Oleh Ayu ‘Ulya*
Selama menempuh perjalanan hidup, hampir dapat dipastikan, setiap orang pernah mengenal seorang teman, seorang guru, atau bahkan seorang murid yang humoris. Mereka mampu membuat suasana hati dan hari orang-orang di sekitarnya menjadi jauh lebih baik. Namun tampaknya humor belum dianggap sebagai sebentuk kecerdasan, terutama di lembaga-lembaga pendidikan formal. Bahkan opsi pembelajaran humor sebagai cabang ekstrakulikuler di kampus atau sekolah pun terlihat nihil adanya.
Padahal sejak dulu telah diketahui, bahkan hasil riset turut menghadirkan bukti, bahwa humor merupakan bagian dari intelegensi yang patut dimiliki, dipelajari, dan diapresiasi. Kecerdasan humor terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup seseorang, baik secara emosional, sosial, maupun finansial. Skill humoristis bahkan bisa dijadikan pilihan karir di masa depan.
Adapun sederet tokoh dunia yang memiliki karir cemerlang berkat mengandalkan kecerdasan humor adalah Jim Carrey, George Carlin, dan Robin Williams. Di Indonesia, kita mengenal Komeng, Cak Lontong, dan Raditya Dika. Di Aceh pun kita dapat menemukan sederet seniman parodi yang juga mengandalkan kecerdasan humor dalam membangun karir mereka, semisal Teuku Mail (IG: @teuku_mail), Zulhadi (IG: @hadiramnit), dan Julian Syah Putra (IG: @sengklekman).
Bapak sains dunia, Albert Einstein sendiri mengklaim bahwa sejatinya terdapat kaitan erat antara pikirannya yang cemerlang dengan selera humor yang ia miliki. Alastair Clarke, penulis The Pattern Recognition Theory of Humour, turut memberikan pandangannya terhadap hal tersebut.
“Humor bukan tentang komedi; ini tentang fungsi dasar kognitif”, jelasnya. Clarke lebih lanjut memaparkan bahwa humor erat kaitannya dengan kemampuan mengenal pola secara instan, memahami hubungan dari beragam rangsangan, dan sebagai tolak ukur kecerdasan bahasa yang mencerminkan kemampuan kognitif dasar manusia.
Daniel Holt, peneliti dari The Ohio State University, mempelajari korelasi antara humor dan bakat pada anak usia sekolah. Dia menyimpulkan bahwa siswa berbakat memiliki beberapa karakteristik umum yang serupa, salah satunya adalah “selera humor yang tinggi.”
Pada tahun 2010, peneliti Universitas New Mexico melakukan studi dengan 400 siswa, yang dibagi berdasarkan jenis kelamin. Mereka diuji untuk kecerdasan verbal, penalaran abstrak, dan kemampuan mereka untuk menghasilkan humor. Hasilnya, skor tinggi pada tes kecerdasan berkorelasi dengan kemampuan mengenali pola dan menghasilkan humor.
Sebuah studi neuropsikologis menemukan bahwa emosi positif, seperti kegembiraan, kesenangan, dan kebahagiaan, meningkatkan produksi dopamin di otak. Dopamin tidak hanya menimbulkan semangat, namun juga membuka pusat pembelajaran pada otak, dengan koneksi saraf yang lebih banyak. Sehingga, manusia mampu menjadi lebih fleksibel, kreatif, dan lebih baik dalam menyelesaikan masalah.
Para peneliti di Austria juga menemukan bahwa seseorang yang memiliki selera humor, terutama dark humour, memiliki IQ lebih tinggi daripada rekan-rekan mereka yang kurang lucu. Para periset berpandangan bahwa dibutuhkan kemampuan kognitif dan emosional untuk memproses dan menghasilkan humor. Analisa mereka menunjukkan bahwa orang-orang humoris memiliki kecerdasan verbal dan nonverbal yang lebih tinggi, meningkatkan persepsi kepercayaan diri, dan tingkat gangguan mood dan agresivitas yang lebih rendah.
Tidak hanya pintar membuat orang lain tertawa, orang-orang humoris juga mampu menertawakan diri mereka sendiri. Elizabeth Krumrei-Mancuso menjelaskan bahwa keberanian mengakui ketidaktahuan mencerminkan kecerdasan pada diri seseorang. Bersama timnya ia menemukan model intellectual humility (IH), yang berkaitan dengan kemampuan seseorang yang memiliki wawasan dan kejujuran untuk mengakui ketidaktahuan tentang suatu pengetahuan atau pengalaman dari suatu masalah. IH mencerminkan perilaku yang dapat mengarahkan orang untuk belajar lebih banyak, khususnya terkait pemikiran reflektif, keingintahuan intelektual, dan keterbukaan. Hal ini dapat diartikan bahwa orang yang rendah hati secara intelektual mampu bekerja lebih baik dengan orang lain. Sehingga tidak mengherankan bahwa seseorang yang mampu menghasilkan dan menafsirkan humor secara baik kerap menjadi sosok yang populer dan disukai banyak orang.
