Kisah Telembuk yang (Mungkin) Tak Berujung

Alfons
Side A
Published in
3 min readDec 6, 2020

Telembuk merupakan istilah untuk pelacur, istilah tersebut populer di daerah Indramayu. Telembuk secara kronologis merupakan kelanjutan dari kisah Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha. Membaca novel ini terasa seperti diajak mengikuti perjalanan Safitri lewat perspektif berbagai tokoh dalam irisan dinamika hidupnya. Pengisahan melalui beragam kacamata tokoh membuat novel ini menarik dan memancing rasa penasaran.

Telembuk juga mengajak melihat proses perubahan di daerah, di luar hiruk pikuk ibukota. Peristiwa besar di penghujung kisah Kelir Slindet turut mengubah peta popularitas politik di daerah asal Safitri, seiring dengan reformasi politik negara setelah lengsernya Soeharto. Mereka yang di jauh dari ibukota merasakan perubahan dengan caranya sendiri. Saya rasa, apa yang dituliskan juga merupakan realita yang pahit yang mau tidak mau harus dijalani banyak wanita di Indramayu.

Mereka sejenak lupa dengan krismon. Mereka tak tahu banyak mahasiswa diculik dan dibunuh. Mereka tidak tahu negara di ambang kebangkrutan.

Mereka hanya tahu bahwa sejak krismon 1997 melanda negeri ini, banyak perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Mereka menjadi TKW di tanah rantau. Malaysia, Brunei, Arab Saudi, dan Taiwan adalah beberapa tempat pilihan mereka sebagai buruh migran.

Selain itu, para suami hanya tahu kalau istri mereka perlu mengirim uang setiap bulannya untuk mereka dan anak-anak. Sementara para istri hanya tahu bahwa ada di antara suami mereka yang nelembuk.

Perspektif Safitri tentu tetap menjadi kekuatan penting novel ini. Perjalanannya berusaha menentukan nasib sendiri tidak melulu mulus. Perjuangannya seringkali tidak jauh dari atas panggung dan di atas ranjang. Seringkali, Safitri serasa menyodorkan cermin untuk berkaca akan kemunafikan masyarakat.

Bagaimana rasanya jika seseorang dianggap sampah? Dipermalukan banyak orang. Bahkan, waktu itu tidak ada satu pun yang mengulurkan tangan untukku.

Gara-gara peristiwa malam itu, separuh hidupku dihabiskan untuk urusan panggung dan ranjang. Tidak masalah, aku sangat menikmatinya. Aku tidak menyesal. Apa yang aku sesalkan? Aku tidak menjual yang bukan milikku. Setidaknya masih ada yang bisa kujual dari diriku. Tapi mereka, lihat mereka! Nafsunya hanya selesai di ranjang. Budak, benar-benar seorang budak. Mereka menganggapku sampah, tapi mereka memakai dan memakan sampah itu. Lalu, apa bedanya mereka denganku?

Di sisi lain, novel ini tak luput menceritakan konflik dalam diri Mukimin yang menyicipi kutub begundal dan kutub seberang yang religius. Di persimpangan hidupnya, Mukimin sempat mendalami agama di sebuah pesantren di Cirebon dan sesekali pulang untuk berdakwah. Tidak jarang dia berdakwah berdasarkan komik siksa neraka yang sering dia baca saat SD. Dia berceramah bahwa pantat yang sibuk bergoyang dalam keriuhan dangdut organ tunggal akan mendapat ganjarannya di neraka nanti. Namun, setelah beragam konflik dalam kehidupan bersantri, Mukimin memilih kembali ke jalur yang liar.

Kisah yang Keparat

Kedung Darma Romansha menuliskan kisah ini dengan menarik, berbagai pandangan dari masing-masing tokoh yang berkaitan menggoda saya untuk menerka-nerka bagaimana cerita akan berlabuh. Sementara itu, ada bumbu-bumbu metode penceritaan yang sedikit berbeda di tengah perjalanan yang mungkin bukan selera beberapa orang. Tidak terlalu menjadi soal. Karena yang penting, kisah Telembuk terasa sungguh memanusiakan profesi yang seringkali dirasa tidak lazim. Sambil menampar masyarakat secara halus. Sepertinya tidak heran jika suatu hari nanti kisah Telembuk diterjemahkan di layar kaca.

Kelir Slindet dan Telembuk sudah bisa mudah didapatkan di berbagai toko buku independen.

Ulasan kisah yang keparat ini, tentu lebih afdol ditutup oleh Safitri yang sangat berhak mengumpat.

Hidup ini aneh, dengan orang-orang yang aneh. Coba kalian pikir, bagaimana orang begitu ingin tahu nasib seseorang. Lalu ketika nasib seseorang menjadi lebih baik, kalian kecewa karena nasib kalian jauh lebih buruk. Pasti jauh di dalam hati kalian mengatakan itu. Hanya saja kalian menyimpan itu dengan baik. Agar semua orang tahu kalian memang baik. Meskipun sebenarnya kalian iri — mungkin kamu juga. Itulah mengapa kalian begitu ingin tahu nasib seseorang. Karena kalian ingin tahu nasib kalian tidak lebih buruk dari nasibnya.

Mungkin, jika nasib kalian lebih baik, kalian bisa menasihatinya, sok memberi jalan keluar, dan dari situlah kalian merasa puas. Itu yang sering dikatakan laki-laki hidung belang jika sedang merayuku. Seolah-olah peduli, padahal ingin memek gratis. Kirik bukan?!

--

--