TENTANG BAGAIMANA MENIKMATI KOTA #2

Keremangan Pucat Pasi

Obituari untuk Gary Brooker, Vokalis Procol Harum (1945–2022)

Irsyad Ridho
Selayang

--

Ingatan macam apakah yang melayapi benaknya ketika pada suatu sore yang sejuk-hendak-hujan di sepanjang Bandung, seorang tamu yang tertahan dalam zaman memutarkan padanya sebuah tembang yang berkisah tentang rasa pucat yang nikmat? Inilah cerita tentang sebuah lagu yang pernah meledakkan tangga lagu dunia dan lantas tersesat di pojok sebuah toko kecil di Jalan Veteran, Bandung.

Banjir Besar Yang Kedua

Adalah Geoffrey Chaucer yang 700 tahun lalu telah membikin gara-gara pada mulanya. Orang yang disebut-sebut sebagai Bapak Sastra Inggris itu menulis kisah satir tentang perselingkuhan istri tukang kayu dengan seorang mahasiswa. Elis (bukan nama sebenarnya) yang masih sangat muda dan bersinar diambil istri oleh Jono Si Tukang Kayu yang sudah tua bangka. Jono (juga bukan nama sebenarnya) adalah seorang suami yang penuh dedikasi tetapi lugu. Sayangnya, karena faktor usia, dia gampang mengomel dan cemburuan mengingat segala risiko yang mungkin muncul karena kemudaan dan pesona istrinya. Maka, datanglah kemudian Niko Si Mahasiswa (sebut saja demikian) yang numpang kos di rumah suami-istri itu.

Singkat cerita, Niko memperdaya Jono dengan wangsit yang baru diperolehnya tentang Banjir Besar Nuh yang akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Niko menyarankan agar Jono menyiapkan tiga buah tong besar, masing-masing untuk Elis, Niko, dan Jono sendiri. Tong itu kemudian harus digantung di tengah rumah dan jika malam tiba mereka harus tidur di tong masing-masing. Rencananya, jika luapan banjir mendadak datang malam-malam, mereka bisa langsung memotong tali penggantung dan dengan sendirinya perahu akan terapung di atas aliran banjir.

Tentu saja, semua ini hanyalah akal-akalan Niko untuk memperdaya Jono. Targetnya adalah agar Jono dan Elis tidur terpisah di malam hari sehingga Elis, yang sudah terpincut pada Niko, bisa turun dari tongnya sendiri tanpa sepengetahuan suaminya yang pada saat itu sedang mendengkur di tong yang lain. Ke mana dia turun? Ke mana lagi kalau bukan ke ranjang di kamarnya sendiri untuk menemui Niko yang sudah menantinya di sana. Lantas, apa yang mereka lakukan di sana? Kiranya tidak perlu lagi saya perjelas di sini.

Versi manga dari “Kisah Si Tukang Gandum” oleh artistof95 di Deviant Art.

Kisah tentang akal bulus semacam ini hanyalah sebagian dari banyak kisah yang lain dari Geoffrey Chaucer yang kemudian disatukan dalam kumpulan The Canterbury Tales. Yang saya ceritakan barusan berjudul “Miller’s Tale” alias “Kisah Si Tukang Gandum” karena kisah tentang Niko Si Mahasiswa itu diceritakan oleh Si Tukang Gandum sebagai kesempatan unjuk kisah di hadapan orang-orang lain yang memang berjanji akan bergiliran bercerita selama mereka dalam perjalanan ziarah ke makam suci Santo Thomas di kota Canterbury, Inggris. Pada dasarnya, Chaucer memperlihatkan betapa cerita dapat dikutip dan diceritakan ulang demi memungut untung. Narator cerita memungut untung dari pemirsanya atas cerita Si Tukang Gandum yang dengan ceritanya sendiri berusaha memungut untung pula atas semua unjuk kisah yang akan diceritakan oleh para peziarah yang lain demi memperoleh predikat cerita terbaik, sedangkan Niko Si Mahasiswa memungut untung dari cerita Banjir Besar Nuh untuk mendapatkan kesempatan selingkuh bersama Elis.

