Lady Lazarus
Renungan Seorang Penyintas
Sylvia Plath ditemukan tewas bunuh diri di apartemennya. Gangguan depresi berat menjerumuskannya ke tubir kematian. Umurnya masih 30 tahun pada momen itu, 11 Februari 1963. Sylvia menjadi terkenal berkat novelnya The Bell Jar dan buku puisinya Ariel. Sepanjang karier kepenulisannya dia telah dihadiahi beberapa penghargaan, salah satu yang paling bergengsi adalah Pulitzer Prize untuk kumpulan puisinya. Sayangnya, di tengah segala karyanya, Sylvia justru lebih dikenal karena kematiannya yang tragis itu.
Derita yang membebani Sylvia sebenarnya bukanlah fenomena yang unik. Banyak orang mengalaminya. Sesuatu yang juga hampir menimpaku. Kamu bisa bilang aku adalah penyintas gangguan depresi berat dan gangguan kepribadian ambang. Setelah menjalin dua hubungan yang berujung putus, jiwaku terguncang. Rupanya, itu memicu trauma yang selama ini tertimbun di alam bawah sadarku. Duniaku seperti diacak-acak. Aku kehilangan arah. Selama lebih dari dua minggu aku mendapati diriku sangat sulit menjalankan fungsiku sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari. Keinginan untuk mengakhiri hidup juga mulai bergentayangan di benakku, ibarat dengungan dari larik-larik puisi Sylvia:
Dying
Is an art, like everything else.
I do it exceptionally well.I do it so it feels like hell.
I do it so it feels real.
I guess you could say I’ve a call.
Setelah bergulat dengan diriku sendiri, aku akhirnya memutuskan untuk mencari bantuan seorang profesional. Aku pergi ke psikolog klinis dan juga ke psikiater. Setelah beberapa kali berganti terapis, akhirnya aku memutuskan bertahan dengan terapisku yang terakhir, seorang residen psikiatri di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Jakarta.
Memulai Perjalanan
Dalam salah satu sesi konsultasi awal dengan dokterku, disampaikan bahwa aku akan menerima psikoterapi psikodinamika jangka panjang. Perjalananku mencari tahu apa itu psikoterapi pun dimulai. Kucoba mengumpulkan informasi dari internet, juga dari media sosial. Perhatianku kemudian terpacak ketika membaca kultwit dari seorang psikiater, dr. Gina Anindyajati, SpKj. Apa yang dikatakan beliau dalam tweet-nya menggelitik rasa penasaranku. Aku akhirnya mencoba mewawancarainya.
Beliau bekerja sebagai psikiater di beberapa rumah sakit di Jabodetabek, seperti di RSCM, RSUI, dan Klinik Angsa Merah, di samping menjadi staf divisi psikiatri komunitas dan rehabilitasi trauma psikososial. Dalam pembicaraan dengannya, aku makin sadar betapa pentingnya proses terapi jiwa itu. Menurutnya, psikoterapi itu ibarat tindakan operasi terhadap jiwa seseorang. Sebagaimana tindakan operasi pada umumnya, “operasi jiwa” ini juga bermacam-macam skalanya. Ada operasi kecil dan operasi besar. Semakin besar skala operasinya, semakin lama waktu yang dibutuhkan.
Dalam menghadapi operasi, tidak jarang para klien menganggap psikoterapi merupakan proses yang berat. Ada kecemasan dan ketakutan dalam benak mereka jika sewaktu-waktu trauma terlintas di kepala. Karena itu, “operasi jiwa” bisa saja dihentikan bila klien memutuskan untuk berhenti. Atau, dilanjutkan setelah krisis tertangani.
