TERSUMBAT

Sebuah Naskah Monolog

Erostians
Selayang
7 min readJan 11, 2022

--

SEORANG PENULIS TERLIHAT SIBUK DI DEPAN LAPTOPNYA. DIA SEDANG MENYUSUN SEBUAH CERITA. MATANYA MENYALA-NYALA. NAMUN, TERKADANG DIA TERHENTI. MELANJUTKAN LAGI TULISANNYA, MELAMBAT LALU TERHENTI. MENGHAPUSNYA HINGGA BERSIH, MEMULAI KEMBALI HINGGA CERITANYA MENGALIR DARI JARINYA. DIA TERUS MENYUSUNNYA HINGGA DUA PARAGRAF. TAK LAMA DIA KEMBALI TERHENTI DAN TERKULAI LEMAH.

PENULIS: Gila! Sudah berminggu-minggu aku begini, apa yang terjadi denganku? Selama bertahun-tahun aku tidak pernah merasakan hal ini. Biasanya kata-kata itu akan mengalir dengan sendirinya dengan deras melalui jari-jari tanganku.

PENULIS ITU TERDIAM MENATAP LAPTOPNYA YANG MENYALA, MEMBAYANG KE WAJAHNYA DENGAN CAHAYA PUTIH YANG KONTRAS DI TENGAH KAMARNYA YANG AGAK REMANG. DIA MENUTUP LAPTOPNYA, MENGAMBIL AIR MINUM DI MEJA, MINUM DENGAN SEKSAMA, KEMUDIAN GAMANG.

PENULIS: Ini malam yang sesak, bahkan lebih sesak dari malam-malam sebelumnya. Banyak yang telah terlewati, banyak pula yang masih menunggu untuk dihadapi.

DIA MENATAP FOTO KELUARGANYA YANG TERPAJANG DI ATAS MEJA.

PENULIS: Bu, Pak. Ternyata hidup ini tak seperti yang kusangka. Banyak hal-hal tak pasti. Tampaknya dulu aku terlalu meremehkan setiap embus napas yang berlalu-lalang di hidungkus ehingga banyak hal-hal penting yang terlambat aku sadari.

MENDEKATI KALENDER YANG BERTENGGER DI ATAS MEJA.

PENULIS: Sudah empat bulan berlalu, dan belum ada satu pun karya yang lahir dari tanganku ini sejak itu.

DIA MEMINUM AIRNYA KEMBALI, LALU MENARUHNYA DI ATAS MEJA DENGAN SEDIKIT HENTAKAN.

PENULIS: Mungkin jika aku berusaha lebih keras, semua halangan yang menyumbat ini akan tergerus dan aliran itu akan kembali mengalir. Baiklah mari kita coba lagi.

MENATAP LAYAR LAPTOPNYA YANG KOSONG, TERDIAM. DIA MULAI MENULIS SATU KALIMAT, DUA KALIMAT, TIGA KALIMAT. NAMUN, PADA KALIMAT KEEMPAT DIA TERDIAM KEMBALI. TERHENTI, MEMULAI KEMBALI DARI AWAL. WAJAHNYA TAMPAK MULAI KESAL, TAPI DIA TIDAK INGIN BERHENTI. DIA MULAI MENGETIK KEMBALI DAN TANGANNYA KALI INI MULAI BERGERAK DENGAN LEBIH LINCAH TANPA BEBAN, TAPI TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA GEDORAN PINTU.

PENULIS: (menghentak) Apa?! (menghela nafas) Ada apa? Sudah lapar?

GEDORAN KEMBALI TERJADI, PENULIS ITU BERHENTI DAN BERANJAK KE MEJA MAKAN.

PENULIS: Sabarlah, makananmu akan segera datang (sambil menyiapkan makanan).

BRAK-BRAK! SUARA ITU SEMAKIN KERAS. PENULIS ITU SUDAH SIAP DENGAN PIRING BERISI MAKANAN DAN SEGELAS AIR MINUM. MEMBUKA MASUK KE SEBUAH KAMAR. TAK LAMA DIA KEMBALI DENGAN MEMBAWA PIRING DAN GELAS KOSONG YANG BERBEDA. KEMBALI KE DEPAN LAPTOPNYA.

