Tentang Film ^Kukira Kau Rumah^

Meninjau Kembali Rumah

Andika Pratama
Selayang
Published in
7 min readFeb 25, 2022

--

Saya selalu beranggapan bahwa permasalahan psikologi seseorang sebagai sebuah labirin panjang dan berkelok. Sukar rasanya memetakan secara rinci rangkaian sebab-akibat yang memicu gejolak emosi yang kemudian timbul ke permukaan. Sama seperti usaha menggali-gali lubang tak berujung. Hal ini saya pelajari, setidaknya selama dua tahun belakangan, setelah tumbuh bersama dan memberikan dukungan secara konstan kepada rekan yang menderita bipolar.

Di pagi buta yang tampak damai, saya mesti terbangun karena panggilan darurat. Saat itu, pukul dua pagi, mantan kekasih saya menghubungi di tengah lelap orang-orang. Ia mengalami fase relapse. Saat itu pelatuknya tidak lain tidak bukan adalah rangkaian konflik yang terjadi beberapa jam sebelumnya, persis sebelum jam tidur. Ia mesti jadi samsak dari luapan emosi ayahnya karena belum mampu menyelesaikan skripsi sesuai dengan tenggat waktu yang telah disepakati oleh keduanya. Di tengah kondisi yang carut marut, ayahnya mendesaknya agar segera menyelesaikan studi. Meski kondisi kesehatan mental bermasalah, studi jangan ikut-ikutan bermasalah. Itu yang bisa saya tangkap dari sikap ayahnya saat itu.

“…permasalahan psikologi seseorang sebagai sebuah labirin panjang dan berkelok.” — Labirin, lukisan karya Dede Eri Supria.

Ketidaksanggupan memahami sering kali justru menjadi satu dari sekian banyak pelatuk yang memicu kondisi relapse (atau “kambuh”, jika terpaksa menggunakan kata-kata yang memiliki konotasi negatif dan awam). Saya mencoba melihat bagaimana mantan kekasih saya itu merespons luapan emosi ayahnya di pagi buta menjelang azan subuh. Dari seluruh makian dan ujaran penuh kebencian yang dilemparkannya ke diri sendiri karena tidak ingin berada pada situasi yang rumit tersebut, saya menemukan satu permasalahan yang paling utama, yang tampak mendasari segalanya: rendahnya kepercayaan dan dukungan yang diberikan oleh orang-orang terdekatnya. Belajar dari apa yang saya lalui bersama mantan kekasih saya, terlihat jelas bahwa lingkaran terdekat bahkan yang utama, yaitu rumah, justru rentan menciptakan pelatuk dahsyat yang menyebabkan salah satu dari sekian banyak akar permasalahan yang dialami oleh teman-teman penyintas gangguan kejiwaan.

Redefinisi Rumah

Kesadaran saya mengenai kemungkinan rentannya rumah itu membuat saya penasaran dengan film Kukira Kau Rumah, karya debut Umay Shahab bersama rumah produksi Sinemaku Pictures. Meskipun diilhami oleh lagu “Kukira Kau Rumah” dari grup Amigdala, sebenarnya film ini memaknai rumah dengan cara yang berbeda dengan yang disampaikan Amigdala dalam lagunya. Perbedaan ini tentu bukan hal yang buruk. Lumrah saja. Sebab, sejatinya pengadaptasian suatu karya — baik dari novel ke film, cerpen ke teater, puisi ke musikalisasi, maupun musik ke film — adalah proses lahirnya karya yang lain. Serupa, tapi tidak sama.

Dalam lirik lagu “Kukira Kau Rumah”, Amigdala memaknai rumah dalam hubungan dengan kisah asmara segitiga.

Kukira kau rumah
Nyatanya kau cuma aku sewa
dari tubuh seorang perempuan
yang memintamu untuk pulang

Umay melakukan redefinisi yang kurang lebih sama, tapi jauh lebih kompleks. Saya membayangkan Umay memaknai rumah dengan memberikan pertanyaan yang cukup sederhana sekaligus menohok: “Bagaimana jika rumah bukan lagi rumah yang nyaman seperti keluarga? Bagaimana jika rumah adalah bentuk dari rasa nyaman dan kepercayaan yang diterima manusia dari manusia lainnya?”. Dengan kata lain, bagaimana jika rumah bukan lagi bangunan beton yang melindungi kita dari hujan dan panas, melainkan pelukan hangat dan rasa kepercayaan yang meneduhkan dari sesama manusia?

