TENTANG BAGAIMANA MENIKMATI KOTA #3

Nostalgia tentang Sebuah Kaset

Menyambut ^The Beatles: Get Back, Rooftop Concert^

Irsyad Ridho
Selayang

--

Pelatuk ditarik, kesintingan melesat, dan eks-Beatles yang paling sohor itu tersungkur di depan gerbang apartemennya: bertemu maut yang sudah menunggunya di balik limousine yang barusan mengantarnya pulang.

Peti Ayah

Kutemukan kaset itu secara kebetulan di peti kayu penyimpan majalah dan buku Ayah ketika aku iseng hendak mencari-cari informasi tentang Perang Vietnam. Mencari ke dalam peti, itulah caraku dulu mencari informasi. Tentu saja terkesan kuno sekali jika dibandingkan dengan cara nge-net sekarang ini, namun sebenarnya sama-sama mengasyikkan. Itu sudah lama sekali, mungkin sekitar tahun 1983. Yang kuingat hanyalah saat itu aku mulai naksir adik kelas pindahan yang baru masuk di kelas V SD. Aku sendiri kelas VI waktu itu. Setidaknya begitulah memori jangka panjangku menyimpannya.

Sebetulnya aku agak kesal dengan seorang teman yang hampir tiap hari belakangan itu bicara tentang Perang Vietnam saja. “Apa artinya Perang Vietnam bagi kami, anak kampung yang jauh dari kemewahan kota?” pikirku bersungut-sungut. Saat itu rujukanku satu-satunya tentang perang itu hanyalah film Rambo: First Blood (1982) yang pernah kutonton secara sembunyi-sembunyi di rumah teman kaya yang punya kaset VHS buatan Jepang itu (ini kaset video paling keren pada masa itu yang kini sudah jadi barang jadul di museum). Untuk ukuran anak kampung seperti aku ini, punya teman anak orang kaya adalah salah satu cara untuk bisa tetap up-date segala informasi dari peradaban kota.

My hero, my zero: Sylvester Stallone dalam First Blood (Sumber Foto: IMDb)

Namun, satu hal yang tidak mereka punya: koleksi majalah lama tahun ’50-an sampai ’70-an. Hanya ayahku yang punya kegilaan mengumpulkan majalah apek itu di dalam peti kayunya yang besar yang sepintas seperti penyimpan harta karun itu. Maka, hari itu aku bergegas membongkar peti Ayah dan berharap menemukan majalah yang menyimpan informasi aktual di masa ketika Perang Vietnam sedang terjadi. (Menurut buku sejarah, sebenarnya perang itu terjadi sejak tahun 1955–1975, sedangkan jika mengacu pada konteks film Rambo tahun yang relevan hanyalah dari tahun 1963–1973 karena pada periode itulah Amerika Serikat mengirimkan tentaranya untuk membantu tentara Vietnam Selatan melawan tentara komunis Vietnam Utara).

Ketika mulai mengangkat salah satu tumpukan majalah, mataku tiba-tiba tertumbuk pada sebuah kaset musik yang seolah muncul ke permukaan begitu saja karena majalah yang selama ini menindihnya telah terangkat. Kaset itu memang ada bersama setumpukan kaset yang lain, namun mataku tetap terpikat pada gambar sampulnya yang memperlihatkan empat raut wajah dalam bingkai pose yang membuatku tak bisa melupakannya sampai sekarang. Di atas bingkai itu tertulis judul album yang terekam dalam kaset itu: LET IT BE.

Poster film dokumenter konser terakhir The Beatles (Sumber foto: IMDb)

Seketika saja aku melupakan tujuanku semula tentang Perang Vietnam. Kaset itu lebih mempesona. Kutinggalkan peti Ayah yang menganga dengan tumpukan majalah yang masih berantakan untuk bergegas meraih tape recorder dan langsung menyetel kaset itu. Lagu pertama di side A bersuara:

Two of us riding nowhere
Spending someone’s hard earned pay.
You and me Sunday driving, not arriving
on our way back home
We’re on our way home
We’re on our way home
We’re going home.

