Berhenti menanyakan cita-cita

Sikula.id
Sikula.id
Published in
4 min readApr 16, 2020

Oleh Ayu ‘Ulya*

Foto oleh Aleksandar Popovski I Unsplash

Sepertinya sudah menjadi kelumrahan, saat manusia bertumbuh maka salah satu hal yang kerap ditanyakan kebanyakan orang, tentunya selain nama, adalah cita-cita. Saking familiernya pertanyaan tersebut, rasanya jika orang tua atau guru tidak memastikan anak-anaknya memiliki cita-cita, maka akan menjadi cela. Mirisnya, sang anak yang baru saja mengenal dunia sekitarnya, bahkan dalam informasi serba terbatas, seakan dituntut untuk segera memiliki target hidup yang besar. Sehingga, tak sedikit anak yang akhirnya memilih menjawab pertanyaan, “Kamu cita-citanya apa?”, dengan menyebutkan ragam profesi yang terdengar keren, minimal aman, di telinga para dewasa. Sebab menurut observasi yang saya lakukan sejak lama, pertanyaan cita-cita itu agaknya lebih condong pada pemuasan rasa penasaran atau harapan fiktif para dewasa kepada anak-anak mereka, dibandingkan dengan kebutuhan anak-anak itu sendiri untuk memiliki cita-cita yang mereka jawab sekenanya saja.

Kesimpulan hipotesa ini terus saya bangun seiring waktu saya berinteraksi dan berdiskusi panjang lebar bersama para anak didik dari ragam latar belakang pendidikan dan usia, selama menjadi pendidik, lebih kurang satu dasawarsa. Saat ditanyakan motif cita-cita yang mereka pilih, hampir semua anak didik memberikan jawaban serupa. Biasanya motivasi cita-citanya hanya tiga, yaitu terinspirasi dari profesi orang tua dan orang terdekat, tertarik karena profesi itu dianggap keren, atau semata karena faktor tuntutan ekonomi. Pada akhirnya, cita-cita anak-anak yang kebanyakan ditanyakan selama ini sesungguhnya tidak pernah menampilkan refleksi sejati dari kekuatan atau anugerah bawaan anak itu sendiri. Andai pun terdapat anak yang sejatinya tahu keinginannya untuk menjadi apa, jika cita-cita itu tak realistis dan hebat, pasti mereka akan urung untuk menyatakan. Soalnya, di zaman ini, hampir tidak ada orang tua atau guru yang akan mengapresiasi kejujuran anak yang bercita-cita menjadi berang-berang ceria atau menjadi batu yang kuat.

Kegelisahan yang sama pernah diutarakan oleh Tom Savage saat menjadi salah seorang narasumber dalam program TEDxBristol di Inggris. Dengan tema, “Is Ambition Killing Us?” Menurutnya, “Saat ditanyakan soalan cita-cita, ingin menjadi apa, kita seakan lupa bahwa ‘damai, puas, sehat, dan senang,’ juga merupakan bagian dari jawaban pertanyaan itu.”

Tom adalah seorang pengusaha muda sukses di Inggris. Dia adalah pendiri Blue Ventures dan 3Desk, yang juga memenangkan Penghargaan The Edge Upstart Young Social Entrepreneur of the YearAward,serta diundang untuk diwawancarai oleh The Guardian. Tom menyebutkan bahwa di era ini, kita sering dikalutkan dengan lis standar cita-cita dan keinginan-keinginan untuk mencapai kesuksesan besar. Sehingga kita melupakan cita-cita sederhana yang benar-benar kita inginkan.

