Menerawang Sisi Pelik Indramayu Lewat Kelir Slindet

Alfons
Side A
Published in
3 min readNov 28, 2020

Kisah ini berlatarbelakang sebuah daerah di Indramayu tahun 1997. Kedung Darma Romansha menuliskan kisah ini dengan apik sehingga saya merasakan sedang menyaksikan jalinan cerita kehidupan yang penuh konflik dari jarak dekat.

Ada satu paragraf di pertengahan buku ini yang menggambarkan konflik di novel ini dengan baik:

Orang-orang ambil peduli membicarakan masalah orang lain, lalu melemparnya setelah puas membicarakannya. Mereka tak ambil peduli dengan persoalan yang sesungguhnya. Mereka hanya ambil peduli dengan desas-desus yang kini tengah berkembang di kampungku.

Di dalam Kelir Slindet, ada cerita antara dua sejoli yang dipandang berbeda kasta oleh masyarakat, ada juga cerita politik di tingkat desa, dan banyak gosip antar warga. Semuanya saling terjalin dengan cukup banyak istilah-istilah khas Pantai Utara (Pantura) yang membuat cerita-cerita tersebut semakin seru. Saya sempat bekerja di area Pantura kurang lebih dua tahun dan mempunyai teman kuliah yang juga berasal dari daerah Pantura. Jadi, beberapa umpatan khas lokal seperti “Kirik!” seringkali membuat terpingkal.

Kelir Slindet cetakan terbaru. Foto koleksi pribadi.

Lewat jalinan kisah antar berbagai tokoh di Kelir Slindet, saya seakan menelusuri Cikedung lewat berbagai tegalan, warung-warung, hingga musala. Saya juga diajak merasakan pergolakan batin dan jiwa muda dari Safitri, yang bisa dibilang merupakan pusat cerita di kisah Kelir Slindet. Ada sedikit kepasrahan yang terasa di antara berbagai tragedi di novel ini.

Kadang hidup seperti sebuah lelucon dan sebenarnya setiap orang tengah menertawakan hidupnya sendiri.

Safitri merupakan seorang gadis muda anak dari Saritem. Saritem dikisahkan sebagai mantan telembuk (pelacur) yang terpaksa mengubur impiannya menjadi TKW ke Arab Saudi. Ada banyak kejutan lain di dalam kisah ini. Ada kaitan dengan Ustadz anak Pak Haji yang kenamaan di desa, kelompok kasidah, kelompok tarling, dan dangdut yang bisa dikatakan menjadi pemersatu banyak kelas.

Joni Ariadinata, redaktur dari basabasi.co, menggambarkan Kedung Darma Romansha sebagai santri yang kerasukan di tengah dendam dan novel inilah yang menjadi saksinya. Latar belakang Kedung Darma Romansha sebagai santri juga memberi bumbu yang menarik lewat berbagai kritik sosial yang terselip di novel ini. Saya rasa, penggalan paragraf ini merupakan kritik yang seharusnya direnungi berbagai pemuka agama:

Ah, kenapa pikiran orang dewasa begitu sulit dimengerti. Aku jadi teringat cerita Ustadz Jamal, dulu orang-orang Islam berdagang sambil berdakwah. Tapi, sekarang sudah mulai berubah. Berdakwah untuk berdagang.

Saya juga merasakan adanya kritik terhadap laki-laki yang hidup serampangan di desa sementara sang istri bekerja jauh di luar negeri menjadi TKW. Ada beberapa serpihan cerita seputar fenomena itu di dalam novel ini.

Kelir Slindet menjadi pengantar yang sangat menggugah untuk lanjut membaca Telembuk. Telembuk — Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat merupakan kelanjutan dari Kelir Slindet dan mendapat banyak penghargaan di tahun 2017. Saya sendiri cukup menyesal melewatkan cetakan pertamanya sekitar dua tahun lalu. Setidaknya, di tahun 2020 ini saya masih bisa membeli dan menyempatkan waktu menikmati karya Kedung Darma Romansha yang menarik ini.

Kepingan Kebijaksanaan Pantura dalam novel Kelir Slindet.

Setelah selesai membaca novel ini, ada kerinduan akan nikmatnya makan di warteg pinggir jalan Jalur Pantura. Ah, semoga diberi kesempatan untuk kembali berkelana.

--

--