Mari mengenal pedagogi kritis*

Sikula.id
Sikula.id
Published in
14 min readApr 20, 2020

Oleh Jimmy Ph. Paat & Lody F. Paat**

Ilustrasi oleh Robert Collins | Unsplash

Ajakan Klub Indonesia Hijau 09 untuk merefleksikan persoalan pendidikan kita, termasuk di dalamnya ideologi (dan) pendidikan bahasan yang ditawarkan kepada kami, adalah sesuatu yang menarik. Dan semakin menarik lagi bagi kami adalah hal ini direfleksikan bersama-sama Guru-Guru Sekolah Dasar yang biasanya di wacana kependidikan kita menjadi “subjek-subjek” yang tampak terkesampingkan.

Menurut hemat kami pembahasan ideologi (dalam/dan) pendidikan banyak dibahas dalam apa yang disebut dalam ranah sosiologi pendidikan “Pedagogi kritis” (critical pedagogy). Aliran ini, kalau memang dapat disebut seperti itu, (di dalam bahasa pendidikan kita) sepengetahuan kami belum lagi menjadi bahan kajian para anggota paguyuban ilmu-ilmu kependidikan dan organisasi-organisasi guru. Jadi mudah-mudahan bahasan tawaran kami ini dapat desuai dengan apa yang diinginkan panitia dan peserta.

Sejarah

Sebelum kita memasuki pembahasan utama ada baiknya kita menengok sepintas sejarah Pedagogi Kritis. Yang terakhir ini , muncul dalang ranah teoritik sejak tiga dekade belakangan ini, melalui tulisan-tulisan pemikir sosiologi pendidikan seperti Michael Apple, Henry Giroux. Munculnya pedagogi kritis adalah, menurut William B. Stanley suatu cerminan penolakan yang radikal terhadap pendekatan-pendekatan liberal dan konservatif mengenai pendidikan secara umum dan kurikulum secara khusus. Pandangan yang dianut oleh Pedagog kritis tentang pendidikan atau kurikulum diolah berdasarkan berbagai sumber aliran dan teori: neo-Marxisme, Teori Kritik, fenomenologi, feminisme, strukturalisme, postrukturalisme, dan postmodernisme.

Pedagogi Kritis

Kata pendidikan dalam bahasa persekolahan kita sehari-hari acapkali dilawankan dengan kata pengajaran, atau singkatnya mengajar dibedakan dengan mendidik. Tetapi jika kita simak penggunaan pembedaan tersebut dalam wacana pendidikan yang mengelilingi kita, tidak berlebihan jika kita menangkap dan pembedaan tersebut hanyalah berkisar pada hal-hal yang bersifat didaktis dan psikologis, jarang menyentuh, bahkan menyampingkan, yang berkaitan dengan aspek politik. Oleh karena itu kita perlu memahami perbedaan itu lebih luas. Kaitannya dengan yang terakhir ini para teorisi pedagogi kritik menggunakan kata pedagogi. Teoritisasi pedagogi kritik Roger I. Simon mendefinisikan pengertian pedagogi sebagai berikut:

Pedagogi […] adalah penggabungan segala aspek praktik pendidikan (isi kurikulum, dan desain, strategi dan teknik, waktu dan ruang untuk pemraktikan strategi-strategi dan teknik-teknik tersebut dan evaluasi tujuan-tujuan dan metode-metode) di dalam ruang kelas. Semua aspek praktik pendidikan ini menata suatu pandangan tentang bagaimana kerja guru dalam suatu konteks institusional yang mengspesifikan suatu versi khusus tentang pengetahuan apa yang paling bernilai, apa makna mengetahui sesuatu, dan bagaimana kita membangun representasi diri kita sendiri, orang lain, lingkungan fisik dan sosial kita. Singkatnya, membahas pedagogi adalah secara bersamaan membahas juga tentang seluk beluk apa yang dikerjakan siswa dan guru secara bersama dan praktik-praktik politik kultural.