Penjelasan dr. Gina membuat ingatanku melesat ke salah satu sesi evaluasi bersama para psikiater senior di RSCM. Dalam sesi tersebut salah seorang dari mereka tiba-tiba bertanya dengan nada serius. Beliau juga bilang bahwa jawabanku akan sangat menentukan bagaimana terapiku ke depannya dan akan berpengaruh pada proses pemulihanku. Mendengar itu, jantungku berdebar cepat. Dalam sepersekian detik, duniaku seperti diisap ke sumur yang paling gelap ketika beliau bertanya, “Apa Mbak Nunu pernah mengalami kekerasan seksual?”.
Aku terdiam. Mencoba memilah derasnya potongan-potongan memori yang tiba-tiba masuk ke dalam kepalaku. Air mata tiba-tiba tidak bisa kubendung. Tanganku dingin. Napasku sesak. Aku limbung, tak mampu lagi menghindari sergapan memori yang datang bagai menyekap. Operasi jiwa terpaksa dihentikan hingga sesi psikoterapi berikutnya.
Di lain waktu, dalam salah satu sesi psikoterapi selanjutnya, aku berusaha membuka luka lama itu kepada dokterku. Luka yang belum pernah aku ungkapkan, terpendam bagai telur yang membusuk di dalam cangkang. Ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, orang terdekatku telah melakukan pelecehan seksual padaku. Ketika itu terjadi, aku tidak tahu bahwa apa yang dia lakukan itu sebenarnya adalah perbuatan yang keji.
Aku menceritakan bagaimana memori pelecehan itu tiba-tiba kembali muncul saat sedang melakukan art therapy inner child dengan salah seorang psikolog klinis. Pada saat art therapy itu dilakukan, tiba-tiba kepalaku sakit dan aku merasa mual. Malamnya, kondisi fisikku menurun, bahkan GERD-ku kambuh selama hampir seminggu. Aku berpikir bahwa gejala-gejala fisik ini akan membaik jika aku mulai berusaha untuk terbuka dengan apa yang pernah aku alami dulu. Maka, aku mencoba menceritakannya, sambil terus terisak. Kepalaku mulai terasa sakit lagi. “Operasi jiwa” pun dihentikan kembali.
Sense of Agency
Berbeda dengan operasi fisik dalam dunia medis yang menggunakan banyak peralatan canggih, psikoterapi sangat mengandalkan relasi antara dokter dan klien untuk memunculkan perubahan dan perbaikan dalam diri klien. Terapi jiwa dilakukan berdasarkan kerangka teori tertentu dan menggunakan teknik komunikasi yang khusus, seperti bagaimana merespons ungkapan klien, bagaimana memilih kata, dan sebagainya. Meski ini rumit bagiku, aku mencoba memahami penjelasan dr. Gina.
Tiap sesi psikoterapi berlangsung selama 30–60 menit per klien. Klien yang berpasangan membutuhkan waktu lebih lama, bisa sampai 90–120 menit. Menurut dr. Gina, pada dasarnya setiap orang membutuhkan waktu yang berbeda dalam menjalani psikoterapi. Ada yang butuh hitungan bulan, tahun, bahkan bisa seumur hidup. Karena itulah keterbukaan dan kemauan untuk berubah dari si klien sangat penting dalam psikoterapi. Tugas seorang psikoterapis adalah memandu klien dalam perjalanan panjang itu. Namun, tanggung jawab untuk berubah tetap ada di dalam keputusan klien itu sendiri.
Keberhasilan perjalanan psikoterapi terjadi ketika klien sudah menyadari dan mengakui permasalahan yang ia derita, ketika pasien mampu membuat keputusan berdasarkan pemahaman penuh atas masalah yang ia hadapi beserta sumber daya yang ia miliki dan dia memilih atas kesadarannya sendiri. Menurut penegasan dr. Gina, psikoterapi tidak menjamin gejala akan hilang atau gangguan yang dialami akan sembuh. Namun, seiring dengan perjalanan psikoterapi, klien perlahan-lahan akan menumbuhkan sense of agency, yaitu suatu sikap yang membuat klien merasa memiliki dan menghargai dirinya sendiri dan bangkit untuk bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dengan begitu, dia menjadi berdaya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dialaminya dengan cara yang semakin sehat.
