Sesirih Kapur

Ervirdi Rahmat
Sepakterjang
Published in
5 min readAug 10, 2016

“Sepak bola dimainkan di stadion? Sepakbola dimainkan di pantai,” ujar Carlos Drummond de Andrade. Kalau dipotong sampai barusan, barangkali kita akan menganggap Pak Carlos ini sebagai seorang yang berkecimpung dalam belantika sepak bola pantai dan peduli setan terhadap sepak bola yang dimainkan di gelanggang. Agar tidak berprasangka demikian, berikut ini lanjutannya dari Pak Carlos, “Sepak bola dimainkan di jalanan. Sepak bola dimainkan di dalam jiwa. Bola itu sama: suatu jalan keagamaan.

Fokuskan teks di atas hanya pada yang dikutip, gabungkan, dan tara, apa itu? Sebuah gurindam? Oh, bukan. Pak Carlos memang berdarah Portugis yang didapat dari kakek buyutnya dari kakek buyutnya dari kakek buyutnya, singkatnya leluhurnya yang berasal dari Brazil. Namun, Pak Carlos kita ini bukan orang berdarah Portugis yang sempat mampir ke sekitar Melayu untuk kemudian melakukan perdagangan, pertukaran kebudayaan, mengembang biakan biji-biji tanaman karet atau semacamnya. Dan beliau ini kelahiran 1902, terlampau jauh untuk berada di generasi Raja Ali Haji. Jadi, sebenarnya jika anda tidak terlalu malas untuk mencari di mesin pencari mengenai Pak Carlos ini, anda akan mendapati bahwa beliau adalah seorang penyair yang sebagian larik dari puisinya sudah dikutip di awal paragraf.

Judul puisinya singkat saja: Futebol atau dalam Bahasa Wales berarti pêl-droed dan dalam Bahasa Indonesia kita sejatinya sudah bisa menebak-nebak kalau artinya sudah pasti bukan Hujan Bulan Juni.

Berbicara tentang puisi rasanya akan sama seperti membicarakan sepak bola dalam hal menikmatinya. Ada yang suka Real Madrid, Barcelona, Juventus, Bayern Muenchen, APOEL Nicosia, dan lain sebagainya, tetapi juga ada saja yang menyukai Arsenal. Untuk itu kita tidak bisa memaksakan karena sebagaimana klaim Pak Carlos tentang sepak bola adalah jalan keagamaan, kita perlu ingat bahwa Tuhan dalam (salah satu agama) firmannya mengatakan bahwa Ia menciptakan umat manusia berbeda-beda agar kita semua saling kenal mengenal.

Dan dalam saling kenal mengenal itu lah, saya telah bertemu dengan banyak orang yang berbeda-beda. Mendukung tim berbeda, suka pemain idola yang berbeda, waktu puasa yang berbeda (ada yang tujuh tahun, ada yang sampai sekarang tanpa gelar), cara makan bubur yang berbeda, dan perbedaan lainnya. Perbedaan itu tampak dan tidak bisa ditampik dari keseharian kita.

Namun, sebagaimana dikatakan tadi, dari perbedaan itu kita akan saling kenal mengenal. Seperti itulah kira-kira saya kenal dengan Sdr. Albizia. Lalu sekali waktu beliau menghubungi saya di tengah malam sekitar pertengahan bulan Juli.

“Bro Virdi, kita bikin blog bola yuk”

“Wah boleh tuh, ayo ayo”

“Kontennya apa ya?”

“Gak tau vvkvvkvvk”

“Namanya dulu deh, apa ya?”

“Wah itu dia, apa ya? Hmm”

“Intinya sih kita bikin tulisan feature yang gak bakal basi aja.”

Bola Kukus gimana? Kita bikin tulisan bola sama resep masakan.”

“Wah, undang Chef Juna nanti buat nulis.”

“Yoi, sama juri yang dari Itali tuh yang biasa host Moto GP.”

“Iya, Dave Grohl.”

“Iyoi, mirip drummer Nirvana.”

“Eh yaudah deh, gua mau berangkat magang dulu nih.”

“Oke, oke.”

Lebih kurang begitulah percakapan kami yang dapat saya transkrip seadanya, mengandalkan ingatan yang lemah karena history chat sebelumnya sudah terhapus juga. Ingatan saya akan percakapan itu boleh jadi lemah, tetapi karena membahas sepak bola, ingatan saya akan hal lain tiba-tiba saja terpanggil hadir kembali. Delapan tahun lalu dari tulisan ini diterbitkan atau tujuh tahun setelah tragedi WTC atau tepatnya di perhelatan Piala Eropa 2008 yang seperti biasa diselenggarakan oleh <del>Torabika<del> UEFA, saya sedang berada di tingkat 5 sekolah dasar.

Kelas 5 A di SD saya saat itu tidak mau kalah dengan badan administratif pengatur persepakbolaan Eropa. Kelas kami juga menyelenggarakan suatu kompetisi sepak bola dengan menggunakan… kertas.