Berangkat dari definisi pedagogi yang lebih kompleks dari pengajaran ini, tugas utama pendidik dengan kerangka pikir pedagogi kritik adalah menyingkap peranan-peranan yang dimainkan sekolah dalam kehidupan politik dan kultural pembelajar. Pendidikan tidak bisa direduksi hanya sebagai hal-hai yang berkaitan dengan akademis. Pengertian pendidikan yang simplistik mengantar guru ke pemahaman yang menghapus masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan, kekuasaan, pendominasian. Artinya sekolah dengan pengertian pendidikan semacam ini hanya dianggap sebagai tempat instruksional (instructional sites), untuk meminjam ungkapan Giroux.

Sekolah atau lebih khusus lagi program sekolah yang berdasarkan pemikiran “yang steril” ini, hanya akan berfungsi untuk memprogram individu yang siap menjalankan apa yang sedang berlangsung atau fungsi sosialnya adalah pertama-tama menopang dan mensahkan “status quo”. Dengan pandangan pendidikan semacam ini, kegiatan menghubungkan pendidikan dengan kekuasaan atau (dan) politik seolah-olah menjadi sesuatu yang “haram”. Pendidikan seperti ini, dari sisi pengajar, mengikuti padangan Giroux, mereduksi guru hanya sebagai clerk of empire yang keinginan-keinginannya, suara-suaranya dibungkam agar dapat selaras dengan dunia industri, yaitu menjadikan siswa-siswa pengusaha-pengusaha yang cerdas di antara pekerja-perkerjanya yang selalu tunduk. Menurut McLaren apa yang dilakukan pada guru dipelatihan-pelatihan, menjadikan mereka manager-manager dan pelaksana-pelaksana isi yang sudah ditata lebih dahulu dan metode-metode yang diberikan kepada siswa tetapi jarang dianalisa asumsi-asumsi ideologisnya dan kepentingan-kepentingan yang mendasari pembentukan cara-cara mengajar yang diajarkan.

Konsep-konsep Utama Pedagogi Kritis

McLaren berpendapat bahwa premis yang mendasari pedagogi kritis adalah manusia pada dasarnya tidak bebas dan menetap di dunia yang penuh dengan kontradiksi dan keasimetrian kekuasaan (asymmetries of power) dan hak istimewa. Seiring dengan pengertian ini, teorisi pedagogi kritik melihat pengetahuan yang diperoleh di sekolah oleh siswa tidak pernah netral atau obyektif, tetapi ia ditata berdasarkan cara-cara tertentu. Pengetahuan adalah suatu konstruksi sosial yang secara dalam mengakar di dalam sebuah hubungan relasi kekuasaan. Menyatakan pengetahuan dibentuk secara sosial, biasanya bermakna bahwa dunia tempat kita hidup dibangun secara simbolik oleh pikiran melalui interaksi sosial dan tergantung budaya, konteks, dan sejarah. Bahasa, budaya, tempat, waktu akan mempengaruhi bagaimana simbol melahirkan makna.

Berangkat dan pemahaman tentang pengetahuan dibangun secara sosial, pedagog kritis mempertanyakan hal-hal seperti: Mengapa dan bagaimana pengetahuan dibentuk dengan cara ini dan bukan itu? Mengapa pengetahuan ini diajarkan dan yang lain tidak? Mengapa pengajar melakukan seperti yang dilakukan? Mengapa jenis, gaya pedagogis tertentu yang digunakan dalam menyampaikan pengetahuan di kelas? Mengapa ada pengetahuan yang merniliki nilai atau status yang tinggi dan ada yang dimarjinalkan? Siapa yang berkepentingan dalam menggunakan pengetahuan itu atau ini? Pertanyaan- pertanyaan ini mengantar kita untuk melihat lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan bentuk pengetahuan yang diperoleh siswa di sekolah dan apa yang disebut kurikulum tersembunyi (curriculum caché). Yang terakhir ini akan kita bahas pada bagian lain dalam diskusi ini.

