Menaklukkan Perundungan di Sekolah

Sikula.id
Sikula.id
Published in
4 min readJun 29, 2020
Foto oleh Kyo Azuma | Unsplash

*Oleh: Suci Aulia Zahman, Guru Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe, Penerima Beasiswa Commissioned Master Degree Program in Teacher Education Yayasan Sukma di Tampere University, Finlandia.

Tulisan ini pertama kali terbit di Media Indonesia

Maraknya kekerasan yang terjadi di sekolah menyita perhatian masyarakat terutama di kalangan orangtua. Mengapa kekerasan (bullying) terjadi di sekolah? Apa yang dapat dilakukan guru untuk meminimalkan bullying di sekolah?

Sekolah merupakan sarana mendidik generasi muda penerus bangsa. Tempat siswa dididik secara akademis, afektif, akhlak, dan tingkah laku. Memanusiakan manusia juga salah satu fungsi sekolah. Keberhasilan seorang siswa di masa depan pun tidak luput dari kontribusi proses belajar di sekolah. Namun, apa yang terjadi jika sekolah justru menjadi tempat bullying berkembang? Siapa yang harus bertanggung jawab ketika praktik bullying terjadi?

Sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu melalui serangkaian proses belajar-mengajar. Bagian terpenting dari proses itu bukan saja tentang bagaimana ilmu didapat atau pencapaian yang bisa diraih, melainkan juga bagaimana interaksi yang berlangsung antara guru dan murid dalam proses itu dapat menjamin keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan.

Dalam proses ini kemampuan profesional guru menjalin hubungan emosional dengan siswa menjadi kunci. Tugas guru tidak sekadar berkaitan perannya sebagai subyek yang menyampaikan materi pembelajaran dan melakukan evaluasi dan penilaian. Tugas sesungguhnya ialah mendidik. Sebagai pendidik, guru adalah anutan, teladan, orangtua, sekaligus sahabat siswa. Dalam konteks maraknya praktik kekerasan di sekolah, mampukah guru menjadi panutan dan teladan bagi praktik nirkekerasan? Sudahkah guru menjadi pendidik sesungguhnya?

Sebagai seorang pendidik, guru bertanggung jawab turut membentuk karakter siswa menuntun siswa membedakan hal baik dan buruk dan mempersiapkan mereka menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti. Jika guru mengajar dengan baik, murid akan berhasil karena pengajarannya yang luar biasa.

Ketika siswa mereka kemudian mendapatkan kualifikasi dan keterampilan yang lebih, bisa dipastikan hal itu juga disebabkan keahlian guru dalam mengajar. Saat murid pada akhirnya memiliki karier dan kehidupan yang baik, hal itu dibangun berdasarkan pengajaran guru yang baik. Prinsipnya guru yang baik menyentuh kehidupan manusia selamanya (Petty, 2009).

Karena itu, dalam kasus terjadinya berbagai praktik kekerasan — termasuk bullying — guru sering menjadi pihak yang ‘dipertanyakan dan diminta’ pertanggungjawabannya. “Mengapa bullying bisa terjadi? Apa yang dilakukan sekolah dan guru saat itu terjadi?”

Layaknya pencapaian akademik siswa, baik kegagalan maupun keberhasilan akademik siswa hampir selalu dikaitkan dengan kontribusi guru. Begitu juga terjadinya praktik bullying, dengan mudah dapat dianggap sebagai kegagalan guru mendidik muridnya. Guru dianggap tidak memiliki kepedulian memadai sehingga praktik bullying dapat terjadi. Bullying yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah tidaklah muncul begitu saja. Sebagai ilustrasi, penulis memiliki pengalaman dengan praktik bullying di kelas yang menimpa seorang murid perempuan. Ia diberi julukan yang tidak baik dan tidak disukainya oleh beberapa rekan sekelasnya. Ejekan yang diterimanya juga diikuti dengan pengucilan yang membuatnya tidak lagi bersemangat dalam proses belajar, malu tampil di depan kelas dan tersisih.