Pertama, ambil buku tulis pelajaran yang memang tidak pernah diguratkan catatan di atasnya; pendidikan jasmani dan kesehatan, seni budaya dan keterampilan, dan semua mata pelajaran yang akan sama saja jika anda merupakan pelajar yang merangkap sebagai pemalas ulung. Kedua, buka bagian tengah dari buku tersebut, kemudian cabut. Hal ini tentu karena pertimbangan sangkil dan mangkus. Ketiga, robek ‘kertas tengah-tengah’ itu menjadi dua bagian, bisa dengan atau tanpa bantuan air ludah. Keempat lipatlah kertas itu sehingga bentuknya menjadi seperti inilah kira-kira gambarnya di bawah.

Kalau melihat gambar ini anda sudah mengerti, tak perlulah narator anda yang malas ini menjelaskan lebih lanjut lagi.

Inilah permainan bola kertas beberapa dari kita mungkin pernah atau sering memainkannya di kelas dulu, seingat saya permainan ini sudah masyhur sejak saya duduk di tingkat 3 Sekolah Dasar, entah siapa yang pertama kali mulai mengembangkan permainan ini, kita doakan saja semoga keselamatan selalu untuknya.

Namun di Euro 2008 tersebut, kami, segerombolan anak SD melakukan inovasi berupa pengadaan waktu. Jika biasanya permainan bola kertas itu dimainkan dengan asas sampe bosen biar puas namun kali ini kami mencoba memberi batas waktu, karena toh namanya kompetisi, bisa jadi nanti gak akan pernah bosan dan gak bakal puas, pikir kami saat itu.

Konsep waktu ini sebenarnya tidak dipraktikan sebagai waktu yang diukur menggunakan stopwatch atau mematok pada jam dinding. Kami menyiasati ini dengan cara membagi-bagi kesempatan menendang masing-masing 45 kali tendangan bagi setiap tim yang menjadikannya total akan ada 90 tendangan di satu pertandingan. Dengan 90 tendangan tersebut, menurut hemat kami yang boros, dapat mewakili 90 menit dalam pertandingan sepak bola sebenarnya. Dan oh, iya kalau ingatan saya tak berkhianat, juga diadakan wasit yang mengadili jalannya pertandingan untuk menengahi perdebatan atau bahkan memberikan tambahan waktu yang pada hakikatnya tambahan tendangan.

Ya, begitulah sepak bola yang ada dalam ingatan saya ketika Sdr. Albizia sekonyong-konyong mengajak saya membuat semua ini. Sebenarnya masih banyak lagi kenangan lain seperti sepak bola menggunakan bola kertas (dalam artian kertas-kertas dibentuk menjadi bola kemudian disolatip) atau bola yang biasa digunakan untuk permainan mandi bola yang berwarna-warni atau paling apes dengan botol plastik air mineral atau bahkan tutup botolnya. Yang mana dimainkan di lorong-lorong/di dalam kelas di mana semuanya bisa jadi ahli dalam permainan tersebut, tidak seperti di lapangan asli yang memang terlihat perbedaan mana antara yang lebih andal mengolah si kulit bundar dan yang lebih baik duduk manis di kantin, kemudian memesan es teh manis sembari merenungi kehidupan yang pahit.

Untuk itu, kepada Pak Carlos Drummond de Andrade, anda boleh berbangga lahir di Brazil tanahnya sepak bola, melihat gelimangan prestasi dan bakat-bakat dari negeri samba, tetapi kami pun tak perlu murung, sebab kami yang jauh di sini menghayati betul larik-larik sajakmu itu. Tanpa perlu tahu kau itu siapa.

Sepak bola dimainkan di stadion? Sepak bola dimainkan di pantai? sepak bola dimainkan di jalanan? Ah, kami bermain sepak bola di mana saja; lapangan bulu tangkis, lorong kelas atau malah di atas meja dengan bola kertas. Kami bermain sepak bola dengan apa saja; dengan bola kulit, bola plastik, atau malah tanpa bola. Selama masih ada kertas, botol air mineral, dan nalar kreatif yang tanpa batas. Atau bahkan yang sedang kami lakukan saat ini, bermain sepak bola bukan dengan kaki, tapi dengan jari. Menuliskan semua-muanya semau-maunya.

Begitulah kami ada, menulis sepak bola. Untuk menutup ini, saya ingin membajak perkataan Pak Gotthold Lessing yang saya kira akan tepat dan dapat menjelaskan bagaimana kelanjutan ruang yang telah kami ciptakan ini: “Marilah kita bermalas-malasan dalam segala hal. Kecuali dalam bermain sepak bola dan menonton sepak bola, serta bermalas-malasan itu sendiri.”

Dalam menulis sepak bola? Ah, sudah tentu kami akan bermalas-malasan juga.

--

--