Jenis Obyektif Pengajaran

Pengetahuan yang diberikan di sekolah dapat dilihat melalui pembentukan obyektif dalam praktik pengajaran. Giroux , kaitannya dengan tujuan praktik pengajaran, mengklasifikasi dua jenis tujuan: obyektif makro dan obyektif mikro. Dua konsep ini menurut tokoh pendidik kritis (critical educator) ini dapat membantu pendidik untuk mengembangkan dan mengelompokan obyektif yang digunakan untuk memperjelas hubungan antara pengetahuan yang dibentuk secara sosial dengan ruang kelas belajar-mengajar.

Obyektif mikro secara umum menggambarkan obyektif isi pelajaran yang dibatasi oleh kekhususan tujuannya. Jenis obyektif ini berkaitan dengan pengorganisasian, pengklasifikasian, penguasaan, pemanipulasian data. Dengan obyektif mikro, pengetahuan yang diberikan di sekolah disebut Giroux productive knowledge.

Obyektif makro dirancang dengan tujuan, siswa dapat mengaitkan metode, isi dan struktur pelajaran dengan maknanya dalam realitas masyarakat luas. McLaren menjelaskan bahwa dengan obyektif makro siswa akan memperoleh kerangka acuan yang luas, perspektif politik. Dengan demikiar, siswa dapat mengekplisitkan, lanjut McLaren, kurikulum tersembunyi dan mengembangkan kesadaran politik kritis.

Dua jenis obyektif harus dijalankan secara bersamaan. Misalnya dalam pengajaran sejarah, dengan tujuan mikro, mengajarkan tentang “pendudukan” (atau “perang”) di Timor Timur, guru akan mengajarkan tanggal pendudukan, tanggal-tanggal perang yang penting, hingga perdebatan di DPR mengenai berakhirnya “pendudukan.” Sedangkan kaitannya dengan tujuan makro, guru mencoba menitikberatkan pada hubungan antara penstiwa-penstiwa yang khusus dengan masalah sosial yang luas dan implikasi politiknya Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dimunculkan yaitu: Siapa yang berpekepentingan dalam “pendudukan” Timor Timur? Siapa yang beruntung dalam “pendudukan” tersebut? Pembentukan pengetahuan yang bersifat sosial politik ini disebut oleh Giroux directive knowledge, suatu jenis pengetahuan yang dapat mengatar siswa mengenal fungsi sosial pengetahuan.

Bentuk Pengetahuan

Pengetahuan produktif adalah pengetahuan yang dapat diukur, dikwantifikasi, diklasifikasi, dikuasai dan dimanipulasi. Pengetahuan jenis ini didasari atas ilmu-ilmu alam dan menggunakan hipotetiko-deduktif dan digunakan sebagai instrumen dalam pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Di dalam dunia praktik persekolahan, pengetahuan tersebut digunakan guru untuk mengelompokkan siswa-siswanya di antaranya dengan tes IQ.

Pengetatuan direktif merupakan cara penyelidikan filosofis yang dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa tentang tujuan dan apa yang sedang dipelajari atau yang tidak dapat dijawab pengetahuan produktif. Jenis pengetahuan ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan spekulatif yang berpusat pada sekitar hubungan antara cara dan tujuan. Melalui pengetahuan direktif siswa mempertanyakan tujuan mata pelajaran yang sedang dipelajari. Singkatnya pengetahuan direktif dapat disebut sebagai pengetahuan yang mempertanyakan pengetakuan produktif. Dengan pengetakuan direktif, siswa dan guru akan lebih jelas melibat bagaimana hubungan masyarakat yang dimanipulasi, diselewengkan oleh adanya hubungan kekuasaan dan hak-hak istimewa. Dengan kata lain jenis pengetahuan ini dapat menciptakan dasar-dasar pemberdayasn siswa, dan kesetaraan. Dalam pengertian ini pedagogi kritik peduli dengan pemahaman mengenai hubungan antara kekuasaan/pengetahuan dengan pendidikan. Di bawah ini akan kita bicarakan hubungan tersebut.