Setelah hampir dua tahun menjalani psikoterapi dan mengalami sendiri bagaimana naik-turunnya mood dan kondisi fisik, pelan-pelan aku merasakan sense of agency itu. Kini aku mulai merasakan kemajuan yang berarti dalam hidupku. Beberapa di antaranya:
1. Semakin memahami diri sendiri.
Sebelum menjalani terapi, aku cenderung tidak mengetahui apa yang aku mau dan aku butuhkan. Aku juga tidak tahu aku ini orang yang seperti apa. Citra diriku begitu tidak stabil. Namun, dengan psikoterapi, aku mendapatkan jeda dan kesempatan untuk memahami diri sendiri dan apa yang sebenarnya aku butuhkan.
2. Menemukan tujuan hidup.
Tujuan hidup tidak mesti hal-hal yang besar. Tujuan bisa dimulai dengan hal-hal kecil seperti goals apa yang diharapkan dalam terapi. Dengan begitu, aku juga semakin mengenal apa yang menjadi harapanku yang lain selanjutnya.
3. Memperbaiki hubungan dengan orang lain.
Aku orang yang tertutup. Aku lebih sering memendam perasaanku dibandingkan dengan mengkomunikasikannya. Hal ini tentu berpotensi menjadi masalah dalam interaksi dengan orang lain. Namun, terapi mengubahku dan mendorongku untuk tumbuh. Aku mulai belajar bagaimana cara berkomunikasi yang sehat dan asertif. Kualitas hubungan sosialku pun membaik.
4. Belajar menyadari dan mengidentifikasi emosi.
Apa yang tidak aku sadari ternyata dapat menyakitiku di kemudian hari. Hal ini aku pelajari dengan berat. Memori-memori yang aku pendam, aku kubur jauh, dan aku tekan dalam alam bawah sadarku, akhirnya berbalik “membalas dendam” dengan kedatangannya yang sering tiba-tiba. Penyergapan ini selalu membuatku lengah dan tersakiti. Terapi membuatku lebih mawas (aware) terhadap emosi yang aku rasakan sehingga aku bisa lebih memprosesnya secara sehat, bukan malah merepresinya.
Bangkit dari Kematian
Proses pemulihan dalam psikoterapi terjadi ketika pasien mampu tumbuh dan berubah melalui wawasan dan pengalaman dengan berbagi perasaan. Konsep pemulihan ini berbeda dengan pemikiran konvensional tentang “penyembuhan penyakit” yang berusaha menghilangkan penyakit. Dalam psikoterapi masalah mental dan hal-hal emosional tidak boleh dinilai buruk dan dihilangkan, tetapi dimengerti. Depresi dan gangguan kepribadian yang kualami bukanlah “penyakit yang harus disembuhkan”. Ini adalah kesempatan untuk diriku bertumbuh. Dan, sebagaimana tumbuh yang merupakan kata kerja, psikoterapi adalah sebuah kata kerja yang dilakukan secara aktif oleh klien. Klien harus berani menjalaninya, sedangkan psikoterapis hanya memandunya.
Proses pemulihan itu tidaklah linear. Proses pemulihan kadang terasa menyenangkan dan mengasyikkan, tetapi juga bisa terasa berat, stagnan dan menyeramkan. Seseorang yang berani untuk memilih menjalani proses yang panjang itu perlu diapresiasi sebesar-besarnya. Selamat! Kalian adalah orang-orang terpilih.
Karena itu, aku tidak ingin berakhir tragis seperti Sylvia Plath. Aku mengagumi karyanya. Aku belajar dari karya dan kehidupannya. Justru itu aku menjadi sadar bahwa aku bukannya ingin mengakhiri hidup, melainkan ingin mengakhiri rasa sakit yang kurasakan. Aku ingin seperti Lady Lazarus dalam salah satu puisinya, yang mampu bangkit dari kematian. ***
Mau lanjut membaca kisah dari vokalis Kabar Burung? Klik ini: