubuhnya. Tubuh kelukaan.

Mata Nyi Marsih teramat pilu, hingga tersampaikan pada liukan liar tubuhnya yang aku yakin, di suatu malam ia sempat menangisi takdir begitu tersedu. Kelekatan ikat rambut di kepalanya seringkali basah, disiram anggur para pemabuk yang berkunjung di sana untuk sekadar mabuk dan menelanjangi ruang tertutup Nyi Marsih. Pernah juga diludahi sebab Nyi Marsih menolak untuk disetubuhi, di pinggir trotoar suram di sepanjang Senen-Matraman, di pinggiran rel kereta yang membujur sampai ke Jatinegara. Tak pernah ia berhenti menari. Sebab, tarian memberi ia hidup. Nyi Marsih tidak hanya meliukkan tubuhnya. Jauh daripada itu, ia memakan rakus kelaparan kota yang memaksa sosok dirinya menjadi penyapih yang andal.

Foto: Mas Day

“Sudah selesai, Mar?” tanyaku dengan sorot kagum kepadanya.

“Apanya yang selesai, Nir?”

Demi Tuhan. Aku bisa merasakan tangisan Nyi Marsih. Tubuhnya basah oleh darah. Ia menghirup udara. Mengharap hujan segera menghapus darah-darah yang telah berkarat di tubuhnya. Tangannya fasih mengusap anak rambut yang berjatuhan di pelipis kanan-kirinya.

“Rokok, Nir? Hari ini tidak ada ludah ataupun anggur. Orang-orang kota itu mungkin sedang kere dan menghadapi kepahitan impoten,” ucap Nyi Marsih.

Ia memantik korek kayu ke rokoknya yang rada penyok. Ia simpan di belahan payudaranya. Aku senyum memandang bibir Nyi Marsih yang khatam mengempaskan asap. Mendoakannya biar sedikit banyak membuang luka, lewat kepulan asap.

“Aku sudah merokok, Mar. Rebahlah sebentar.”

Aku menepuk tubuhku. Matanya kilat memandang ke depan, masih. Kemudian, perlahan ia miringkan tubuhnya. Menyatukan segenap kehidupannya yang teramat tangguh, hingga lupa hidup itu untuk siapa. Ia terdiam cukup lama. Menyisihkan angina paling sunyi dari butir asap kepulangannya.

“Menangislah, Mar. Sudah cukup kuat kau menepis tangismu sendiri. Kerlip kota tidak terlalu ramah pada binar tubuhmu. Rebah dan menangislah, satu kecup saja. Benar-benar satu kecup. Biarkan dirimu istirahat. Mengenyam alun-alun luka sampai puas membakarnya.”

Nyi Marsih tetap sunyi. Jantungnya berdegup tidak karuan. Aku begitu yakin, banyak sekali abstraksi yang bersarang di kepalanya. Ia meliukkan tangannya, tidak menari, hanya merokok. Mengisap sari udara yang ia buat sendiri. Menegadahkan kepalanya, tepat di mata-mata permukaan diriku. Ia tersenyum. Memuntungkan rokoknya. Mengecupku di mana-mana.

“Aku mencintaimu, Mar.”

“Tak apa, kupahami maksudmu menari di depan orang-orang kota.”

“Mar, angin malam tidak terlalu cocok dengan tubuh ringkihmu. Pakailah kain sehabis menari.”

“Mar, aku mencintaimu hingga batas paling anyir pada jurang-jurang kepahi ….”

“TIDAK! TIDAK! TOLONG BERHENTI, RAKSA NIR! Aku mohon berhenti seperti itu.”

Nyi Marsih akhirnya menangis. Tidak, lebih tepatnya ia meraung. Membangunkan tidur semesta yang nyaman dan seketika mereka berkabung untuk dirinya. Ia memeluk diriku amat erat hingga tak satu pun dibiarkannya, tanah-tanah diriku lolos menemui celah pelukannya. Mukanya cemong bersimbah tanah, barangkali hatinya ada darah sudah bernanah. Demi Tuhan dan semesta yang sedang bangun saat ini, aku ingin memeluk Nyi Marsih. Menenangkan kepalanya. Mengecup sari bibir kelukaannya.

“Sudah lima tahun kau mati. Mengapa suaramu masih sempat terdengar di kepalaku? Menyambut aku tiap kali datang ke tempatmu, pemakamanmu. Mengapa aku merasakan kau memandang diriku menari, menanyakan keselesaianku, menolak rokok yang aku tawarkan, menyuruhku menangis, hingga di titik kau mencintaiku paling fasih. Mengapa, Raksa Nir?”

Suaranya melemah. Nyi Marsih menegadah ke langit. Memohon Tuhan mencabut segala yang ada di dirinya, mencabut aku yang selalu hidup di kepalanya. Nyi Marsih memandangi nisanku. Mengoles tanah yang basah oleh air matanya. Mengecupku beribu kali. Kami bersentuhan.

Aku ingin menangis juga, Mar. Tak kuasa melihatmu seperti itu. Sudah lima tahun. Kau tidak pernah melupakan mampir ke makamku. Aku hapal sekali yang dilakukannya. Telaten sekali ia menghampiriku. Bercerita singkat tentang kepenatan kota yang mencumbu dirinya dalam tarian, padahal aku sudah tahu. Menawarkan rokok, padahal ia tahu aku selalu sudah merokok, lebih dulu dari dirinya. Memiringkan kepalanya di tanahku yang tidak pernah kering. Hingga ia menangis. Entah untuk apa. Tidak pernah aku diberi tahu.

Setelah menangis sekecup, ia berlalu. Selalu sebelum adzan subuh. Tidak pernah kurang ataupun lewat. Mengusap kelopak yang basah, padahal aku tahu, itu tak guna. Sebab, hatinya lekat menangis. Kemudian, ia berlalu tanpa kata.

Setelah keberlaluannya, aku terisak. Menyesali kematian yang terburu-buru mengampiriku. Meraung kepada semesta yang menciptakan suasana kota yang begitu brengsek untuk sosok Nyi Marsih. Seketika, aku ingin berharap. Aku ingin menyerupai asap rokok. Aku ingin hidup di air mata Nyi Marsih. Setidaknya, sekurang-kurangnya, ia masih akan mendengarku. Sebab, aku ingin hidup di kelekatannya.

--

--