Melayap dalam Wewarnian

Pada akhir 1960-an kisah satire Chaucer ini kemudian memberi tumpuan kutipan bagi sebuah band rock progresif dari Inggris yang menamakan diri Procol Harum untuk menulis sebuah lirik lagu yang unik tentang campur-aduk antara kemabukan yang melayang, bujuk-rayu asmara, dan leliku perjalanan pencerahan kesadaran. “A Whiter Shade of Pale” ia diberi judul. Bukan kebetulan jika komposisi musiknya yang beresonansi dengan musik klasik J.S. Bach dan liriknya yang rumit yang berasosiasi dengan Kisah Si Tukang Gandum dalam The Canterbury Tales membuka sebagian jalan bagi aliran baru dalam musik rock di akhir era ‘60-an, yang kini kita kenal sebagai Progressive Rock yang memang berupaya meleburkan jarak antara musik rock yang popular dan musik klasik yang elit. Jika pada era Geoffrey Chaucer kota Canterbury dilingkungi oleh suara lonceng gereja dan ambien religius yang klasik, maka pada akhir ’60-an kota itu memperdengarkan soundscape rock progresif yang kontemplatif sekaligus psikedelik.

Kami melayap dalam wewarnian
Lantas tergeletak di tengah lantai
Kurasakan semacam mabuk laut
Tapi kerumunan terus berhasrat
Ruangan makin mendengung
Seraya langit-langit melambung
Ketika kami memesan lagi minuman
Gadis ladenis itu sekalian bawain keranjang

Personil Procol Harum di akhir 1960-an. (Sumber Foto: di sini)

Itulah baris-baris awal “A Whiter Shade of Pale”, yang cukup jelas menggambarkan suasana fly dalam subkultur psikedelik. Setidaknya, saya ingin menafsirnya begitu. Terus-terang saya agak kelimpungan menerjemahkan liriknya ke dalam bahasa Indonesia untuk menangkap suasana itu. Hasilnya segitu dulu.

Maka demikianlah
Si Tukang Gandum itu pun berkisah
Sampai paras kesiap gadis itu
Menjadi keremangan pucat pasi

Itu refrainnya, mengacu pada salah satu cerita Chaucer. Di sini “Kisah Si Tukang Gandum” tentang akal bulus alias kibul Niko Si Mahasiswa yang menutupi kesadaran akan kebenaran dengan berkedok ayat Tuhan (kisah Banjir Besar Nuh), dibuat sebagai alat untuk membongkar kesadaran palsu, yaitu “paras kesiap”, sedangkan kesadaran psikedelik dipandang sebagai “keremangan pucat pasi” yang mencerahkan. Cukup rumit memang selimut-selimut maknanya.

Tiada dalih lagi, ujarnya
Kebenaran sudah nampak nyata
Tapi aku mau berjudi dengan nasib
Dan tak akan membiarkannya
Menjadi bagian dari enam belas perawan suci
Yang menyerahkan diri pada pantai
Meski mataku terbuka
Siapa tahu baru saja tertutup pula

Itu bait terakhir, yang memperlihatkan permainan buka-tutup kesadaran dalam mencapai pencerahan yang membawa pada keadaan tipu-daya dan kegamangan. Hanya satu hal yang dibutuhkan untuk memecahkan kegamangan itu, yaitu keberanian berjudi dengan nasib demi mencapai hasrat. Bait ini sebenarnya meragukan kembali kepastian sikap pada bait refrainnya. Dengan demikian, lagu ini pada dasarnya bicara tidak hanya tentang ilusi hasrat, tetapi juga ilusi kebenaran, baik di dalam budaya arus utama (kesadaran) maupun subkultur psikedelik (ketaksadaran) itu sendiri. Harus diakui lirik lagu ini memang pelik. Saya juga tidak terlalu yakin dengan apa yang saya katakan dalam percobaan tafsir ini. Akan sangat menggembirakan jika ada yang mau menemani saya mengulik ini.

