Guru Masa Kini: Pawang yang (Terpaksa) Mengemis Hormat
Oleh Chris Wibisana. Pelajar. Duta Baca SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan. Penggemar tematik sejarah, sosial-budaya, politik, pendidikan, dan humaniora.
Tulisan ini pertama kali terbit di PepNews.com.
SEMESTA keilmuan bela diri mengeramatkan kata “berguru”. Kata yang kini mulai tergerus maknanya akibat konteks yang semakin dan penggunaannya yang semakin jarang menjadikan kata “berguru” dianggap kuno, terlalu kolosal dan berat, bahkan untuk mendefinisikan suatu kegiatan belajar reguler di sekolah. Kendati semakin terpuruk dan dilupakan, kata “berguru” memiliki pengertian yang jauh lebih luas daripada sekadar menjolok ilmu bagi diri sendiri.
Dalam dunia persilatan, “berguru” memiliki makna yang menembus batas relasi didaktik murid-pengajar seperti yang kini dikenal dalam teorema pedagogi modern. Seorang guru silat tidak akan sekadar mengajarkan jurus-jurus dasar bertahan dan menyerang, namun secara juga menurunkan kepada muridnya suatu akumulasi pengalaman, pergumulan, sekaligus pencerahan yang didapat selama perjalanan hidupnya. Alhasil, ketika sang murid berkelana dan harus meninggalkan padepokan, sang guru dapat mati dengan tenang setelah mengabadikan nilai-nilai hidupnya dalam diri sang murid.
Bila sang murid kelak menjadi guru, ia pun sedikit banyak mengambil nilai dari guru silatnya yang terdahulu, diracik ulang dan ditambahkan dengan pengalaman dan wawasannya sendiri, yang kelak setelah dirasa cukup dapat diturunkan kepada muridnya. Daur setiap murid yang “berguru-berkelana-menggurui” ini nyatanya bukan hanya indah sebagai kisah, namun sangat dapat dikerjakan, setidak-tidaknya dalam kondisi masyarakat kita hari ini.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa semua tenaga pengajar, Indonesia menetapkan 25 November sebagai Hari Guru. Tak ubahnya hari-hari seremonial lain yang sarat hipokrisi dan kepura-puraan, setiap Hari Guru tenaga pengajar diagul-agulkan sebagai “raja sehari” dengan ucapan, doa, bunga, hingga kado. Negara menunjukkan senyum manis dan kata-kata pujaan yang menghambur dari mulut pejabat. Kemuliaan guru di tanggal 25 November, kalau digambarkan, lebih dari seorang pangeran yang baru naik takhta.
Akan tetapi sesudah matahari terbenam, dan jika esoknya kebetulan bukan hari libur, guru kembali ke posisinya. Ia adalah bagian sebuah keluarga yang memiliki kewajiban moral, entah sebagai ibu atau ayah. Ia adalah tenaga pengajar yang gajinya jarang berkelebihan, malah harus direm setiap kalender memasuki tanggal puluhan. Ia pula, yang ketika menunjukkan kekesalan dan amarah sebagai karakter manusiawinya kerap dituduh sebagai pelaku kekerasan yang tak jarang harus menghadapi meja hijau.
Dalam keadaan demikian, guru di Indonesia nyaris berada di tubir pekerjaan tak menjanjikan. Dalam kemajuan teknologi dan banyaknya prospek pekerjaan-pekerjaan baru, profesi guru dinilai semakin tidak terhormat, dengan gajinya yang tak seberapa, namun berisiko besar atas tekanan sekolah, orang tua murid, maupun pergulatan moral dan nuraninya. Tak jarang ia harus melata mencari hormat, mengemis sesuatu yang tak pernah diberikan, bahkan oleh negara, yang mahir mengumbar rayuan dan gombal setiap 25 November.
Siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua ini?
Permasalahan Guru, Permasalahan Masa Depan
Setahun lalu, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim belum genap 100 hari menjabat, suatu tantangan besar telah mengadangnya. Skor Programme for International Student Assessment, Indonesia tahun 2018 baru saja keluar. Seolah menjadi kutukan, untuk kesekian kalinya Indonesia harus menerima angka merah membara sebagai hasil penilaiannya, terdiri atas skor 30 untuk kemampuan membaca (rata-rata dunia, 77); skor 28 untuk kemampuan matematika (rata-rata dunia, 76); dan skor 40 untuk kemampuan sains (rata-rata dunia, 78).
