Merasa Lapar Ketika Menonton Film Horor Indonesia

devi atmaja
Selayang
Published in
6 min readMar 11, 2022

Malam belum sepenuhnya tuntas sewaktu warkop di gang Sawo Kecik itu memutar dua tiga lagu Avenged Sevenfold. Tidak ada bahasan apa pun yang dibawa ke meja untuk menemani bergelas-gelas kopi hitam kala itu. Beberapa sibuk melakukan scroll Instagram, sisanya mantengin layar Tiktok yang menampilkan perempuan seksi berjoget ria. Saya melirik sejenak, matanya yang memandang layar itu terasa seperti hendak memaksa keluar. Ingin melahap apa yang ada di depannya. Sementara itu, bibir lelaki itu sibuk memuntahkan sisa lahar dari buah pikirannya sendiri. Setelah menggelengkan kepala, sepersekian detik, teman saya membuka obrolan. “Eh, Pengabdi Setan 2 udah mau rilis. Nonton yuk!”

Seruannya yang terkesan seperti kelojotan berhasil membuat mata kami bertemu. Saya hanya mengangguk mengiyakan. Riuh celoteh bergabung dengan asap sesak dan siap membawa kepala mereka ke meja. Selang beberapa menit, teman saya yang lain nyeletuk. Katanya, film horor Indonesia saat ini kurang seru. Kurang menantang. Sempat terjadi perdebatan tentang wujud setan, jalan cerita, sampai pemeran film yang sempat nangkring di industri. Saya masih mendengarkan perdebatan itu sembari mengambil sebatang rokok. Sisa dua. Namun, agaknya malam masih panjang.

“SEPAKATTT!”

Tiga orang lelaki yang sempat berdebat itu, tiba-tiba berteriak sambil menggebrak meja dengan nada nakal. Saya berpandangan aneh dengan satu teman perempuan saya yang menyeruput kopi. Obrolan seputar perfilman horor Indonesia berakhir pada satu muara: Yang sekarang nggak seksi. Nggak bikin otong berdiri. Saya cukup heran dengan kesepakatan itu. Sebab, apa hubungannya film horor dengan pemeran yang seksi?

Lantas, saya coba googling judul-judul film yang mereka sebutkan. Poster yang bermunculan membuat saya bergidik ngeri. Lebih mirip film panas daripada film setan. Kengerian itu mengantarkan saya untuk menghabiskan malam menyusuri film horor Indonesia sampai kira-kira sepuluh tahun yang lalu.

Ke Mana Arah Tatapanmu?

Keberadaan pemeran perempuan dalam ranah perfilman horor agaknya sudah menjadi pilar yang kokoh. Poster-poster yang saya temukan seringkali menonjolkan pemeran perempuan dengan tampilan seksi. Ya, walaupun wujud hantunya turut hadir, tapi hanya tempelan aja. Misalnya, salah satu poster film yang berjudul Pelukan Janda Hantu Gerandong (2011). Poster ini mempelihatkan tiga orang perempuan yang tubuhnya hanya ditutupi oleh bantal merah. Hal itu membuat kesan “hampir telanjang”, yang dimaksudkan untuk memancing rasa penasaran bagi yang melihat poster itu. Tepat di bagian depan, di antara ketiga perempuan itu, nongol wujud hantu dengan rambut putih panjang dan riasan seram.

Poster film Pelukan Janda Hantu Gerondong (IMDb).

Dalam filmnya sendiri, peran perempuan malah sebagai display semata. Adegan film pertama menunjukkan dua orang perempuan yang sedang berenang. Mata kamera langsung menatap alias menyorot tubuh perempuan yang mengenakan bikini. Hal ini menandakan bahwa mata kamera memang mengajak penonton untuk berfokus pada tubuh perempuan, bukan pada apa yang dilakukannya. Tidak hanya itu, keseluruhan film ini selalu menyorot bentuk tubuh perempuan from head to toe. Sebut saja pada adegan olah raga yang dilakukan Jenna, salah satu pemeran perempuan. Mata kamera langsung berfokus mengambil bagian payudara dan pinggul yang bergoyang. Kemudian, penyorotan adegan buka bra dari belakang sampai dilakukan sebanyak dua kali sewaktu perempuan itu ingin mandi. Melalui mata kamera, tank top dan celana mini tak ubahnya mantra yang bisa menyihir penonton.

Cara-cara perempuan dipandang sebagai objek melalui mata kamera si pembuat film yang kemudian memposisikan cara penonton melihat objek itu sudah lama dikenal dengan istilah male gaze. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh ahli teori film feminis dari Inggris, Laura Mulvey, dalam esainya yang berjudul “Visual Pleasure and Narrative Cinemapada 1975. Ia mengatakan bahwa male gaze tercipta karena tatanan dunia yang tidak seimbang, terutama ketidaksetaraan gender. Film yang biasa hadir di layar adalah film yang berasal dari kaca mata laki-laki. Tidak heran kalau perempuan diposisikan seringkali sebagai si pasif, sedangkan laki-laki sebagai si aktif. Peran pasif yang didapatkan perempuan menempatkan dirinya menjadi tidak penting sebagai pemain peran, hanya penting untuk ditatap, yaitu obyek tatapan lelaki.