Pedagogi kritik dan Hubungan Kekuasaan/ Pengetahuan

Pedagogi kritik peduli dengan masalah-masalah yang menghubungkan kekuasaan dengan pengetahuan. Hal ini berbeda dengan teori-teori praktik pendidikan tradisional yang mengenyampingkannya bahkan meniadakannya. Pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tak terpisahkan secara ideologis dengan kepentingan-kepentingan khusus hampir dapat dikatakan tidak menjadi perhatian teori-teori pendidikan tradisional yang dominan di dunia pendidikan. Kritik terhadap hal ini datang dari teori sosiologi pendidikan yang dikenal dengan sebutan new sociology of education. Dan aliran sosiologi pendidikan Inggris ini merupakan salah satu karakteristik pedagogi kritik.

Pedagogi kritik selain bercirikan sosiologi pendidikan Inggris, ia juga dilandasi oleh pemikiran Michel Foucault, pemikir Prancis kontemporer yang memperlihatkan hubungan pembentukan antara “kebenaran” (pengetahuan) dengan kekuasaan.

Konsep wacana menjadi konsep penting dalam kerangka pikir Foucault . Menurut pemikir yang disebut juga postmodernis, wacana (discourse) jangan hanya dipahami sebagai sekumpulan tanda (signifiant yang mengacu pada concept), tetapi sebagai praktik yang membentuk secara sistematik obyek yang dibicarakan. “Tentu wacana dibuat dan tanda-tanda; tetapi apa yang dilakukannya lebih dari sekedar menggunakan tanda-tanda tersebut untuk menggambarkan sesuatu […] Yang lebih dari sekedar itu harus dimunculkan dan harus diekspresikan.” Artinya mengikuti Shumway dikutip Usher dan Edward bahwa “untuk memahami sejarah kegilaan (histoire de lafolie) kita harus melihat kegilaan sebagai konsep yang diciptakan pada saat yang berbeda dan tujuan yang berbeda.”

Wacana disusun melalui praktik kewacanaan (practique discursive). Yang terakhir ini, menurut Foucault , adalah suatu konsep yang tidak dapat dikaitkan dengan pengungkapan ekspresif, ide, tidak juga dengan kompetensi subyek, tetapi sebagai seperangkat aturan anonim, historis yang selalu ditentukan dalam waktu, ruang dan yang akhimya menentukan syarat-syarat pengoperasian fungsi kerterujaran (fonction énonciative) pada suatu masa tertentu, dan untuk suatu masyarakat tertentu, geografi dan linguistik tertentu. Ini berarti adanya aturan yang menentukan apa yang tidak dapat dikatakan dengan wacana yang tertentu pada waktu tertentu. Aturan-aturan ini disebut Foucault les procédures d ‘exclusion, diantaranya adalah l’interdit, pengoposisian benar dan salah.

Dengan mengikuti pemikiran Foucault, McLaren menyatakan bahwa kebenaran entah itu kebenaran pendidikan (educational truth) atau kebenaran ilmiah (scientifc truth) tidak harus dipahami sebagai seperangkat discovered laws (aturan-aturan yang telah ditemukan) yang berada di luar hubungan kekuasaan/pengetahuan. Tetapi dengan sudut pandang Foucault, kebenaran bergantung pada sejarah, konteks budaya dan hubungan kekuasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Dalam pengertian ini pengetahuan tidak absolut dan tidak juga relatif tetapi relasional;