Lantas, melalui redefinisi itu, bagaimana Umay berusaha menyampaikan pesan kepedulian tentang persoalan gangguan kejiwaan kepada penikmat sinema di Indonesia?

Filmnya sendiri menceritakan romansa dua pribadi, Pram (diperankan oleh Joudy Pranata) dan Niskala (diperankan oleh Prilly Latuconsina). Konflik yang kemudian meretakkan cinta keduanya — tentu saja seperti yang sudah tertebak — adalah gangguan kejiwaan yang diderita oleh Niskala. Lebih spesifik, gangguan kejiwaan yang dimaksud di sini adalah gangguan bipolar.

Bagi saya, film ini berusaha untuk tidak menghadirkan pernyataan-pernyataan serba menggurui, melainkan lebih kepada posisi memperlihatkan. Tipikal narasi “show it, don’t tell”, yang sering dipakai dalam proses penulisan fiksi. Pendekatan Umay tampak menjanjikan dengan menghadirkan tokoh Niskala dengan karakter yang menggebu-gebu. Pada paruh awal, saya bahkan merasa kalau Niskala adalah jelmaan lain dari mantan kekasih saya.

Meski begitu, alurnya terbilang cukup cepat. Namun, cepat di sini tidak serta merta saya artikan sebagai sesuatu yang buruk. Alurnya yang demikian memberikan porsi yang cukup untuk tidak melebar-lebarkan pembahasan gangguan kejiwaan hingga ke taraf yang tampak non-sense, justru memberikan ruang agar seluruh pembahasan mengenai gangguan kejiwaan ini menjadi padat dan efektif untuk dimengerti oleh penonton, bahkan bagi yang masih awam dengan isu gangguan kejiwaan itu sendiri.

Poster film Kukira Kau Rumah (IMDb).

Selanjutnya, posisi orang-orang yang hadir di sekitar Niskala dapat saya rasakan sebagai proses penjelmaan dari pengalaman pribadi saya sebagai seorang caregiver. Misalnya, peran orang tua Niskala yang kemudian memilih untuk “memenjarakan” Niskala karena menganggap Niskala sebagai seorang yang cacat, yang belum siap dilepas ke masyarakat. Ini adalah anggapan paling naif yang bisa dimiliki oleh orang-orang yang seharusnya justru memberikan kepercayaan dan dukungan paling besar dalam proses pemulihan bagi seseorang seperti Niskala.

Saya kira, justru pada aspek itu film ini kehilangan kekuatannya. Eksplorasi latar belakang dari tokoh-tokoh di luar Niskala terlihat tidak begitu diberikan ruang. Kalau boleh menggunakan persentase, tokoh Niskala mengambil hampir 60% dari porsi keseluruhan penokohan. Teman-teman Niskala, misalnya, bahkan tidak diberikan pendalaman karakter yang kuat, hanya sampai pada bagaimana respons emosi terhadap sikap Niskala yang meledak-ledak. Hal yang sama, saya lihat, juga terjadi pada tokoh orang tua Niskala. Bahkan, untuk Pram yang memainkan peran signifikan sebagai tokoh utama di dalam penceritaan film ini juga tidak diberikan porsi sebesar Niskala. Dengan kekurangan ini, para caregiver seolah tidak diberikan ruang untuk memberikan suatu landasan atas sikap mereka yang demikian protektif ke Niskala.

Peduli dan Percaya

Melanjutkan hal yang sebelumnya sudah saya singgung mengenai upaya “memenjarakan” Niskala atas dalih demi keselamatannya, saya kira itu justru memperlihatkan krisis kepercayaan yang dibungkus dengan perhatian berlebihan. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh orang tua Niskala (ayahnya, terutama) adalah hal paling benar yang bisa diberikan kepada Niskala. Ia mesti homeschooling dan pertemanannya dibatasi karena kekhawatiran berlebihan kalau-kalau Niskala relapse karena ketidakmampuannya memproses emosi seperti manusia sewajarnya. Inilah ilusi mengenai perasaan aman dan nyaman yang hendak diberikan oleh caregiver. Bagi saya, dukungan untuk menjalani proses pemulihan dan kepercayaan bahwa seorang penyintas adalah juga bagian dari masyarakat seharusnya menjadi dua fondasi utama untuk dapat memahami kondisi psikologis seorang penyintas gangguan jiwa.