“Suatu hari, aku mendapatkan informasi dari seorang perawat bahwa ada lima jenis penyesalan yang sering dibicarakan berulang-ulang oleh orang-orang menjelang ajal mereka. Pertama, ‘Aku harap dapat hidup sesuai keinginanku, bukan sesuai ekspektasi orang lain.’ Kedua, ‘Aku harap tidak bekerja terlalu keras, sehingga sempat menikmati hidup.’ Ketiga, ‘Aku harap dapat mengutarakan perasaanku.’ Keempat, ‘Aku harap dapat terus menjaga hubungan baik dengan teman-temanku.’ Serta yang kelima, ‘Aku harap sempat membuat diriku senang.’ Sayangnya, kita kerap terlambat menyadari hal-hal penting tersebut.” Papar Tom.

Kumpulan informasi dari fakta kehidupan tersebut semakin memperkuat hipotesa saya terkait penting tidaknya menanyakan cita-cita. Kemudian, mini research ini terus berlajut. Di saat mengaplikasikan kurikulum Passion 101 yang kami, Organisasi Kepemudaan The Leader, rancang untuk pelatihan peningkatan kapasitas pemuda Indonesia, khususnya Aceh, saya menemukan fakta menarik.

Pasalnya, untuk menemukan pola renjana (passion) seseorang, maka kami harus turut membubuhkan salah satu pertanyaan, “Saat kecil dulu, kamu bercita-cita menjadi apa?” Menariknya, selama pelatihan, saya menemukan jawaban unik di lembar-lembar kertas mereka. Ada yang ingin menjadi astronot, awan, berang-berang, pulpen, bahka tongkat sihir. Jawaban tak biasa ini muncul dikarenakan para perserta melalui proses relaksasi sebelum mengisi soal-soal dalam lembar questioners. Selain itu, para peserta juga wajib memberikan jawaban spontan, baik masuk akal atau pun tidak, dengan mengandalkan acuan kekuatan “otak kedua” (gut feeling) mereka. Di samping itu, para peserta juga diminta untuk menuliskan dan menganalisa perihal atau masalah yang mereka meresahkan dan menurut mereka perlu ditangani. Kemudian masalah itu digabung dengan hasil tes renjana sebelumnya.

Alhasil, melalui proses semacam itulah, maka cita-cita yang sebenarnya terpatri dalam jiwa unik setiap insan akan muncul. Cita-cita yang lahir dari keinginan untuk menyelesaikan masalah sesuai renjana yang dimiliki. Cita-cita yang bukan sekadar ikut-ikutan karena gengsi atau cari aman saja. Cita-cita yang diberikan ruang untuk bertumbuh menjadi profesi unik yang baru, walau sebelumnya mungkin belum pernah ada. Cita-cita seperti itu yang kita harapkan bertumbuh.

Oleh karenanya, dibandingkan sekadar menanyakan cita-cita, maka ada baiknya para orang tua dan guru membantu anak-anak tersebut untuk menemukannya cita-cita terbaik dan terunik versi mereka sendiri. Tak perlu terburu-buru menemukan cita-cita. Berikan mereka waktu untuk mengobservasi dan merasakan ragam pengalaman kehidupan. Tidak masalah jika terdapat anak yang belum memiliki cita-cita sejak dini. Bantu mereka menikmati proses belajar, di ruang kelas maupun di dalam masyarakat. Hingga, kelak ketika mereka sudah menemukan cita-cita terbaik versi mereka, maka mereka akan menjadi sosok yang tidak hanya mampu membantu banyak orang, namun juga manusia yang mampu berbahagia hingga tutup usia. []

Referensi:

Janet Bray Attwood and Chris Attwood. (2008). The Passion Test: The Effortless Path to Discovering Your Life Purpose. Enlightened Alliances, LLC, USA.

Tom Savage. (2015). Is Ambition Killing Us?. Diakses dari www.youtube.com/watch?v=FZBo1j5Zmbo [Video]

* Ayu ‘Ulya adalah pemikir inovatif, penyuka seni kreatif, dan pemerhati dunia pendidikan. Karyanya yang lain dapat dinikmati di ayuulya.com. Dia dapat dihubungi melalui email ayuulya90@gmail.com.

--

--