Apa yang dapat dilakukan guru setelah melihat apa yang diperlihatkan Foucault? Guru terbimbing dalam praktik kesehariannya, untuk mempertanyakan pengetahuan apa yang patut dimiliki untuk memberdayakan siswa. Pengetahuan yang ditawarkan kepada siswa perlu dikaji secara kritis. Tidak hanya atas dasar apakah pengetahuan tersebut “benar”, tetapi yang mungkin lebih penting dari itu, apakah pengetahuan itu berisi pandangan-pandangan stereotip atau tidak. Sebagai contoh, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru kaitannya dengan pengetahuan yang akan dibangunya di ruang kelas adalah: Apakah teks yang digunakan memajukan pandangan–pandangan stereotip yang akhirnya memperkuat sikap-sikap patriarkal? Bagaimana guru membahas pengetahuan atau sikap yang dibawa siswa dari golongan “bawah” (misalnya perilaku bahasa yang tidak baku)? Apakah guru secara sadar atau tidak mengecilkan pengetahuan-pengetahuan tertentu sehingga memperlemah “suara” pembelajar (misalnya pengetahuan kesusatraan dengan pengetahuan yang berkaitan dengan kealaman, teknologi)?

Singkatnya pengetahuan dan tindakan yang direalisasikan baik guru maupun siswa harus bertujuan untuk menghilangkan penindasan, ketaksetaraan dan melahirkan keadilan dan kebebasan.

Pedagogi Kritis dan Kurikulum Tersembunyi

Kegiatan persekolahan tidak dapat tidak harus dikaitkan dengan apa yang disebut kurikulum. Pemahaman atau pengertian kurikulum dari teorisi pedagogi kritik atau disebut juga teorisi kurikulum berperspektif rekonseptualis seperti apa yang diuraikan William Pinar, James McDonald, berbeda dan apa yang dikemukakan teorisi-teorisi kurikulum berperspektif tradisionalis, seperti Ralph Tuyler, Hilda Taba, dan konseptual-empiris, seperti Benyamin Bloom, Jerome Bruner . Kurikulum dari pengertian teon pedagogi kritik merupakan kritik terhadap kurikulum dominan yang terlalu terbenam dalam orientasi teknologi . Tidak pada kesempatan ini kami menguiraikan perbedaan ketiga perspektif tersebut. Yang menjadi perhatian kami pada diskusi ini adalah kurikulum berperspektif rekonseptualis yang hemat kami memperjelas pengertian kurikulum dari sisi pandang yang “lain”.

Secara ringkas dapat kita katakan bahwa apa yang dimaksud dengan kurikulum dari sudut pandang teori pedagogi kritik, adalah yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana bahan ajar, materi, isi kurikulum, penggambaran isi buku teks, hubungan sosial terwujud di dalam praktik ruang kelas? Apakah itu semua menguntungkan pembelajar dari kelompok tertentu dan akhirnya menyampingkan yang datang dari kelompok lain? Apakah itu semua memperkokoh nilai-nilai penyeleksian yang acapkali diskriminatif karena didasari atas misalnya gender, latar belakang sosial atau ketidakmampuan fisik dan intelektual (disableism)? Dalam hal ini teori pedagogi kritik mengacu pada apa yang disebut kurikulum tersembunyi .

Menurut Vallence, kurikulum tersembunyi mengacu pada praktik dan hasil persekolahan yang tidak diharapkan dan yang tidak dijelaskan dalam (panduan) kurikulum atau kebijakan sekolah, tetapi tampak sebagai kegiatan sekolah yang teratur dan efiekti£ Dalam pengertian ini, para teoritisi pedagogi kritik dan pedagog feminis melaporkan bahwa guru melakukan apa yang disebut sexism . di ruang kelas. Pengonstruksian identitas dan pengelolaan pelajaran berdasarkan jenis kelamin di ruang kelas yang banyak dilaporkan para peneliti berperspektif feminis, merupakan salah satu perwujudan kurikulum tersembunyi.