Oh, betapa aku langsung jatuh cinta pada bait ini. Yang terputar dalam anganku pada saat itu adalah aku bersama sahabat-sahabat SD-ku sedang pulang sekolah naik sepeda dan sengaja tidak sampai-sampai ke rumah karena tergoda untuk mampir sana mampir sini sampai matahari hampir terbenam. Bait kedua terdengar mengulangi nada yang sama:

Two of us sending postcards
Writing letters on a wall
You and me burning matches, lifting latches
on our way back home
We’re on our way home
We’re on our way home
We’re going home.

Jika diingat-ingat lagi sekarang, benar-benar tak kusangka bahwa lagu inilah yang membuatku berani memenuhi tantangan guru SD-ku untuk memahatkan tiap kata dalam Pancasila ke dinding kayu sekolahku. Waktu itu, aku dan teman sekelasku sudah dinyatakan lulus dari SD dan sebagai tanda perpisahan, guruku menawarkan sebuah tantangan: “Siapa yang berani memahat Pancasila di dinding sekolah?” Mendadak aku teringat pada baris “Writing letters on a wall” di bait ini. Mulanya aku sama sekali tidak mengerti mengapa dan bagaimana mungkin seseorang bisa menuliskan kata-kata di sebuah dinding. (Maklum, saat itu kami terlarang mencoret-coret dinding dan kami amat takut untuk melanggarnya). Tantangan guru itu membuatku merasa bisa memahami arti baris itu dalam realitasnya dan memberi alasan yang tepat untuk bisa melakukan apa yang dikatakan dalam baris itu, yaitu benar-benar menuliskan kata-kata di sebuah dinding: dinding sekolahku sendiri, dinding yang sebentar lagi akan kutinggalkan.

Maka, ketika aku mulai memahat Pancasila di dinding depan sekolah, sahabat-sahabatku nekat memahat namanya sendiri beserta nama pacar, eks-pacar, atau pacar-masa-depannya di dinding belakang sekolah. Tentu, tidak lupa dengan tambahan gambar hati yang terpanah maupun yang remuk-patah. Sebetulnya, diam-diam aku ingin sekali menuliskan namaku beserta nama pacar-masa-depanku tepat di bagian bawah pahatan sila kelima Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tentu saja juga dengan tambahan gambar hati yang mendamba. Haha.

Paradoks Memori

Lagu yang kubicarakan barusan berjudul “Two of Us“, lagu pertama dalam Let It Be, album terakhir Beatles yang dirilis pada tahun 1970. Lagu ini memang berisi kenangan tentang ikatan persahabatan di masa lalu. Refrainnya dengan jelas memperlihatkan hal itu: “You and I have memories/ Longer than the road that stretches out ahead“. Betapa memori mengikat erat kedua sahabat itu (“kau” dan “aku”) sepanjang masa, bahkan melampaui batas memori itu sendiri (“Lebih panjang daripada jalanan yang membentang jauh”).

Namun, ketika lagu ini dirilis, Beatles sebetulnya sudah bubar sebulan sebelumnya (jika pernyataan hengkang dari Paul McCartney yang dijadikan patokan). Jadi, lagu ini sesungguhnya sudah sulit diterima oleh para penggemarnya tanpa perasaan ironi. Betapa sebuah band nomor wahid di dunia era itu yang dilahirkan dari persahabatan yang kental, kemudian bubar karena perselisihan di antara anggotanya, malah masih sempat bernyanyi tentang kenangan indah persahabatan dengan beat yang riang.

Ironi memang kemudian terus menguntit hidup eks-Beatles, terutama John Lennon. Di tengah konflik perceraiannya dengan Beatles, Lennon mulai mengubah sikap bermusiknya: mulai mendekatkan musik pop ke aksi politik. Teknik menyanyinya menjadi makin ekspresif, tidak terlampau melodius lagi. Liriknya makin mengarah ke puisi, sekaligus tetap berupaya menjadi pamflet politik untuk melawan perang. Lennon menyebutnya “newspaper song”. (Ini mirip dengan perubahan drastis sikap berpuisi Rendra dalam kumpulan puisinya Potret Pembangunan dalam Puisi di awal 1970-an yang turut memberikan semangat romantik bagi gerakan mahasiswa Malari). Hubungan Lennon dengan Yoko Ono, yang sering disebut-sebut sebagai seniman musik avant garde, makin mengentalkan pula sikap politiknya. Maka, kita pun mendapatkan warisan lagu-lagunya yang masih dikenang sampai sekarang, seperti “Imagine”, “Power to the People”, “Give Peace A Chance”, “Working Class Heroes”, dan “Make Love, Not War”.