Penilaian yang sejak lama telah didaku sebagai parameter paling akurat dalam menilai kualitas pendidikan sebuah negara itu kembali menunjukkan alangkah payahnya anak-anak Indonesia ketika diadu perkara kecerdasan di bidang sains, matematika, dan kualitas membaca dengan anak-anak negeri liyan.
Kendati hanya angka-angka mati, kekuatan yang timbul darinya adalah palu yang bisa digunakan menghakimi becus/tidaknya sebuah negara mengurusi pendidikan. Publik segera mengarahkan mata nanar kepada menteri pendidikan dan kurikulum nasional. Kinerja keduanya patut menjadi garis bawah. Besarnya tanggung jawab masing-masing telah ditunjukkan kurun sejarah: dalam seperlima abad, Indonesia sedikitnya telah empat kali mengganti kurikulum dan tujuh kali mengganti menteri pendidikan.
Tentu, saya tak mencela hak publik untuk mengkritik, mencela, bahkan mengumpat sekalipun atas brengseknya situasi, tertinggalnya sistem, dan merosotnya kualitas hasil akhir pendidikan itu. Kritik, celaan, bahkan umpatan itu tidak jarang keluar karena baik menteri pendidikan maupun kurikulum nasional, keduanya sama-sebangun memposisikan diri sebagai penggembira dalam kerangka masalah kompleks pendidikan.
Alih-alih memetakan persoalan secara transparan untuk mencari solusi, menteri pendidikan selalu menggunakan jurus “coba-lalu-gagal” dalam menjawab masalah pendidikan di Indonesia.
Pada akhirnya, fakta pun berkata lain. Semakin keras publik mengkritik, jalan keluar tidak ketemu juga. Sejak 2001, secara berkala setiap tiga tahun, rapor PISA Indonesia tidak meraih capaian signifikan, atau sedikitnya bertahan antara 380–400, di saat negara-negara tetangga mencapai skor 550 ke atas. Kendati kurikulum berganti, menteri dicopot dan dicoba, siswa ditekan sedemikian keras hingga nyaris pecah kepalanya, siswa di Indonesia terbukti paling loyo ketika diadu dengan negara lain.
Ketika semua pihak enggan bertanggung jawab, tinggal guru yang harus diseret menjadi obyek penderita, bahkan yang paling keras menanggung kritik, karena dinilai tidak becus bekerja oleh negara, sekaligus tidak mampu mengajar oleh orang tua murid. Sekolah, praktis hanya menjadi tempat mencetak ijazah yang berlaku mendaftar ke institusi pendidikan formal lain, sedangkan kegiatan pembelajaran terjadi di tempat-tempat bimbingan belajar yang semakin subur dari hari ke hari.
Secara logis, jika bisnis bimbingan belajar semakin laku dan lebih disenangi siswa ketimbang sekolah formal, betapapun dalih digunakan, institusi persekolahan membuktikan dirinya sendiri telah gagal membimbing siswanya untuk belajar.
Dalam keterpurukan ini, publik lebih senang mencari pembenaran bahwa perbedaan infrastruktur, kecukupan ekonomi, dan lain sebagainya sebagai kambing hitam. Nyatanya, permasalahan konkret guru yang mendasar, yakni kesenjangan amat besar antara kewajiban moral dan hukum yang diberikan untuk mendidik yang begitu tinggi, tidak diimbangi dengan pemenuhan fasilitas yang dibutuhkan, mulai dari sarana kerja, alat-alat tulis, buku-buku yang memadai dan terjangkau harganya, serta gaji yang bersaing dan pantas.
Saya tidak pernah meragukan kualitas guru di Indonesia. Dengan sedikit tambahan dan pelatihan, guru di Indonesia dapat menjadi sama baiknya dengan guru di manapun, dan dengan asumsi demikian, guru yang baik tentu akan menghasilkan manusia-manusia yang baik. Negara-lah yang justru menjadikan mereka layaknya pawang, menuntut ini-itu tanpa kompensasi dan penghormatan yang pantas. Konsekuensi dari itu, guru tidak lagi harus melata mencari hormat yang selayaknya ia dapatkan.
Komitmen mendidik yang besar dan pengabdian tanpa syarat guru-guru bukanlah suatu kebetulan yang gampang ditemukan. Memelihara, menjaga, dan memotivasinya adalah tanggung jawab negara sebagai satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk tidak hanya memprihatinkan namun juga memperhatikan dan berbuat mengatasi persoalan para guru.
Selamat hari guru []