Perlu juga menjadi catatan bagi teman-teman caregiver bahwa proses pemulihan bukanlah sebuah proses yang secara konstan menanjak pada hal-hal baik. Sebenarnya, proses pemulihan adalah sebuah pertarungan. Akan selalu ada — meski sedemikian rupa dihindari — momen ketika proses pemulihan justru mengalami penurunan. Dan, tentu ini bukanlah suatu hal yang buruk. Teman-teman caregiver mesti memercayai proses tersebut sebagai suatu proses pemulihan panjang, bukan suatu kemunduran. Menganggap proses pemulihan yang mengalami penurunan sebagai suatu hal yang buruk justru memperkeruh derita yang ada di dalam diri teman-teman penyintas, setidaknya itu yang bisa saya tangkap dari pengalaman saya — dan dari apa yang menjadi refleksi saya setelah menonton film garapan Umay ini.

Salah satu adegan dalam film Kukira Kau Rumah yang memperlihatkan hubungan penyintas dan caregiver (IMDb).

Respons Niskala, sebagai seorang penyintas, tentu sudah bisa kita prediksi. Pemenjaraan bukanlah suatu pemecahan bijak yang bisa diberikan kepada penyintas atas apa yang berada di luar kontrolnya. Pemenjaraan adalah bentuk lain dari ketidakpercayaan seperti yang sebelumnya sudah saya sampaikan. Konflik utama dari film ini adalah bagaimana kemudian ayah Niskala berusaha menimpakan kesalahan pada tokoh Pram yang memperkenalkan dunia yang lebih luas pada Niskala, dunia yang selama ini berada di luar “penjara” berkedok rumah itu. Saat menonton adegan ini mata saya berkaca-kaca dan tak siap merasakan luapan emosi yang menembus akting Prilly dan Jourdy. Respons penolakan yang dikeluarkan oleh ayahnya atas apa yang dikehendaki Niskala tentu menjadi pelatuk berikutnya untuk menjawab pertanyaan paling krusial yang hendak disampaikan film ini, yaitu “apa itu rumah?”.

Bagi Pram, segala tindakan fingerpointing yang diterimanya dari ayah Niskala adalah beban berat yang mesti ia pikul. Bagaimana seandainya memang benar demikian — benar jika kondisi Niskala yang berada dalam fase serba carut-marut tersebut disebabkan olehnya? Bagaimana jika yang terbaik bagi Niskala adalah apa yang diinginkan oleh orang tuanya — dan itu artinya, membunuh Niskala secara perlahan, dengan kehilangan dunia manusia sewajarnya?

Ini kemudian memicu satu hal lain yang menjadi semacam plot-twist dalam film debutan Umay ini: Pram mesti mengakhiri dirinya sendiri karena dihantui pertanyaan-pertanyaan (atau keyakinan) itu. Tentu ini memberikan kesimpulan lebih lanjut bahwa rumah ternyata mampu berbentuk lain daripada sekadar sebuah bangunan. Sebuah rumah, tidak lagi terdefinisikan sebagai suatu bangunan, melainkan tubuh hangat yang menenangkan. Niskala adalah rumah bagi Pram yang kehilangan perhatian dari kedua orang tuanya. Bersama Niskala ia merasa dicintai. Begitu pula sebaliknya, Pram adalah rumah bagi Niskala yang memperlihatkan padanya dunia yang lebih luas dari apa yang bisa diberikan keluarganya, bahkan teman-temannya. Sebuah kepercayaan dan dukungan paling berarti yang bisa diberikan seorang caregiver kepada seorang penyintas.

Sebagai sebuah film debut yang mengangkat isu yang cukup rumit dan sensitif, Umay menurut saya cukup berhasil menyampaikan pesannya. Film ini cukup berhasil membunuh stigma negatif terhadap penyintas gangguan kejiwaan meskipun tidak sepenuhnya sempurna (lagi pula kesempurnaan macam apa yang bisa diharapkan di dunia yang penuh kekacauan ini?). Meski pada bagian tertentu terasa bertele-tele, tetapi saya pikir ini juga memperlihatkan bahwa upaya untuk menyampaikan permasalahan gangguan kejiwaan bukanlah hal yang mudah. Terutama, sebagai sebuah proyek debut dan Umay juga masih terbilang muda, hal ini sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Namun, di balik itu semua, saya tidak ingin mengatakan bahwa saya menikmati film ini dengan perasaan bahagia. Meski sudah jelas bahwa film ini memberikan tamparan keras kepada caregiver dari para penyintas, diam-diam saya juga khawatir film ini justru bisa menjadi semacam pelatuk bagi para penyintas itu sendiri.

--

--

Andika Pratama
Selayang

Menulis, membaca. Buku: Memoar Tangan-Tangan Beku: Kumpulan Puisi (2022, Langgam Pustaka)