Dari kajian Measor dan Sikes , sexism terjadi dari tingkat pendidikan pra sekolah hingga sekolah menengah umum. Pengrealisasian sexism dapat terwujud dalam mengorganisasian, pengelolaan kelas dan pelajaran. Guru tidak jarang menggunakan strategi persaingan (strategy of competition) antara pria dan perempuan agar mereka bekerja keras secara berbeda. Gilbert dan Taylor, dua peneliti Australia, mengutarakan bahwa sexism diwujudkan dalam teks-teks yang diperuntukan anak yang sedang belajar membaca. Sebagai contoh mereka mengutarakan konsemkonsep yang menunjukkan perbedaan steriotip gender dalam 163 buku bacaan anak-anak: ayah “mencat”, “menyetir”, “memperbaiki mobil”, “menyalakan api”. Dan ibu “membakar kue”, “memeluk”, “mencium bayi, memilih bunga”, “mengatur meja”.

Penelitian mengenai sexism di ruang kelas, menurut Measor dan Sikes , memperlihatkan adanya suatu proses pemancangan gender identity dan akibat dan kegiatan pendidikan semacam ini adalah pembatasan kesempatan hidup. Sedangkan McLaren berpendapat bahwa classroom sexism sebagai fungsi kurikulum tersembunyi menghasilkan (yang tanpa disadari dan diharapkan) suatu pengakuan terhadap kekuasaan dan keistimewaan pria atas perempuan.

Kepatuhan, perkembangan sikap terhadap otoritas, penguatan perbedaan kelompok (kelas sosial) merupakan bentuk lain dari hasil produksi kurikulum tersembunyi, seperti yang diutarakan Vallence. Hasil penelitian Jean Aryon dapat merupakan salah satu pendukung pernyataan Vallence. Anyon memperlihatkan bahwa konsep otoritas, kerja, kepemilikan dan aturan disajikan melalui kurikulum tersembunyi di sekolah. Ia meneliti lima sekolah yang masing-masing berbeda latar belakang sosialnya (dua sekolah untuk anak pekerja, satu sekolah berpopulasi anak-anak dan kelas menengah, satu sekolah berpopulasi anak-anak executive elite) untuk melihat cara kerja kurikulum tersembunyi. Sebagai contoh, perhatikan catatan observasi Anyon di sekolah yang berpopulasi anak pekerja. Catatan ini melukiskan apa yang diharapkan dari anak adalah bekerja secara mekanik dan patuh, sehingga anak mempunyai kesempatan sedikit untuk mengambil keputusan:

[….] She said, “Take your ruler? Put it across the top. Make a mark at every number. Then move your ruler down to the bottom … At this point a girl said that she had a faster way to do it and the teacher said, ‘No you don ‘t; you don ‘t even know what I’m making yet. Do it this way, or it ‘s wrong.

Menurut Anyon cara mengajar yang mekanik ini diaplikasikan oleh guru dalam selurub mata pelajaran di sekolah yang berpopulasi anak pekerja. Sebagai contoh peneliti dengan perspektif marxist ini memperlihatkan bahwa dalam pengajaran bahasa guru mengajar tanda baca secara mekanik aturan-aturan penggunaan tanda baca. Artinya perubahan aturan tidak pemah dijelaskan guru.

Dalam sekolah yang berisi anak-anak dan kelas menengah atas, aturan, otoritas dan kebersiban diwujudkan secara berbeda dengan apa yang dilakukan di sekolah anak-anak dari golongan pekerja. Sebagai contoh, dalam pengajaran bahasa yang ditekankan guru adalah menulis ktreatif. Prinsip-prinsip tanda baca diajarkan, tetapi siswa belajar bahwa penempatan tanda baca tergantung makna yang ingin dikomunikasikan.

Anyon membuktikan bahwa konsep-konsep bekerja seperti, otoritas, aturan diajarkan secara berbeda dari satu sekolah ke sekolah lainnya dan perbedaan ini berkorelasi dengan latar belakang sosial. Penelitian tentang kerja kurikulum tersembunyi seperti yang dikerjakan Anyon memperlihatkan bahwa di dalam dunia persekolahan baik kurikulum atau program pendidikan tidak pemah bebas dari kepentingan ideologi dan politik atau bebas nilai.

