Kerinduan Kolektif

Mitos Kecemasan Budaya Popular

Andika Pratama
Selayang
5 min readFeb 4, 2022

--

Ketika mendengar seorang teman yang pergi merantau akhirnya tumbuh dan berhasil mewujudkan satu mimpinya, saya seketika merasa terlempar ke dunia yang jauh, yang asing, yang terpisah dari realitas itu sendiri. Ini membawa saya pada pemikiran serba defensif yang mendorong saya meyakini bahwa saya berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kehidupan tampaknya tumbuh lebih menjanjikan ketika kita berada kota besar, metropolitan. Saya tumbuh dengan mengamini apa yang disampaikan di film-film besar, termasuk pula jargon ala Hollywood: Go catch your American dreams!

Lukisan karya pelukis Prancis, fabrice tky burdese (2014) yang mengolok-olok mitos “American Dream”.

Hal seperti ini kemudian menjadi momok yang saya yakini yang juga mendasari pembentukan narasi-narasi yang mengedepankan dorongan untuk merantau. Sebab, tumbuh dan mengejar mimpi dari daerah antah-berantah adalah sebuah kemustahilan. Budaya popular, lagi-lagi, menyusup langsung ke dalam masyarakat daerah dan membentuk suatu polarisasi massal di dalamnya melalui produk-produk yang dibentuk oleh masyarakat urban, sang pencipta budaya popular itu sendiri.

Penuturan Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan membawa saya pada pemahaman yang lebih lanjut tentang apa gerangan budaya popular itu. Dijelaskannya bahwa budaya popular setidak-tidaknya memiliki dua definisi yang saling bertolak belakang. Pertama, budaya popular adalah proses pemasokan komoditas yang bersifat satu arah, dari atas ke bawah. Dalam konteks ini, target pasarnya adalah masyarakat sebagai konsumen. Maka, tidak heran jika ini diartikan sebagai budaya untuk masyarakat. Kedua, budaya popular yang terbentuk secara independen, dan sangat alami, yaitu yang dapat dikatakan sebagai budaya oleh masyarakat. Keduanya, meski secara tidak langsung memperlihatkan pertentangan, tidak juga berada pada posisi yang biner antara sejalan dan tidak sejalan.

Sampul buku Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia (Jakarta: KPG, 2015).

Dengan melihat penjelasan tersebut, saya sendiri menyadari betapa ada berbagai macam narasi popular yang diproduksi, baik oleh masyarakat maupun untuk masyarakat, yang langsung berkelindan di antara masyarakat urban dan daerah. Keduanya adalah kelindan yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi koin. Sayangnya, ketika dihadapkan pada permasalahan-permasalahan tersebut, kita juga mesti sadar bahwa produksi hingga reproduksi budaya popular yang tumbuh dengan cepat di tengah masyarakat urban dan industrial ini sebenarnya mampu melingkupi segala macam masyarakat.

Aksesibilitas adalah tolok ukur paling awal yang mudah sekali dilacak sebagai dasar permasalahan utama keterbatasan ruang tumbuh untuk masyarakat yang hidup di luar budaya urban. Melihat bagaimana film-film box office kerap memperlihatkan tendensi romantisasi kehidupan urban seolah-olah mendorong masyarakat daerah yang minim akan akses informasi ini merasa bahwa dunia urban adalah dunia utopis yang menjanjikan — padahal tidak. Saya jadi teringat satu kutipan dialog dari film Tick, Tick… Boom! ketika Jonathan Larson mengucapkan sebuah kalimat yang merangkum permasalahan utama dari masyarakat urban:

“Nobody is happy in New York! That’s what New York is!”

Bagi saya, saat itu Larson tentu saja berada pada posisi serba gundah, bertahan di kota yang (dikatakan) menjanjikan mimpi hanyalah satu dari sekian masalah finansial yang dihadapinya. Ia tetap saja miskin dan mimpinya belum tentu terwujud meski ambisi akan mimpinya masih tak mau redup, sebuah kombinasi yang tepat untuk memperburuk hari-hari ke depannya jika tidak mawas diri.

Poster film Tick, Tick…Boom! (2021)

Kalimat itu seolah menampar saya. Bagaimana pun juga kita mencoba membentuk suatu mimpi. Proses pembentukannya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat emosional, perasaan menghargai suatu progres atau perkembangan. Inilah kerinduan kolektif. Saya tidak sepenuhnya tahu apakah terminologi ini tepat, tapi setidaknya itu yang bisa saya tawarkan terhadap kegundahan masyarakat urban.

