Rindu Memang Perlu Dibayar Tuntas

Alfons
Side A
Published in
4 min readDec 5, 2021

Menyambut dirilisnya film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, saya mengulik kembali harddisk saya untuk melihat kembali catatan awal saya akan novelnya dahulu. Tulisan kali ini merupakan gabungan dari catatan tentang novel yang awal saya tulis tahun 2016, ditambah sedikit ulasan filmnya.

Libur beberapa hari ini dilanjutkan dengan menelusuri kisah Ajo Kawir di Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. Salah satu bumbu seru novel ini adalah penggalan adegan-adegan yang mensyaratkan usia pembaca di atas 18 tahun.

Desain sampul awal, foto tahun 2016.

Ajo Kawir dan Si Burung menjadi pusat cerita di sini. Sepertinya, Eka Kurniawan sudah khas dengan tragedi-tragedi yang samar di antara realita dan imajinasi liar. Tapi, saya tetap tergugah untuk menelusuri sebab-akibat dari tragedi-tragedi itu.

Setelah mendapati Si Burung (alat kelaminnya) yang terus tidur, Ajo Kawir menaruh harap pada jemarinya untuk membahagiakan Iteung. Iteung adalah gadis petarung pujaan hatinya. Walau perjalanan bersama Iteung tidak selalu manis, petualangan Ajo Kawir mengikuti jalan sunyi Si Burung tidak kalah seru, bahkan cukup filosofis.

Ngomong-ngomong soal jari manusia, kamu benar. Jari-jari manusia bisa dipergunakan untuk mengupil. Bahkan aku pernah melihat orang mengupil dengan jempolnya. Aku belum pernah melihat ayam melakukannya, juga domba dan kuda. Jari-jari manusia memang hebat.

Petualangan Ajo Kawir sebagai supir truk adalah salah satu penggalan cerita favorit saya. Eka Kurniawan sangat keren menceritakan adegan balap antara Mono Ompong dan Si Kumbang. Ada keseruan yang bisa terasa saat membacanya, yang belum tentu didapat dari menonton adegan film.

Sedikit spoiler filmnya setelah bagian ini.

Menarik, karena ternyata tidak mudah menghidupkan adegan balapan antar supir truk di layar lebar. Adegan yang saya kagumi di buku, bagi saya pribadi kurang terasa menegangkan dan seru layaknya imajinasi awal saat membaca bukunya. Hehe.

Bukan masalah besar.

Saya tetap kagum atas kepiawaian Edwin sebagai sutradara untuk mengemas kisah Ajo Kawir dan Iteung dalam film berdurasi hampir dua jam. Tentu tidak mudah menghidupkan imajinasi Eka Kurniawan yang mungkin liar bagi sebagian orang, ke dalam wujud film dengan audiens yang lebih luas. Saya menikmati cerita yang dirangkai tanpa banyak membandingkan dengan cerita di novel. Kebetulan, novelnya sudah saya baca sejak lama. Ketika menonton filmnya, saya juga tidak banyak berekspektasi. Saya hanya ingin menikmati suasana kembali ke bioskop dengan film yang seru bersama teman hidup saya.

Seni di belakang truk, dari Twitter @SepertiDendam

Saya sangat suka dengan penguatan yang keren di tokoh Iteung. Adegan aksi dan kelahi yang dilakukan Iteung tidak kaku dan cenderung mengejutkan. Saya menantikan video potongan kill count yang dilakukan Iteung di film ini. Hehehe.

Film ini juga mengingatkan kembali bahwa memang Iteung adalah jagoan sesungguhnya di cerita ini. Bagaimana dia menghadapi pelecehan, bagaimana dia memilih jalan hidupnya sendiri.

Ia hampir menyentuh si gadis, hampir mengisap tubuhnya, tapi gerakan Iteung jauh lebih cepat. satu tendangan keras mendarat di biji kemaluannya. Pak Toto memekik. Pekikannya tertahan, sebab satu pukulan lain datang tak terelakkan. Hanya dalam beberapa saat, lelaki itu ambruk di samping kaki kursi, dengan hidung bengkak dan berdarah dan tangan memegangi biji kemaluan. Tergeletak tak sadarkan diri.
Si gadis dengan tenang memungut dan mengenakan kembali pakaiannya. Ia pergi setelah memungut pakaian Pak Toto.

Di dalam filmnya, penggalan kisah Iteung itu diadaptasi dengan lebih sadis. Walau hanya dalam bentuk narasi, saya turut senang jika Pak Toto terus tersiksa di berbagai semesta hidupnya.

Secara keseluruhan pemilihan pemeran pun sangat apik dan cocok. Marthino Lio sangat cocok menjadi Ajo Kawir, Ladya Cheryl sangat keren menjadi Iteung, Reza Rahadian sangat mahir menjadi bajingan.

Foto pengambilan gambar dari Twitter @SepertiDendam

Bagi yang sudah lama tidak menonton film Indonesia di bioskop, film ini bisa menjadi pemuas dahaga. Hanya perlu berhati-hati jangan sampai tersedak. Dibawa santai saja. Hehehe.

Bagi yang menyukai karya-karya Eka Kurniawan maupun Edwin, film ini juga sebaiknya segera ditonton selagi ada di bioskop.

Seperti banyak karya Eka Kurniawan, film ini juga begitu berhasil menggambarkan bagaimana tragedi dan komedi seringkali beriringan. Kesialan banyak macamnya. Hehe.

Sedikit ulasan dari beberapa nama besar. Dari Twitter @SepertiDendam

Kemenangan film ini di Locarno Film Festival juga patut dibanggakan. Film ini layak meninggikan standar adaptasi novel di Indonesia. Semoga adaptasi 24 Jam Bersama Gaspar yang direncanakan rilis tahun 2022 juga seru dan menyenangkan. Jika boleh berharap, semoga trilogi Telembuk juga bisa diadaptasi dalam wujud film.

Jangan lupa menuntaskan rindu dan janji selagi hidup.

Aku akan bersabar menunggunya, seperti kau bersabar menungguku bangun. Bolehkah sementara menunggu, aku tidur lagi?

--

--