Hegemoni

Uraian di atas memperlihatkan kepada kita adanya budaya dominan yang ditekankan di suatu sistem persekolahan, bahkan dapat dikatakan adanya pemeliharaan pendominasiaan. Kaitannya dengan yang terakhir, pedagog kritis mengaitkan konsep hegemoni dengan pendidikan. Bicara tentang hegemoni tidak bisa tidak harus dikaitkan dengan Antonio Gramsci. Menurut Grisoni dan Maggiori, Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai “sekumpulan fungsi pendominasian, pendidikan, dan pengarahan yang dilakukan suatu kelas sosial yang dominan selama periode tertentu terhadap suatu kelas sosial lainnya, bahkan sejumlah kelas sosial lainnya…”

Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana proses hegemoni berlangsung di dalam institusi kependidikan yang bernama sekolah? Menurut Giroux , hegemoni masuk mengakar melalui teks-teks sekolah, film dan wacana guru. Konsep hegemoni menjadi penting dalam teori dan praktik kependidikan karena ia menyingkap hal-hal yang bersifat politik yang berada dalam dunia persekolahan yang tidak menjadi perhatian wacana ilmiah pendidikan yang umumnya digunakan para pendidik.

Hegemoni terjadi juga dilihat dari sisi kesadaran palsu. Para sosiolog pendidikan Marxis menggunakan konsep-konsep seperti false consciousness, hegemony dan menjelaskan bagaimana hal ini dapat terjadi. Para anggota kelas bawah (subordinate class) yang mengungkapkan sudut pandang dan berbagi nilai dengan kelas dominan memperlihatkan adanya kesadaran yang salah. Kesadaran yang benar dari kelasnya sering dihalangi, terganggu karena menerima nilai kelas dominan. Ketika kelas dominan berhasil membangun cara pikimya pada sebagian atau pada kebanyakan anggota kelas bawah, ini dapat dikatakan hegemoni telah dibangun pada kelas bawah. Dalam pengertian ini hegemoni berarti adanya pengaruh yang besar dan otoritas terhadap orang (kelompok) lain.

Guru dan Siswa

Bagaimana hubungan guru dan siswa yang berada dalam kerangka pikir pedagogi kritik? Guru yang berperspektif pendidikan kritis melakukan tindakan pedagogisnya berdasarkan pengalaman dan suara-suara siswa. Dalam pengertian ini guru tidak lagi berfungsi sebagai déposant (orang yang memberi) dan siswa sebagai dépositaires (orang yang menerima). Atau dengan kata lain pedagogi kritik menentang apa yang disebut Paulo Friere pendidikan à la bank (l’éducation bancaire). Pendekatan Freire ini mengutamakan dialog yang sesunggulmya (genuine dialogue) antara siswa dan guru. Jenis pendidikan semacam ini hanya dapat terjadi jika dikotomi guru/siswa dilampaui. Untuk ini, perhatikan yang diutarakan Freire “Il n’y a plus d’éducateur de l’éléve ni d’éléve de l ‘educateur, mais un “éducateur-éléve ” avec éléve-éducateur” (Tidak ada lagi guru si siswa tidak juga siswa si guru, tetapi guru-siswa dan siswa-guru).

Dengan demikian, dalam perspektif pedagogi kritis, pengertian pendidikan tidak banya menempel pada guru, dan begitu juga, siswa tidak hanya berfungsi sebagai individu yang dididik. Baik guru maupun siswa kedua-duanya dapat menjadi individu yang mendidik dan yang dididik. Dengan kata lain mengikuti ekspresi J. Beillrot, “Nous vivons dans une société pédagogique” (Kita hidup dalam masyarakat pedagogis) , artinya masing-masing, tergantung di mana dan kapan, dapat menjadi pembelajar atau yang mengajar.