Mundur dua tahun. Film Suster Keramas pernah menjadi perbincangan heboh. Film yang diproduksi oleh Maxima Pictures ini turut mengundang bintang porno Jepang, Rin Sakuragi. Lho, kenapa harus ngundang artis porno Jepang segala?

Poster film Suster Keramas (IMDb).

Itulah pertanyaan yang pertama kali muncul di benak saya. Bukankah film horor seharusnya mengutamakan kualitas kengerian dari sosok hantu itu sendiri? Namun, kehadiran artis Jepang justru membuat film ini laris manis. Kesan horor dalam film ini hanya ditampilkan pada 20 menit terakhir. Dari awal film, tubuh Rin habis ditatap oleh mata kamera, pembuat film, dan juga penonton. Tubuh itu disorot pada saat ia pertama kali datang ke sebuah villa dan sedang tidur. Secara terang-terangan, tiga lelaki yang menjadi lawan mainnya melahap tubuh itu lewat mata mereka. Sampai pada adegan dia mandi dan menjilat es batangan. Kemunculan Rin membuat penonton berfokus pada adegan sensual yang ada daripada sosok hantu dan jalan ceritanya.

Dalam tradisi male gaze, keberadaan perempuan akan menjadi objek semata, pemuas hasrat dari sang penguasa tatapan. Industri patriarki beranggapan bahwa tubuh perempuan lebih komersil daripada film itu sendiri. Dialog yang dilakukan Rin mungkin bisa dihitung dengan jari. Bahkan, dia lebih banyak berbahasa Jepang dan seringkali aktingnya tidak konek dengan pemain lain. Adegan sensual yang diperankan kerap kali tidak ada kaitannya dengan jalan cerita. Kehadirannya memang sengaja untuk ditatap, demi memuaskan kebutuhan sang patriarki. Tradisi ini kemudian mengantarkan perempuan sebagai kaum inferior yang cuma bertugas membereskan kasur dan menyuapi laparnya si otong.

Menuju Fetis Sejati

Selain dua film di atas, dalam rentang tahun 2009–2011 banyak film horor serupa yang mewarnai perfilman Indonesia. Hal ini menandakan formula yang sama. Erotisisme dan sensualitas perempuan dinilai menjadi pendobrak hebat industri horor yang sempat lesu. Dengan demikian, posisi timpang dirasakan oleh perempuan karena lelaki menjadi si pemegang kuasa untuk menentukan akan menciptakan film yang seperti apa. Problematika perfilman horor ini tidak bisa dianggap sebagai hal yang remeh-temeh. Sebab, kehidupan real kita kini sudah sulit dipisahkan dari dunia film. Film sudah telanjur turut membentuk cara kita memandang dan mengalami kehidupan. Kultur patriarki di dunia perfilman sudah seharusnya menjadi red flag bagi perempuan di kehidupan nyata.

Menuju fetis sejati (Sumber foto: di sini).

Dalam film horor, tokoh perempuan sering digambarkan memiliki rambut panjang. Rambut itu akan berfungsi sebagai fetis bagi laki-laki dalam adegan pembeku flow cerita. Badan seksi dan muka sensual juga menjadi syarat penting bagi perempuan dalam film horor untuk dijadikan alat penggoda lelaki. Standar kecantikan perempuan seolah sudah dipatenkan sehingga penonton menelannya mentah-mentah. Akhirnya, perempuan akan sampai pada titik pengerdilan dirinya di lingkungan patriarki. Seringkali merasa insecure atas tubuhnya sendiri. Lebih berbahaya lagi, sikap seperti itu kemudian disebarkan kepada perempuan lain: dengan memuji dirinya cantik, badannya seksi, wajahnya sensual, dan pujian seksis lainnya saat pertama kali melihat perempuan lain. Sikap tersebut diserap tanpa sadar dari film horor yang menampilkan perempuan sebagai idola seksual semata.

Begitulah penormalan perempuan sebagai objek male gaze. Mulvey mengamati bagaimana male gaze berlangsung dalam tiga cara, yaitu bagaimana laki-laki memandang perempuan, bagaimana perempuan memandang dirinya sendiri, serta bagaimana perempuan memandang perempuan lain. Itu terbukti dalam kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan, misalnya. Seringkali korban yang justru dipersalahkan dengan dalih pakaian yang ia kenakan. Padahal, sumber masalahnya jelas ada pada cara pandang si pelaku, yaitu cara pandang laki-laki yang berpusat pada hasrat seksual. Dalih ini kemudian dijadikan pemakluman oleh perempuan lain. Dan, semua pemakluman itu sudah lebih dulu didesain dalam film horor kita.

Kata sepakat dari teman-teman saya menimbulkan semacam refleksi terhadap diri saya sendiri. Budaya patriarki memang harus segera di-cut off. Pihak yang ditatap bisa menatap balik. Pihak inferior akan merebut power untuk melawan. Namun, ada satu hal yang tetap mengganjal di hati saya. Satu dekade sudah berlalu, tetapi male gaze di film horor hampir tidak berubah sama sekali. Setidaknya, itu tetap bercokol di dalam benak lingkungan saya sendiri. Sampai di puntungan rokok terakhir di awal 2022, saya masih hidup di dalam kultur patriarki. Ah, jangan-jangan rokok ini pun adalah penjelmaan kultur jahanam itu!

--

--