Sebuah jurnal terkait Psikologi Evolusi yang dipublikasikan tahun 2008 menempatkan humor sebagai indikator kebugaran mental. Berdasarkan teori Miller dinyatakan bahwa humor yang disengaja berevolusi menjadi sebuah indikator kecerdasan. Hasil penelitian ternyata mendukung teori ini. Sang peneliti memaparkan, “Kemampuan memproduksi humor yang efektif menunjukkan indikator yang jujur terhadap kecerdasan manusia.”
Pada 2012, Greengross, Miller & Martin mengukur kecerdasan mahasiswa dan stand-upkomedian. Sebanyak 31 komedian dan 400 mahasiswa diuji terhadap produksi humor dan kecerdasan verbal. Hasilnya, para komedian mendapat skor lebih tinggi daripada para mahasiswa, tidak hanya pada produksi humor tetapi juga pada kecerdasan verbal. Hasil riset tersebut membuktikan bahwa kecerdasan menghasilkan selera humor yang lebih berkelas.
Adapun hal paling menguntungkan dari kecerdasan humor manusia di era modernisasi adalah terdapatnya fakta saintifik yang menyatakan bahwa kecerdasan buatan sekalipun — JAPE (the Joke Analysis and Production Engine), STANDUP (the System To Augment Non-Speakers’ Dialogue Using Puns), LIBJOB (the Light Bulb Joke Generator), SASI (a sarcasm-detecting program), dan DEviaNT — mengalami kesulitan memproduksi humor yang bagus.
Para pakar AI (artificial intelligence) menyebutkan bahwa humor dihasilkan dari pemantauan kondisi dunia secara luas; melalui sikap, asumsi, nilai moral, dan hal-hal tabu lainnya. Mereka juga menambahkan bahwa komedi terbentuk dari kemampuan manusia untuk bersenang-senang dan melanggar aturan baku. Kemampuan semacam itu akan sangat sulit diadopsi oleh komputer dan mesin. Sehingga, mereka pun menarik kesimpulan.
“Jika kecerdasan manusia mampu menciptakan dan menafsirkan humor dengan cara yang tidak dimiliki oleh program komputer, maka terdapat kemungkinan korelasi kecerdasan yang lebih tinggi dengan humor yang lebih baik.”
Perlu kita ingat bersama pada tahun 1983, Dr. Howard Gardner, salah seorang profesor di Universitas Harvard telah mengembangkan teori kecerdasan majemuk. Baginya, manusia memiliki 8 jenis kecerdasan dalam kapasitas berbeda. Beberapa kecerdasan ini melibatkan humor sebagai karakteristik kemampuan bahasa, nalar, dan spasial. Hal tersebut dapat diuji melalui tes IQ tradisional. Tentu hal ini turut memperjelas alasan keterkaitan antara humor dan kecerdasan. Namun, humor hanyalah salah satu ciri di antara banyak hal yang menandai kecerdasan pada diri seseorang.
Dr. G.S. Bain dan Dr. L.S. Berk dari Universitas Loma Linda, melalui penelitian mereka, juga mengingatkan bahwa humor yang baik adalah “obat bagi kehidupan”, yang terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan. Menurut mereka, kegembiraan dapat mengurangi stres dan meningkatkan daya ingat.
Dengan demikian, melalui ragam sudut pandang para ahli, dapat disimpulkan bahwa korelasi antara humor dan kecerdasan manusia itu benar adanya. Tentunya, fungsi positif dari kecerdasan humor tersebut dapat diadopsi dalam proses belajar-mengajar di kampus dan sekolah. Suasana belajar yang diselingi canda dan tawa pastinya mampu mengusir kantuk dan menghidupkan suasana kelas. Lagi pula, Bapak animasi, Walt Disney sejak jauh hari telah mengingatkan kita, “Laughter is no enemy of learning”, tawa bukanlah musuh pembelajaran. []
Referensi:
Briggs, S. (2015). Intelligence & Humour: Are Smart People Funnier? Diakses darihttps://www.opencolleges.edu.au/informed/features/intelligence-humour-are-smart-people-funnier/
Donk, K. (2019). People Who Can Admit What They Don’t Know Tend to Know More. Diakses dari https://curiosity.com/topics/people-who-can-admit-what-they-dont-know-tend-to-know-more-curiosity/
Dowthwaite, L. (2017). Funny People are Also More Intelligent, According to New Research. Diakses dari https://www.weforum.org/agenda/2017/10/funny-people-are-also-more-intelligent-according-to-new-research
Gardner, H. (t.b.). Multiple Intelligences. Diakses dari http://www.tecweb.org/styles/gardner.html
Labrien, D. (t.b.). Is There Any Link Between Humor and Intelligence? Diakses dari https://www.lifehack.org/378304/there-any-link-between-humor-and-intelligence
* Ayu ‘Ulya adalah pemikir inovatif, penyuka seni kreatif, dan pemerhati dunia pendidikan. Karyanya yang lain dapat dinikmati di ayuulya.com. Dia dapat dihubungi melalui email ayuulya90@gmail.com.