Pentingnya motivasi bagi mahasiswa baru

Sikula.id
Sikula.id
Published in
4 min readApr 16, 2020

Oleh Muhammad Haekal*

Foto oleh Shubham Sharan | Unsplash

Sebagai pengajar di sebuah kampus yang berlokasi di Banda Aceh, saya seringkali mendapatkan mata kuliah yang diperuntukkan untuk mahasiswa baru (maba). Mereka berasal dari berbagai daerah. Sebagian menamatkan SMA/ sederajat di Banda Aceh, dan ada juga yang datang dari Meulaboh, Takengon, Singkil, Bireuen, dan kota-kota lain di luar ibukota provinsi Aceh.

Saya memerhatikan, awal semester menjadi saat yang campur aduk bagi mereka. Di masa daftar ulang hingga orientasi, maba terlihat hilir-mudik mencari informasi, kadang dengan pakaian khas perpaduan kemeja putih dan celana hitam. Beberapa berjalan sendirian. Namun kebanyakan berjalan bersama teman, bahkan beberapa di antaranya ditemani oleh orang tua. Di media sosial seperti Instagram, foto-foto aktivitas awal semester berseliweran. Kebanyakan memajang momen orientasi yang dilengkapi dengan keterangan penuh semangat.

Percakapan yang paling sering terdengar saat itu adalah: “Kuliah di mana? Jurusan apa?

Di masa awal perkuliahan, maba berpotensi menghadapi permasalahan terkait regulasi diri, yaitu kemampuan seorang individu mengatur diri dan lingkungan serta menciptakan dukungan kognitif untuk menghasilkan konsekuensi tertentu dari tingkah laku dirinya tersebut (Nurulisya & Kristiana, 2014). Singkatnya, proses adaptasi dari kehidupan sekolah, ke kehidupan kampus.

Dari sekian banyak mahasiswa, kemungkinan ada sebagian orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di ibukota. Mereka masih buta arah. Untuk pergi ke kampus saja mungkin harus tanya sana-sini. Selain itu, ada pula yang baru kali ini tinggal sendiri. Jika dulu ketika sekolah, tidur ada yang membangunkan, makan-minum sudah siap tersaji di meja, pakaian sudah tersetrika rapi di dalam lemari, tapi kini mereka mesti mengatur segala sesuatu sendiri. Belum lagi jika ada yang berasal dari keluarga miskin, hanya dititipkan uang serba sedikit, atau malah dipesan oleh orang tua agar bekerja sambil kuliah untuk bayar SPP, tentu tantangan mereka lebih besar lagi.

Selain persoalan personal di atas, ada pula tantangan adaptasi dalam bidang akademik. Di sekolah dulu, mungkin siswa akan dikejar-kejar oleh guru untuk masuk kelas. Di kampus, setahu saya, tidak ada dosen yang melakukan hal itu. Masuk atau tidak masuk, itu keputusan independen seorang mahasiswa — tentu dengan segala konsekuensinya. Belum lagi persoalan-persoalan sederhana seperti perihal mencatat. Ketika sekolah, tak jarang guru memaksa siswa untuk mencatat, bahkan ada guru yang mengambil penilaian dari kelengkapan catatan siswa. Di kampus, sepengetahuan saya, banyak hal, termasuk perihal mencatat, tidak masuk dalam koridor “suruh-menyuruh”. Jadi, mahasiswa yang tidak punya inisiatif, berpotensi ketinggalan materi. Dalam hemat saya, proses menciptakan regulasi diri tersebut berlangsung dalam semua segmen kehidupan seorang mahasiswa, khususnya dalam aspek yang berbeda dari kehidupan mereka sebelumnya.

Oleh sebab itu, penting bagi dosen untuk berempati kepada mahasiswa baru, khususnya di semester pertama. KBBI mendefinisikan empati sebagai: “keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.” Dengan menempatkan diri dalam kondisi mereka, dosen setidaknya dapat memosisikan diri secara lebih baik, misalnya dengan tidak mengatur ekspektasi melebihi kondisi mahasiswa, serta menampilkan rasa toleransi yang tinggi apabila mahasiswa belum memenuhi standar tertentu.

Sikap empati ini dalam praktiknya juga perlu dukungan dengan pemberian motivasi agar mahasiswa perlahan-lahan bangkit dan berkembang sesuai dengan level yang diharapkan. Motivasi adalah kekuatan pendorong perilaku individu untuk mencapai suatu tujuan (Sukmadinata, 2003, dalam Mulya & Indrawati, 2017). Dalam ranah akademik, motivasi berhubungan erat dengan minat belajar (Nurhidayah, 2014). Selain itu, pemberian motivasi tinggi juga berhubungan dengan penurunan kadar stres akademik mahasiswa (Mulya & Indrawati, 2017). Dari sekian faktor yang mempengaruhi motivasi mahasiswa, pengajar adalah salah satunya (Shalahudin, 1990, dalam Nurhidayah, 2014). Hal ini tentu memerlukan kelihaian dari pengajar. Mungkin dengan menyelipkan motivasi di sela-sela kuliah, seperti memberikan gambaran dan contoh nyata tentang peran besar dan penting mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya dalam demonstrasi yang baru-baru ini terjadi.

Akhirnya, sebagai pengajar, kita tidak boleh lupa: mahasiswa adalah manusia. Mereka punya keluarga, impian dan cita-cita. Dan yang paling penting, mahasiswa adalah pewaris sah negeri ini, calon-calon pemimpin di masa depan nanti. Tugas pengajar adalah memastikan universitas menjadi ‘tanah’ terbaik tempat mereka tumbuh maksimal, sesuai dengan bakat dan minat mereka masing-masing []

Referensi:

Mulya, H. A., & Indrawati, E. S. (2017). Hubungan Antara Motivasi Berprestasi Dengan Stres Akademik Pada Mahasiswa Tingkat Pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. Empati, 5(2), 296–302.

Nurhidayah, N. (2014). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa Program Studi Pgsd Fkip Universitas Ahmad Dahlan. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar Ahmad Dahlan, 1(1), 125–145.

Nurulisya, S. R., & Kristiana, I. F. (2014). Pengalaman Mahasiswa/i Baru Dalam Melakukan Regulasi Diri: Sebuah Pendekatan Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Empati, 3(4), 547–557.

* Muhammad Haekal adalah dosen di sebuah perguruan tinggi di Aceh, Indonesia. Ia dapat dihubungi melalui email mhdhaekal@gmail.com atau mhd.haekal@protonmail.com.

--

--