Buku kumpulan puisi WS Rendra yang turut menyemangati demonstrasi mahasiswa menentang kebijakan Orde Baru di era 1970-an.

Dalam konteks itu, lagu “Two of Us”, yang dapat dilihat sebagai metafora nostalgia persahabatannya dengan McCartney, memang tidak mungkin lagi mampu mengembalikan keharmonisan rumah tangga Beatles. Lagu itu tidak lebih daripada sebuah ironi manis yang pahit sehingga ketika para penggemarnya waktu itu masih mengharapkan kembalinya Beatles, Lennon hanya menyindir tajam: “Kalau kamu ingin Beatles kembali, silakan datang saja lagi ke bangku SMA”.

Itu diucapkannya pada tahun 1970. Aku sama sekali belum lahir. Pertemuanku dengan Beatles justru baru dimulai pada tahun 1983 ketika album terakhirnya kutemukan di peti Ayah. Bagiku, Beatles baru lahir pada tahun itu dan langsung membuatku terpana. Mereka lahir kembali melalui perasaan jatuh cintaku pada pendengaran pertama, sementara masa SMA yang disindirkan Lennon justru masih jauh di depanku. Inilah paradoks era media: teknologi rekaman mampu membuat sesuatu yang telah lama mati menjadi seperti terlahir kembali dan mendapatkan kehidupannya yang baru melalui memori yang bisa lain sama sekali. Maka, mengingat bukanlah perkara memutar kembali rekaman ingatan yang sudah ada, melainkan membuatnya menjadi barang baru dalam balutan makna yang bertumpang-tindih antara masa lalu, kini, dan mendatang. Tulisan ini adalah tindakan mengingat dengan strategi itu.

Vietnam dan Mimpi yang Sinting

Paradoks itu pula yang kemudian mengembalikanku pada pencarian informasi tentang Perang Vietnam. Setelah Perang Dunia II berakhir, Amerika Serikat dan sekutunya yang menang perang sibuk menghalau pengaruh komunisme Rusia dan China terhadap negara-negara yang baru memerdekakan diri dari kolonialisme. Seperti sudah diketahui dari sejarah, komunisme adalah pandangan politik yang terlibat lama dalam perlawanan terhadap kolonialisme di negara-negara yang baru merdeka itu, termasuk di Vietnam dan juga Indonesia. Amerika tentu saja tidak ingin pengaruh komunisme merebak. Maka, gerakan radikal para mahasiswa maupun rakyat yang kritis terhadap pemerintahan yang mapan seringkali dicap sebagai ditunggangi oleh komunisme.

Dalam konteks historis semacam itulah Lennon mengubah sikap bermusiknya. Sejauh mana musik pop dan dirinya bisa mengubah kondisi sosial? Persoalan ini merasuki dirinya, namun para ahli kebudayaan pop berpendapat bahwa perubahan sikap bermusik Lennon sebetulnya tidak memberi dampak yang cukup berarti bagi perubahan sosial secara mendasar. Pada akhirnya kapitalismelah yang tetap merupakan basis ekonomi bagi musik pop dan ketenaran Lennon itu sendiri. Di tengah paradoks itulah Lennon berusaha tetap percaya pada gagasan revolusioner, jika bukan utopia. Lagu “Imagine”-nya dengan gamblang memperlihatkan hal itu dan keterlibatannya untuk melawan Perang Vietnam pada era awal ’70-an adalah medan eksperimennya melalui semboyan “make love, not war”. Semua ini membawanya lebih dekat pada gerakan Kiri Baru di Amerika, seperti diakui di kemudian hari oleh salah satu pemimpinnya, Tariq Ali.

