Njegok Seru Menang Kerah’e

wowot hk
sesuapnasi
Published in
4 min readApr 28, 2020
Photo by Charles Deluvio on Unsplash

Sudah tiga hari kiranya aku buka kembali dunia bernama media sosial. Di satu sisi aku kembali memperoleh link bacaan bermutu, tapi di sisi lain media hari ini masih sama: polarisasi.

Sebelumnya kuputuskan berhenti bercengkrama di media sosial kecuali ketika urusan mendesak, semisal dm PLN yang kinerjanya tidak terlalu baik. Aku berhenti karena muak dengan pemberitaan tentang virus dan tentunya polarisasi.

Sebenarnya belum lama. Kiranya sejak Bapak Gubernur Anies Baswedan digempur habis para buzzer terkait kebijakan karantina wilayah. Aku bukan simpatisan beliau tentunya. Aku amat pusing dengan aliran informasi yang cenderung bias untuk diserap dan malah juga cenderung meresahkan.

Covid-19 merupakan masalah serius yang tak dapat disepelakan. Satu sisi, persebaran virus ini begitu cepat. Di sisi lain kondisi ekonomi sudah pasti mawut, mengingat sebelumnya juga tidak bisa dikata baik. Covid-19 barangkali memberi tantangan pada setiap negara. Menguji apakah suatu negara memang layak disebut negara atau hanya daerah kuasa preman belaka.

Aku ambil istilah preman selepas tahu Preman Pensiun tayang di TV kembali. Pada suatu adegan, Kang Mus mengingatkan para penjaga pasar agar jangan melupakan keamanan orang di pasar. Intinya kerjaan mereka bukan lah tukang palak. Orang memberi uang maka tugas mereka menjaga keamanan orang-orang yang memberi uang.

Negara, dalam arti para pemangku kebijakan, tak ubahnya tukang palak apabila tidak mampu menjamin kehidupan warga negaranya. Kita tahu sekarang pajak begitu digalakkan seraya seakan melupakan betapa kayanya negeri ini, terutama dari hasil sewa atau hasil jual bumi.

Titik uji ada pada bagaimana cara atau metode penanggulan merebaknya covid-19. Kiranya belum ada desain yang jelas terkait dengan upaya penanggulangan masalah ini. Ekonomi yang berhenti akan berimbas pada rakyat yang memang kebanyakan hanya seorang pekerja. Mereka dirumahkan atas alasan covid-19 tapi tidak ada jaminan untuk tersedianya asupan makan untuk mereka dan keluarganya.

Mungkin lucu belaka ketika asupan makan di negeri ini menjadi masalah. Pada orang, masyarakat, atau daerah terdampak bencana menurut saya satu poin penting yang harus diperhatikan adalah ransum. Dengan ransum cukup setidaknya orang masih dapat makan selama masa penanggulangan bencana. Tapi entah untuk covid-19, mungkin sulit menyebutnya sebagai bencana. Atau, mungkin memang negara kita tidak pernah siap.

Kalau saja negara kita daulat pangan agaknya memang kita lebih mudah menghadapi situasi covid-19. Setidaknya masyarakat tidak akan terlalu bergejolak. Atau minim juga, kriminalitas tidak terjadi seperti hari ini.

Tapi, ya, namanya ujian. Barangkali ini memang cara terbaik untuk berintrospeksi bahwa negara modern tak melulu menjadi suatu negara industri. Negara agraris pun justru akan terlihat kemodernannya ketika terjadi situasi semacam ini. Modern di sini tentu bukan soal infrastruktur yang mentereng, tapi soal metode atau juga pilihan sikap yang tepat.

Ya itulah, sewaktu kuhentikan diri bermain media sosial. Beberapa hari lalu aku kembali. Haha. Pada waktu itu ada kasusnya Mas Ravio, seorang yang tanpa alasan jelas tetiba dijemput paksa polisi. Syukur beliaunya sudah bebas. Ya, sejak itu aku kembali. Haha. Tapi alangkah menyesalnya, yang terjadi masih sama: polarisasi.

Tak ada yang salah dengan medsos. Medsos telah beranjak pada medio dimana telah representatif dengan kondisi sosial masyarakat. Orang boleh jadi share apa yang mereka senangi atau juga keluh kesahnya atau saja berdiskusi, ngobrol atau perilaku sosial lain.

Namun sepanjang itu, medsos tetap menyisakan masalah. Salah duanya adalah soal cakupan bersosial dan kecenderungan orang untuk tidak siap menjadi independen. Cakupan bersosial menurut saya, bisa jadi menjadi masalah dalam sosial masyarakat yang nyata ada yang bernama kelas dan segmentasi. Orang boleh jadi mendiskusikan A, tapi terhadap orang yang pada dasarnya opponent dari A membicarakan A tidak akan mudah kecuali menghasilkan wacana atau minim argumentasi yang tak bisa diterima awam. Contohnya adalah di grup penganut teori konspirasi. Sebaiknya tidak terdapat orang yang berbeda dengannya karenanya interaksi sosial yang terjalin akan cenderung negatif. Barangkali akan menyangkal demokrasi, tapi memang di kehidupan nyata seperti itu.

Lalu independen, lho gimana bersosial masak independen? Hal ini adalah kecenderungan masyarakat kita yang mudah menokohkan seseorang. Masalahnya di medsos tiada filter orang yang bisa ditokohkan, bahkan kebanyakan justru orang menokohkan orang yang ber-follower banyak. Ada pun tidak sedikit pula orang yang berkarakter petjah gesang. Hidup mati membela sesuatu. Alhasil di era yang serba gampang dikelabuhi ini yang terjadi tiap hari adalah pertentangan atas masing-masing pandangan yang ia bawa. Bukan diskusi tapi padu.

Belum lagi ada boneka, orang bertopeng, robot, framing, soal buzzer, soal penggiringan isu. Rasanya kok menyebalkan. Sungguh hari ini bukan lagi asu gede menang kerah’e, tapi njegok seru menang kerahe.

Bak pecundang memang. Tapi kiranya itu adalah pilihan tepat untuk menyelamatkan kondisi psikis kita masing-masing.

--

--

wowot hk
sesuapnasi

Hello, I am a programmer. Let's collaborate.