Merasa Buruk dalam Menulis? Mundur, Tengoklah EGO-mu

Dandy Hamdani
Simpang Bengawan Publication
6 min readAug 13, 2020

Ada 12 draf tulisan di Medium yang terbungkus rapih tak terjamah lagi sejak pertama kali ditulis. Antara sudah hilang minat atau rasanya tidak bernilai untuk dilanjutkan lagi. Tulisan berikut adalah bentuk komitmen untuk menghentikan catatan buruk ini dan kembali menulis. Melalui tulisan tentang catatan buruk dan refleksi dalam menulis.

Sumber: https://wallpaperaccess.com/writer

Menulis sebagai salah satu wadah berekspresi seharusnya merupakan sesuatu yang mengasyikkan. Seperti halnya bermusik, seharusnya setelah menulis ada sensasi melegakan karena apa yang ada di kepala dan hati terlampiaskan.

Akan tetapi, tak selamanya proses menulis itu menyenangkan. Pernahkah kalian merasa ‘buntu’ saat menulis? Berulang kali mengetik tombol-tombol huruf namun masih kalah frekuensinya dibanding memencet tombol backspace? Apa yang kalian rasakan? Frustasi? Pasti ingin rasanya segera menaruh pena, melipat buku, atau menutup laptop. Untuk berhenti, lalu menggantungkan nasib tulisan itu pada waktu dan berharap inspirasi dan mood menulis secara ajaib muncul kembali.

Berkaca dari pengalaman pribadi, saat merasa kesusahan dalam menulis memang langkah paling bijak adalah segera berhenti. Sedikit tips dari saya, coba lanjutkan dengan menarik nafas dalam-dalam lalu segera mencari cermin. Kemudian, tanyakan pada bayangan di cermin itu: ada kah yang salah dengan EGO-mu?

Suatu waktu karena adanya keadaan yang ‘memaksa’, saya harus menulis esai berbahasa Inggris. Esai tersebut harus diselesaikan dalam 1x24 jam. Topiknya mengenai salah satu model bisnis yang sangat impactful hingga mampu membawa brand yang mempopulerkannya menjadi perusahaan ikonik yang produknya dapat tersebar ke seluruh dunia.

Kala itu saya berpikir, sangat realistis rasanya untuk menyelesaikan esai tersebut lebih cepat dari 24 jam. Karena aturan penulisannya sangat sederhana dengan panjang maksimal hanya 600 kata. Sekitar 2 halaman kurang. Selain itu, objek yang dibahas pun sudah mendunia sehingga pasti ada banyak tulisan yang sudah membahasnya dan akan mempermudah proses riset.

Kemudian, dengan mempertaruhkan segalanya, saya berekspektasi tinggi bahwa esai ini haruslah berkualitas sangat baik. Pilihan kata-nya haruslah level tinggi, kalau bisa hanya para akademisi yang bisa mengerti. Grammar dan tatanan berbahasanya harus sangat sempurna. Gaya tulisannya pun harus standar HBR atau tulisan-tulisan di publikasi firma konsultan top.

Pengalaman menulis esai saya waktu itu pun sebenarnya baru 1–2 kali. Tapi hati kecil berkata, “Yang menulis adalah seorang sarjana dengan kualitas pendidikan sangat baik, loh. Hasil pendidikan-nya menunjukkan angka-angka ciamik disertai resume yang tak cukup dimuat hanya dalam satu halaman A4. Rak bukunya sudah tak menyisakan ruang untuk buku-buku bacaannya. Selama sekolah pun sudah biasa kok buat nulis: cerita liburan saat SD, diary saat masa-masa romansa SMP, menjawab ulangan esai dan analisis saat SMA dan kuliah, bahkan sudah pernah nulis skripsi”.

Sehingga untuk membuat tulisan segini aja mah, pasti bisa lah dan hasilnya pun pasti bisa setara HBR. Easy peasy.

Namun di luar perkiraan, butuh waktu 19 jam untuk menyelesaikan tulisan yang ‘sederhana’ itu. Proses menulisnya sangat melelahkan dan menguras emosi. Itupun kalau diingat-ingat, saat dikumpulkan lebih karena sudah menyerah dengan pergulatan hampir satu hari penuh dibanding karena puas dengan hasil tulisannya. Bahkan, hasilnya boro-boro berkualitas. Menyebut kata ‘puas’ pun sangat geli rasanya.

Saat menulis, saya sangat sering berhenti dan melamun. Menatap langit-langit untuk mencoba berpikir tentang apa yang akan ditulis. Pinginnya sih bisa seperti Newton, yang asyik ngelamun tiba-tiba tertimpa apel lalu lahirlah Hukum Newton yang masyhur itu. Entah apa yang ada di pikiran saat ngelamun kala itu, yang jelas tanpa sadar 20 menit berlalu namun apel yang ditunggu tak kunjung jatuh juga.

Karena merenung tanpa hasil itu hanya berujung kepala panas, saya coba alternatif lain: berhenti dan keluar ruangan. Saya coba mengerjakan hal-hal lain, mengobrol, atau sebatas jalan-jalan keluar supaya mendapat inspirasi. Namun lagi-lagi, sekembalinya ke depan layar tak ada perbaikan dan tak jarang yang terjadi malah kemunduran. Kalau diingat-ingat saat saya keluar, kepala dan segala isinya tak ikut keluar. Ternyata mereka masih ketinggalan di depan layar monitor.