Sampul buku Tariq Ali tentang kenangannya pada era ’60 (Sumber foto: di sini)

Namun, para pengamat kebudayaan pop tetap skeptis. Menurut mereka, Lennon tidak akan mengambil tindakan yang radikal, dia hanya akan berkutat pada ranah simbolik dalam gerakan sosial. Artinya, dia tidaklah serevolusioner apa yang dikatakannya dalam “Imagine”. Rupanya tidak demikian dengan FBI. Mereka lebih percaya bahwa Lennon memang serevolusioner yang dikatakannya, setidaknya mereka punya alasan untuk merasa khawatir bahwa kursi kepresidenan Nixon pada saat itu dapat terancam dengan segala aktivisme Lennon. Beberapa dokumen rahasia dari FBI yang belakangan boleh diakses publik memang dapat ditafsirkan memperlihatkan kekhawatiran itu.

Apakah FBI lantas bertindak lebih jauh terhadap pencipta lagu “Tomorrow Never Knows” itu? Akankah mereka melenyapkan Lennon? Tampaknya mereka tidak senekat Mark David Chapman, seorang pemuda yang dianggap mengidap waham sinting. Betapa tidak, dengan ditemani sebuah novel, dia jauh-jauh datang dari Hawaii ke New York hanya dengan satu misi: membunuh John Lennon. Maka, seperti dilantunkan Lennon sendiri bahwa “tomorrow” memang “never knows”, dia pun tidak menyangka bahwa malam itu si pemuda yang ganjil akhirnya menunaikan niatnya. Pelatuk ditarik, kesintingan melesat, dan eks-Beatles yang paling sohor itu tersungkur di depan gerbang apartemennya: bertemu maut yang sudah menunggunya di balik limousine yang barusan mengantarnya pulang.

Malam berdarah itu adalah Senin malam, 8 Desember 1980. Perang Vietnam sudah cukup lama berlalu meski masih menyisakan rasa pahit bagi harga diri Amerika. Pemerintah Nixon akhirnya memutuskan untuk menarik tentaranya pada tahun 1973 dan John Lennon seakan mendapatkan bukti bahwa dia bukanlah seorang pemimpi: musik pop ternyata mampu menekuk kuasa senjata. Namun, Chapman rupanya juga punya mimpi yang harus dilunasi. Walaupun sampai sekarang orang-orang masih berspekulasi tentang konspirasi jahat FBI dan CIA di balik pembunuhan Lennon, si pemuda sinting itu barangkali punya rencananya sendiri: tertindih rapi di dalam setiap kata dari novel yang tetap dibacanya dengan tekun sambil bersila di samping jasad Lennon yang terkapar.

Peti Ayah-yang-Lain

Kututup peti Ayah dengan kenangan yang masih menganga. Cerita tentang tewasnya John Lennon mengelupaskan lapisan ingatanku yang samar-samar tentang tumpukan kata yang bertindihan di dalam peti Ayahku-yang-Lain. Sang Ayah-yang-Lain itu masih rajin menyapa melalui pamflet yang berbunyi: “Piye kabare? Enak jamanku to??”.

Di bawah bayang-bayang Ayah-yang-Lain (Sumber foto: di sini)

Ayah-yang-Lain ini adalah ayah ideologisku di masa belia yang mampu membuatku mau memahatkan tiap kata dalam Pancasila ke dinding sekolah dengan bangga dan berkaca-kaca. Namun, kematian Lennon membuatku bertanya-tanya tentang bagaimana sebenarnya Ayahku-yang-Lain ini naik tahta. Segalanya masih misterius seperti kematian Lennon. Maka, ketika pamflet “Piye” itu terus dilantunkan, aku segera merasakan kembali sisi ironi dari lagu “Two of Us”. Aku memang dibesarkan dalam pangkuan Orde Baru, merasakan belaiannya yang menyenangkan dan melenakan, tapi jika kau memintaku untuk kembali ke masa orde itu, maka sebagaimana Lennon aku akan berucap: “Silakan datang saja lagi ke bangku SD”.

Demikianlah, Lennon dan Ayahku-yang-Lain tetap terjaga dalam memori, meski dengan ironi. Maka, kalau saja bukan sebab nostalgia, segalanya tentu sudah kadaluwarsa.

(Esai ini pernah dimuat di buletin Stomata Rawamangun. Saya muat kembali di Selayang ini sebagai nostalgia yang indah terhadap buletin yang sudah menjadi legenda bagi para penggemar setianya di suatu masa.)

--

--

Irsyad Ridho
Selayang

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.