Dari apa yang saya perhatikan, permasalahan seperti ini selalu tumbuh dalam masyarakat — baik dari masyarakat urban maupun masyarakat daerah. Kehidupan selalu menuntut masyarakat untuk memiliki kenangan, dan kenangan bersama disebut sebagai sebuah memori kolektif. Hal ini kemudian tentu dapat mengarah pada konsep kerinduan kolektif. Memori, waktu, dan kerinduan adalah kombinasi yang enggan melepaskan diri satu sama lain, seperti rangkaian mata rantai.

Di tengah masyarakat yang tumbuh dalam dunia yang terus berkembang setiap harinya (seolah-olah setiap hari adalah Hari Natal dan kita terus menemukan banyak kejutan dari kotak-kotak hadiah), rasanya sukar untuk dapat menemukan suatu hal yang mengejutkan dewasa ini. Semuanya terasa mungkin, kemarin kita baru saja memimpikan dunia di mana telepon genggam bisa melakukan video call, atau bantuan AI (Artificial Intelligence) dalam keseharian kita, persis seperti film-film science-fiction yang ditampilkan oleh Hollywood. Dalam konteks ini, saya menemukan bahwa progres atau perkembangan adalah suatu hal yang tidak mudah tampak. Orang-orang menangkap gambar dari telepon genggam, dari kamera digital, dan tidak mendapatkan semacam kepuasan tersendiri dari menjalani proses tersebut.

Di satu sisi, saya kerap menemukan paralelisme. Ketika saya menemukan masyarakat daerah menganggap bahwa “hijrah” dari daerah kecil (seperti kabupaten) ke perkotaan (kota besar/ibu kota) sebagai suatu jawaban. Seolah-olah di kota besar itu mereka akan bertemu dengan sang Juru Selamat. Masyarakat perkotaan kerap pula meromantisasi kehidupan masyarakat daerah yang tampaknya “menikmati” situasi serba terbatas itu. Tidak jarang saya menemukan diri terjebak dalam pandangan yang cukup bias ini, pandangan yang menganggap bahwa kehidupan masyarakat daerah adalah kehidupan yang diidam-idamkan. Seolah seluruh masalah yang menyertai kehidupan masyarakat di sana adalah sesuatu yang bisa hilang begitu saja, tanpa adanya penyelesaian secara sistematis dalam struktur permasalahan sosialnya itu sendiri.

Dalam bayang-bayang alam mimpi urban (Sumber foto: di sini)

Kita tentu melihat bagaimana sebuah film, misalnya Susah Sinyal garapan Ernest Prakasa, memproduksi semacam narasi popular bahwa kehidupan masyarakat urban itu sebenarnya enggak enak-enak banget. Diceritakan bahwa di dalam film tersebut seorang ibu mengambil cuti bekerja dan menghabiskan waktunya dengan anaknya di Sumba. Nyaris begitu saja, kehidupan seperti disulap menjadi sempurna — seolah jawaban dari masyarakat yang telanjur besar dalam budaya urban adalah pergi ke sebuah daerah kecil yang aksesnya serba terbatas. Seperti melihat primitivisme sebagai suatu produk kebudayaan yang bersifat eksotis. Bagi saya, menganggap bahwa kehidupan dengan akses terbatas sebagai suatu surgawi dunia adalah sebuah kesalahan. Sebab, kita baru menyentuh pada bagian permukaannya saja.

Poster film Susah Sinyal (2017).

Di sisi lain, sebagai salah seorang yang tumbuh di lingkungan masyarakat daerah, saya kerap juga mengidamkan hal yang sama seperti kawanan yang berada di daerah: merantau, hidup di kota besar, dan bekerja sebagai penulis tetap di sebuah media, alias menjalani kehidupan yang too good to be true. Tapi, lagi-lagi, saya percaya hal demikian adalah sebuah kemustahilan yang ganjil. Memandang bahwa kehidupan urban adalah solusi atas tiap masalah justru memperlihatkan ketidakmampuan diri untuk melihat realitas di luar gelembung. Kehidupan di dalam gelembung mengaburkan pandangan dan memperkecil lingkup penglihatan sehingga hanya berfokus pada hal-hal yang tampak di permukaan saja. Permasalahan-permasalahan yang selanjutnya melingkupi migrasi itu pada akhirnya mengacaukan pandangan yang ada. Gelembung pecah dan menciprat mata sendiri.

--

--

Andika Pratama
Selayang

Menulis, membaca. Buku: Memoar Tangan-Tangan Beku: Kumpulan Puisi (2022, Langgam Pustaka)