Tak terpikir opsi lain lagi, akhirnya saya paksa untuk tetap menulis apapun yang ada di kepala. Kata orang, dengan terus memaksa otak bekerja hingga batasnya sering kali setelahnya inspirasi bisa mengalir deras. Tapi, boro-boro mengalir, yang terjadi malah berulang kali merangkai kata hanya untuk dihapus lagi. “Receh dan tidak tajam”, “terlalu bertele-tele, tidak fokus pada poin yang ingin disampaikan”, begitu komentar hati kecil saya setelah membacanya sekilas. Muncul rasa tidak puas karena tulisannya dirasa jelek, tidak ada seninya dan tidak enak dibaca.

Tidak seperti apa yang dibayangkan. Tidak sesuai ekspektasi.

Enggan rasanya untuk mengingat, apalagi mengulang masa buruk itu. Namun dilihat dari kacamata saat ini, ada satu kesalahan fundamental menulis kala itu yang menjadi sumber masalahnya. Yaitu tentang bagaimana menempatkan ego saat menulis.

Jika kisah ini ditarik ke belakang, masalah besarnya dimulai dari ekspektasi tinggi atas hasil tulisan yang lahir dari penempatan ego yang salah. Bukannya sadar diri atas segala kekurangan dan mengusahakan yang terbaik yang bisa dilakukan, ego ini malah mengaburkan realitas tentang kurangnya kemampuan menulis saat ini dan menjebak dalam delusi seolah dirinya orang hebat dan pantas disetarakan dengan seorang penulis besar yang telah menerbitkan banyak karya.

Berharap apa sih, tulisan baru 1–2 tapi kok keinginannya sekali menulis tulisan bisa langsung berstandar HBR.

Dampaknya, ekspektasi tinggi yang disematkan tidak sesuai dan malah memberatkan. Bisa dilihat dari cerita di atas bahwa dalam prosesnya, menulis kehilangan esensinya sebagai sarana berekspresi yang bebas. Standar dan ekspektasi tinggi ini malah mengekang ekspresi dan membatasi kreativitas. Terkungkung oleh berbagai kaidah yang bukannya difungsikan sebagai alat untuk memudahkan proses menulis itu sendiri, malah lebih ditanggapi sebagai sesuatu yang mengatur dan harus dipenuhi.

Dipikir-pikir, seharusnya daripada lelah mengusahakan esai itu bisa sehebat tulisan-tulisan di HBR, lebih baik segera diselesaikan saja tulisannya kemudian gunakan energi yang ada untuk membandingkan seberapa jauh tulisannya dengan tulisan-tulisan di HBR. Supaya sadar dan tertampar, lalu bisa dihitung berapa banyak usaha yang diperlukan agar bisa setara tulisan HBR.

Ekspektasi dan ego bukan berarti tidak boleh ada, namun harus diatur dan dipelihara secara bijak agar efek yang ditimbulkannya lebih konstruktif. Ekspektasi dalam menulis itu masih harus ada sebagai standar untuk menentukan arah yang dituju, namun harus tetap dijaga agar tidak terlalu membuat besar kepala serta membawa hati dan pikiran penulis kabur dari realita.

Harus diakui, bagian tersulit dalam menempatkan ego ini adalah mengakui jika realita kemampuan yang dimiliki ternyata tak sehebat yang dibayangkan. Ingin hati seperti Sanji dari One Piece yang rutinitas sehari-harinya tak pernah memperlihatkan dirinya berlatih bertarung. Sehari-hari ia hanya memasak dan menghisap sebatang rokok yang tampaknya tak kunjung habis. Namun saat ditantang bertarung, ternyata dia adalah seorang petarung yang sangat tangguh dan punya jurus mematikan.

Harus betul-betul disadari bahwa semua butuh proses, tak terkecuali menulis. Ingin menjadi penulis hebat, namun mengharapkan bisa hebat dengan mengikuti jalan Sanji tentunya sangat menyesatkan. Proses menulis sangat adil karena satu tulisan dapat merefleksikan keseluruhan proses yang sudah dijalani penulisnya. Jadi, ego harus dipaksa untuk mau percaya dengan proses karena pada realitanya, satu-satunya cara untuk jadi penulis andal adalah dengan memperbanyak menulis.

Sulit dimengerti memang, tapi percayalah memang butuh waktu untuk mengerti.

Terakhir, mari sedikit nostalgia. Masih ingatkah perasaan saat mengerjakan tugas menulis pengalaman liburan waktu kecil? Saat kita merasa cuek dan masa bodoh dengan segala aturan serta gaya penulisan yang ada?

Saat itu, isi hati dan kepala murni hanya berisi rasa antusias. Tak sabar ingin segera bercerita pada bu guru dan teman-teman sekelas. Tak peduli juga tentang bagaimana tanggapan teman-teman atas tulisannya sehingga proses menulis itu dilakukan dengan riang gembira tanpa beban.

Hasilnya? Akuilah, itu adalah hasil karya terbaik yang pernah ada. Tulisan itu jujur dan otentik. Dan ingat, karya terbaik itu lahir justru tanpa terbebani oleh ekspektasi.

Sangat tergoda untuk bisa menulis seperti anak kecil lagi setelah membayangkannya. Tapi lagi-lagi yang jadi pertanyaan besarnya, apakah ego ini bersedia diajak seperti anak kecil lagi?

--

--