Dari pengalaman itu, penulis menyadari bahwa kepedulian seorang guru terhadap lingkungan sekitar dan perhatian lebih terhadap siswa sangat dibutuhkan. Hal-hal kecil tidak akan luput dari pandangan guru ketika guru peduli dan berada di sisi siswa. Memantau, memperhatikan, dan mengobservasi tingkah laku siswa juga salah satu tanggung jawab guru. Bullying bisa berawal dari banyak hal yang sering dianggap sepele, seperti saling mengejek antarsiswa. Kepekaan dan kepedulian guru menjadi penting karena mereka dapat memainkan peran penting melawan praktik bullying.

Kerja sama

Dalam upaya meminimalkan bullying yang terjadi di sekolah, seluruh elemen yang terkait dengan sekolah harus terlibat. Sekolah, guru, siswa, dan orangtua memiliki peran masing-masing dalam meminimalkan bullying. Pertama, melalui pemantauan dan pendekatan dengan siswa, guru dapat mengaktifkan bystander. Bystander merupakan seseorang yang tidak terlibat sebagai baik pelaku maupun korban dalam kekerasan.\

Saat bullying terjadi, selain pelaku dan korban, bystander ialah salah satu bagian dari tindak bullying sebagai saksi (penonton) terjadinya hal itu tanpa melakukan apa pun. Sebenarnya, bystander memiliki peran tidak kalah penting dalam upaya menekan terjadinya bullying karena bystander ialah aktor penting dalam menghalangi dampak dan kerusakan dari bullying (Padgett dan Notar, 2013).

Kesadaran siswa (bystander) akan peran penting mereka terhadap penurunan angka terjadinya bullying dapat ditingkatkan dengan memberikan pemahaman dini tentang bullying. Dengan demikian, siswa yang tidak terlibat tidak hanya berperan sebagai penonton. Sama halnya dengan guru, siswa sebagai bystander juga akan memantau situasi sekitar dan melaporkannya kepada guru.

Kedekatan yang dibangun guru dengan siswa dapat dijadikan sebagai alat untuk bekerja sama memantau peringatan dini terjadinya kekerasan. Guru sebagai pendidik, karena itu, perlu memahami siswa, menjadi pendengar yang baik, serta membantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Dengan mengembangkan kemampuan semacam itu, tanda-tanda kemunculan praktik bullying — dan bentuk kekerasan lainnya — di kalangan siswa akan terdeteksi dengan sendirinya.

Kedua, sekolah memiliki komitmen menyusun, memiliki, dan menjalankan aturan dan larangan segala bentuk praktik bullying. Seluruh elemen di sekolah harus bekerja sama menciptakan budaya bebas bullying. Dengan membangun budaya itu, praktik-praktik bullying tidak akan ditoleransi terjadi di sekolah. Budaya itu yang akan menjadi pengingat dan tuntunan siswa di sekolah untuk menjauhi atau bahkan melawan segala bentuk praktik bullying.

Ketiga, melalui sekolah, guru bekerja sama dengan orangtua mengadakan sosialisasi dan pembekalan tentang kekerasan serta cara mengatasinya. Guru juga menginformasikan perkembangan anak di sekolah kepada orangtua terkait dengan perubahan perilaku yang diduga tanda peringatan terjadinya bullying. Sebagai tindak lanjut dari informasi yang diberikan guru, orangtua berkomunikasi secara langsung dengan siswa di rumah.

Bertanya dan berdiskusi tentang masalah dan kendala di sekolah. Kerja sama dan kepedulian guru dan orangtua terhadap siswa menjadi salah satu cara mendeteksi praktik bullying di sekolah.

Pencegahan terhadap intimidasi di sekolah harus menjadi isu prioritas sekolah. Metode pengurangan intimidasi yang paling efektif ialah melibatkan pendekatan keseluruhan sekolah (Dake, dkk., 2003). Dengan demikian, kerja sama seluruh elemen sekolah itu akan sangat membantu meminimalkan bullying yang terjadi.

Kepedulian sekolah, guru, siswa, dan orangtua dalam menjalankan peran masing-masing pun turut mempermudah pencegahan terjadinya bullying. Kombinasi antara kerja sama dan kepedulian ialah langkah penting menuju lingkungan belajar yang tidak menoleransi praktik-praktik bullying. Sekolah tanpa bullying akan menjadi tempat ternyaman bagi siswa menuntut ilmu dan membentuk karakter menjadi pribadi lebih baik []

--

--