Melalui dialog, pendidikan selalu mengacu pada proses di mana guru dan siswa selalu bernegosiasi dalam rangka memproduksi atau membangun makna-makna baru. Pemproduksian makna baru ini mengantar diri manusia dewasa (guru) dan yang bukan dewasa (siswa) untuk membongkar pandangan-pandangan, nilai-nilai stereotip yang mengkungkung mereka. Dengan kata lain melalui dialog, asumsi-asumi yang dipegang guru, siswa atau masyarakat selalu menjadi pertanyaan peserta dialog

Penutup

Meskipun hanya sebagian konsep-konsep dari pedagogi kritis yang diungkap dalam diskusi ini, kami kira itu sudah cukup untuk memperlihatkan adanya perspektif lain yang dapat memberikan kepada kita beberapa pengertian yang berkaitan dengan sekolah dan pendidikan

Pertama, pedagogi kritik mengantar kita untuk menyadari bahwa sekolah tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan kelompok dominan. Kedua, melalui perspektif pedagogi kritis, kita menangkap bahwa individu yang tidak berdaya di sekolah adalah karena multi faktor antara lain gender, etnik, idiologi atau latar belakang sosial, ketidakmampuan fisik dan mental (jadi bukan hanya karena faktor psikologis yang acapkali dilekatkan para pendidik). Ketiga, pedagogi kritis mengantar kepada pengertian bahwa dikotomi guru-siswa tidak relevan lagi dalam pendidikan. Dan terakhir, pedagogi kritis menekankan apa yang disebut “dialog yang sesungguhnya” (“genuine dialogue“). Dengan yang terakhir ini, guru dan siswa mempertanyakan asumsi-asumsi atau nilai-nilai yang kadung menempel begitu keras atau telah memfosil dalam diri kita.

Referensi:

Jean Anyon, “Social Class and the Hidden Curriculum of Work” (terbit di Journalof Education, 1980, 162, 67–92) in Henry Giroux dan David Purpel(eds.), The Hidden Curriculum and Mortal Education, Berkeley, McCutchan71983, h.143–167

Michael Apple, Ideology and Curriculum, New York, Routledge, 1990 (1979 cetakan pertama).

— — — — ,Education and Power, Arts Paperbacks, Boston & London, 1985 ( 1982 cetakan pertama). J. Beillerot, La société pédagogique, Paris, PUF,1982.

Yves Bertand, Théories contemporsines de léeducation, Lyon dan Montreal, Chronique sociale dan Editions Nouvelles,1998 (cetakan keempat).

Michel Foucault, L’archéologie du savoir, Paris,Gallimard, 1969.

— — — — ,L’ordre du discours, Pariis, Gallimard, 1971.

Paulo Freire, Pédagogie des opprimés, Paris,Maspero, 1974.

Pam Gilbert dan Sandra Taylor, Fashioning the feminine. Girls, Popular Culture and Schooling, Sydney, Allen & Unwin,1991.

Henry Giroux, Ideology, Culture, and the Processof Schooling, Temple University Press dan Falmer Press, Philadelphia danLondon, I981.

— — — - — , Schooling and the struggle for Public Life. Critical Pedagogy in the Modern Age,Minneapolis, University of Minnesota Press, 1988.

— — — — ,Beachers as Intellectual Toward a Critical Pedagogy of Learning, New York,Bergin & Garvey, 1988.

Henry A. Giroux, Anthony N. Penna, William F. Pinar (eds.), Curriculum & Instruction. Alternatives in Education, Berkeley,McCutchan, 1981.

Dominique Grison dan Robert Maggiori, Lire Gramsci, Paris, Éditions Universitaires, 1973.

Kathleen Benett de Marlais dan Margaret D. LeCompte, The Way Who Schools Work. A Sociological analysis of Education, New York, Longman, 1999.

Peter McLaren, Life in School. An Introduction to Critical Pedagogy in the Foundationof Education, Longman, 1994 (1984 cetakan pertama).

* Tulisan ini pertama kali diterbitkan secara daring oleh Pendidikan Progresif.

** Jimmy Ph. Paat dan Lody F. Paat adalah Pengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Penggiat Lingkar Studi Pendidikan Progresif (LSP-Progresif).

--

--