Wewarnian psikedelik, acuan yang ambigu dari kata “fandango” dalam lirik “A Whiter Shade of Pale”.

Nyasar ke Jalan Veteran

Koh Alek (bukan nama sebenarnya), seorang pedagang sepeda di Jalan Veteran, Bandung, didatangi seorang tamu yang sama sekali tak dikenalnya. Si tamu bertanya tentang masa mudanya.

“Masa itu telah lama hendak saya lupakan,” dia memulai ceritanya. “Apalah artinya usaha bikin kaset bajakan. Sejak tahun 1985, usaha kami gulung tikar. Pemerintah sudah mengeluarkan ultimatum. Kami semua harus menarik seluruh kaset kami dari pasaran. Kami sudah tidak mungkin tetap berbisnis kaset itu lagi.”

Apa yang dia maksud dengan “kaset itu” sebenarnya bukanlah barang sepele. Itulah kaset Yess yang legendaris. Sejak tahun ’70-an Koh Alek dan dua temannya membangun bisnis kecil-kecilan, yaitu perusahaan rekaman Yess yang khusus merekam lagu-lagu rock progresif. Mereka merekamnya dari piringan hitam ke kaset, tentu saja tanpa seijin perusahaan si empunya piringan hitam itu. Zaman sekarang, praktik semacam ini dikenal sebagai pembajakan. Waktu itu, hukum mengenai pembajakan masih belum jelas di Indonesia. Bahkan, perusahaan seperti Yess itu membayar pajak penjualan kepada pemerintah secara resmi. Di kaset keluaran mereka selalu tertempel label atau stiker tanda lunas pajak. Hal ini berlaku juga bagi perusahaan rekaman yang lain pada umumnya di era itu.

Salah satu produk perusahaan kaset Yess. Perhatikan label lunas pajaknya. Bajakan tapi resmi. Hehe..

Ketika pada akhirnya hukum mengenai Hak Cipta dan pembajakan diberlakukan di Indonesia dengan lebih jelas dan tegas atas tekanan perusahaan-perusahaan rekaman besar di Amerika, Yess tergulung. Kaset-kasetnya kini menjadi barang antik dan hanya beredar di kalangan terbatas, terutama para kolektor. Namun, Yess telah memberi warisan yang penting, yaitu membuka kesempatan bagi banyak orang untuk bisa mendengarkan komposisi yang sangat jarang yang mampu menyatukan musik dengan sastra, yang mendekatkan yang pop dengan yang elit. Suatu komposisi yang diakui banyak musisi serius di Indonesia sebagai soundscape yang mempengaruhi ingatan refleks musikal mereka. Itulah rock progresif, dan Koh Alek memberikan kontribusinya di atas setiap putaran pita kaset yang menyuarakan kembali pengalaman tentang rasa pucat yang nikmat, yaitu hasrat untuk progresif.

Ketika si tamu ingin pamit, Koh Alek mendengar pertanyaan terakhirnya, “Di antara sekian banyak lagu rock progresif yang sudah Anda rekam, adakah lagu yang sangat berkesan istimewa bagi Anda sampai sekarang?” Koh Alek terdiam, mengenang. Ketika pada akhirnya dia menjawab, terlihat oleh si tamu matanya mulai berkaca-kaca. Dia menjawab dengan lirih, “Ada satu lagu. A Whiter Shade of Pale.” Si tamu segera mencari lagu itu di playlist laptopnya dan memutarkannya untuk si tuan rumah. Mereka menikmatinya bersama sore Bandung yang sejuk-hendak-hujan. ***

Obituari untuk Gary Brooker, vokalis Procol Harum, yang meninggal pada 19 Februari 2022.

— — Esai ini pernah dimuat di buletin Stomata Rawamangun, Februari 2014. Saya muat kembali di Selayang ini sebagai nostalgia yang indah terhadap buletin yang sudah menjadi legenda bagi para penggemar setianya di suatu masa.

--

--

Irsyad Ridho
Selayang

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.