PENULIS: Bu, apa yang harus kulakukan? Editorku setiap hari sudah menagih tulisan yang sudah molor selama berminggu-minggu. Selama bertahun-tahun aku sudah menggeluti pekerjaan yang sudah menjadi hobiku sejak dulu ini, tapi baru kali ini aku merasa writing block separah ini.

Pak, aku tak menafikan apa yang Bapak katakan dahulu padaku. Menjadi penulis memang tak dapat mencukupi semua kebutuhan hidup, tapi dulu kita tak separah ini bukan? Dulu kita masih bisa menabung, meluangkan waktu di akhir pekan untuk jalan-jalan. Namun, kini bahkan uang tabunganku hampir tak tersisa.

Apa yang mesti kulakukan? Adakah jalan keluar dari semua ini?

DIA BERANJAK DARI KURSI.

PENULIS: Dahulu aku sangat senang bisa berkerja menjadi seorang penulis. Banyak karya yang dapat aku lahirkan dari kemampuanku ini. Meski gajiku tak seberapa tapi setidaknya aku bisa membiayai adikku bersekolah. Aku tak peduli dengan kawan-kawanku yang mendapatkan kerja dengan penghasilan yang lebih tinggi dariku karena menurutku uang bukanlah segalanya. Bukan begitu, Bu?

Meski tak memiliki mobil atau pun rumah bertingkat, kita masih bisa tertawa lepas. Bapak yang pensiunan pun juga tak terlalu mempermasalahkan hal itu meskipun dahulu dia menginginkan diriku untuk menjadi pegawai negeri.

Namun untuk apa aku menjalani hidup yang bukan jadi keinginanku? “Hidup hanya sekali, dan aku ingin hidup sesuai dengan keinginanku!” Itu yang kukatakan pada Bapak yang kemudian dia balas dengan menggeleng-gelengkan kepala.

Selanjutnya dia berkisah tentang kawannya yang seniman, yang hidup dalam kemiskinan dan tak mempunyai apa-apa. Bapak tidak tahu karena Bapak tak mengerti. Siapa yang dapat mengerti isi hati orang lain? Mungkin saja dia memang tidak memikirkan uang, tapi dia menjalani hidup dengan sepenuh hati sebagai seniman. Who knows?

Tapi setelah aku bisa membuktikan bahwa aku bisa mandiri bahkan mampu membantu adikku untuk sekolah, Bapak tak lagi mempermasalahkan hal itu.

Bapak dan aku memang sulit untuk sepemahaman, tapi pada intinya dia hanya khawatir dengan diriku. Sama seperti ketika tiba-tiba Bapak jatuh sakit.

Semua orang sakit, penyakit yang ternyata meluas seperti air yang terus membasahi kertas. Seperti api yang menjalar ke hutan ketika musim kemarau. Layaknya awan yang menggumpal dan meluas dan menutupi seluruh permukaan bumi dan menurunkan badai yang hebat, meluluh-lantakkan setiap rumah dan pertanian.

Wabah, orang bilang itu wabah. Tapi aku menyebutnya demit. Brengsek kau demit kau rasuki Bapakku.

SUARA TANGIS TERDENGAR DARI DALAM KAMAR YANG TADI DIGEDOR-GEDOR.

Sumber Foto: di sini.

PENULIS: Ya, menangislah. Sudah sewajarnya kau menangis. Kita memang tak bisa menghindari demit sialan yang tak terlihat itu. Aku masih ingat bagaimana Bapak pulang dengan keadaan lemah. Dia bilang masuk angin. Namun, aku tahu itu lebih dari sekadar masuk angin.

Kusarankan padanya untuk segera memeriksakan penyakitnya itu, tapi dia menolak. Dia tidak ingin dicap sebagai korban demit. Aku bersikeras mempertahankan pendapatku dan memintanya segera ke rumah sakit. Dia menolak. Kami beradu argumen, yang diakhiri dengan tamparan Bapak di pipiku.

Aku meninggalkannya bersama Ibu yang histeris karena anaknya telah ditampar oleh suaminya sendiri untuk pertama kalinya. Sejak itu aku tak peduli lagi. Lebih baik aku mengurus hidupku sendiri. Terus membuat karya dan menggerakkan hati seluruh pembacaku sampai aku akan abadi nantinya.

Tapi, kemudian Bapak pingsan di siang hari setelah meminum kopi di teras. Ibu bilang sedari pagi asam lambungnya kambuh, tapi baru pertama kali dia mengalami ini. Aku memanggil ambulans, Bapak dibawa ke rumah sakit dan benar saja, Bapak menjadi korban demit itu.

PENULIS BERANJAK MENGAMBIL MINUM. TANGISAN ITU SEMAKIN KERAS.

PENULIS: Bapak tak ingin dirawat. Dia hanya ingin di rumah, awalnya aku lebih setuju jika Bapak dirawat saja di sana sebab perlengkapan di sana lebih memadai. Namun, Ibu meyakinkanku untuk membawa Bapak kembali ke rumah. Aku tak bisa menolak.

Hari berganti, tiba-tiba semua orang sakit. Kantor tak lagi mewajibkanku untuk meyelesaikan segala tulisanku di sana. Aku bekerja di rumah dengan laptopku ini. Semua masih berjalan apa adanya meskipun Bapak harus berbaring setiap hari.

Tapi tak lama keadaannya memburuk. Bapak semakin parah, Ibu pun ikut merasakan gejala yang sama. Parahnya lagi, Bapak harus memakai tabung oksigen.

Di saat yang menentukan itu tabung oksigen tiba-tiba hilang di pasaran. Aku mencari ke setiap sudut kota, tapi tak menemukan satu pun depot isi tabung yang buka. Hingga aku menemukan satu tempat di perbatasan kota. Tapi, ternyata tidak hanya aku yang hendak mengisi tabung oksigen itu.

Antrean dengan puluhan kepala berada di depanku. Aku terhenyak. Maghrib hampir menjelang. Ketika aku berdiri di urutan terakhir, tiba-tiba toko itu tutup karena stok habis. Aku terpaksa kembali dengan tangan kosong.

Suasana kota yang biasanya ramai menjadi sangat sepi. Hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang sore itu. Tempat biasa aku dan kawan-kawan berkumpul tutup. Terlalu awal untuk sebuah kedai kopi tutup. Demit menghantui semua orang.

Sesampainya di rumah, Ibu yang mendengar ceritaku itu hanya bisa terdiam. Dia tampak marah, di samping Bapak yang terlalu lemah bahkan untuk bernapas sekalipun.

Keesokan harinya aku segera ke sana, bahkan sebelum fajar sempat menunjukkan biasnya. Namun, ternyata antrian yang sama terjadi. Mau tak mau aku tetap harus bersabar. Aku mengantre, dengan sabar aku menunggu giliran. Tapi, tiba-tiba Ibu menelepon.

“Nak, pulanglah. Tak perlu mengantre lagi. Bapak sudah tidak ada.”

TANGISAN DI KAMAR SEMAKIN KERAS, BAHKAN SEKARANG SI PENULIS IKUT MENANGIS.

PENULIS: Seminggu berlalu sejak kejadian itu kita mencoba untuk tabah bukan? Pekerjaanku mulai terbengkalai. Tapi, bagaimanapun aku harus terus bertugas menjadi pengganti Bapak. Aku harus bisa.

Tapi tak lama Ibu pun juga mengalami hal yang sama. Kali ini aku bersikeras untuk membawa Ibu ke rumah sakit. Dia sempat menolak, tapi aku segera meyakinkannya. Kau pun menolak, bukan, Adikku?

Ketika ambulans itu tiba di depan rumah, Ibu sudah tak mampu berjalan. Badannya sangat lemah. Setibanya di rumah sakit ternyata demit brengsek itu sudah lama bersemayam di tubuh ibuku.

Tak habis pikir bagaimana Ibu bisa menahannya selama berminggu-minggu. Ibu dirawat di sana. Aku berserah diri. Namun, ketika aku baru sampai di rumah, dokter meneleponku bahwa nyawa Ibu tak bisa diselamatkan.

KINI TANGISAN ITU DIIRINGI GEDORAN PINTU. PENULIS MEMANDANG FOTO KELUARGANYA.

PENULIS: Pak, Bu. Selepas kejadian-kejadian yang menguras hati dan pikiran kami itu, adik menjadi pemurung. Dia sering menangis, tak pernah keluar kamar. Akal sehatnya telah hilang.

Sebelumnya aku pernah menangkap basah dirinya hendak menenggak racun serangga. Jika saja aku terlambat beberapa detik saja, mungkin kini tinggal aku sendiri saja yang tersisa.

Tapi, kini apalagi yang tersisa? Adikku sudah gila. Dahulu aku bekerja untuk diriku sendiri, lalu aku bertekad untuk bisa menggantikan Bapak, supaya adik bisa terus sekolah. Namun, kemudian Ibu menyusul Bapak sehingga adik menjadi gila.

Bagaimana dia bisa kembali seperti dulu? Apa yang tersisa untukku? Masih adakah hal yang mesti kuperjuangkan?

DIA TERMENUNG. NAMUN, KEMUDIAN BERUSAHA UNTUK TETAP WARAS. DIA MENAMPAR DIRINYA SENDIRI.

PENULIS: Kenapa aku bisa sangat bodoh? Aku masih bisa berdiri. Tanganku masih bisa mengetik kata-kata indah. Aku harus menulis. Harus menulis! Tak peduli dengan apapun. Aku tak ingin mati begitu saja. Abadi! Aku harus abadi!

DIA KEMBALI KE DEPAN LAPTOP. MULAI MENULIS. SUARA TELEPON BERDERING. EDITOR MENELEPON.

PENULIS: Ah, ayolah, jangan sekarang.

TELEPON TERUS BERDERING.

PENULIS: Apa yang harus aku katakan padanya? (Telepon masih berdering) Baiklah, tidak akan aku angkat. Biar saja dia meneleponku.

TELEPON TIBA-TIBA MATI.

PENULIS: Teleponnya mati? Apa boleh begitu? Apa yang akan terjadi nanti? Ah, sudahlah, lebih baik aku kembali menulis.

PENULIS KEMBALI MENGETIK-NGETIK KATA-KATA YANG ADA DI KEPALANYA. KALI INI LEBIH PANJANG DAN SANGAT PANJANG. DIA MERASA KALIMAT-KALIMATNYA TERUS MENGALIR. MATANYA TERUS MENYALA-NYALA. NAMUN, KINI TELEPONNYA KEMBALI BERDERING.

PENULIS: Dia meneleponku lagi, (panik) apa aku harus mengangkatnya?

GEDORAN PINTU KEMBALI TERDENGAR, KINI PENULIS AGAK MELEDAKKAN EMOSINYA.

PENULIS: Diamlah! Bisakah kau tenang sedikit? Terlalu banyak yang kupikirkan. Jangan menambah beban-beban yang harus kutanggung!

TELEPON ITU DIA AMBIL, NAMUN TAK SEGERA DIA ANGKAT, PANGGILANNYA MASIH BERDERING. TAK LAMA PANGGILAN ITU BERHENTI, TAK TERJAWAB. NAMUN, TERDENGAR SUARA PESAN MASUK.

PENULIS: Sebuah pesan. (Dia membuka, membacanya) Apa? Jika tidak selesai dalam waktu seminggu aku akan dipecat? Kau gila? Tulisan puluhan ribu kata kau minta supaya bisa selesai dalam seminggu? Aku bukan Pram!

BRAK! PINTU KEMBALI DIGEDOR. TANGISAN TERUS TERDENGAR.

PENULIS: Diam! Aku sudah katakan tadi padamu: diam!

PANIK. DIA MENULIS TANPA MEMERHATIKAN KESALAHAN KALIMAT YANG TERJADI. DIA MENULIS DENGAN KECEPATAN LUAR BIASA HINGGA MENEKAN TOMBOL TERLALU KERAS DAN LAPTOPNYA TIBA-TIBA BLUE SCREEN.

PENULIS: Apa ini. Jangan bercanda! Aku harus segera menulis! (ke adiknya) Diamlah!

LAMPU MEREDUP.

TAMAT.

Menulis sambil ngeladenis. Erostians di Atelir Ceremai. (Foto: koleksi Irsyad)

--

--