Melanjutkan Visi Poros Maritim Dunia (?)

Kastrat HIMATEKPAL
Kastrat Himatekpal
Published in
3 min readNov 16, 2018

Oleh: Nazario Fachrul Fahrezi

Indonesia merupakan negara dengan potensi kelautan, kemaritiman dan kearifan lokal bahari yang besar. Tercatat, Indonesia memiliki kekayaan alam laut yang paling beragam dengan spesies ikan dan terumbu karangnya. Tidak hanya itu, Indonesia juga dilintasi oleh beberapa rute pelayaran dan perdagangan Internasional. Hal ini tentu dapat menjadi keuntungan bagi Indonesia untuk memajukan perekonomian nasional.

Pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo mencanangkan Visi “Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia” melalui berbagai bidang seperti perikanan, pariwisata, industri perkapalan dan transportasi laut. Beberapa program untuk merealisasikan visi tersebut adalah membangun infrastruktur kemaritiman mulai dari pelabuhan hingga industri perkapalan dan membangun tol laut. Program tersebut saling berkaitan karena dengan baiknya infrastruktur dan transportasi serta tol laut, diharapkan akan mampu mempermudah konektivitas dan meningkatkan mobilisasi logistic dan arus distribusi barang sehingga berdampak pada perekonomian Indonesia. Peningkatan di sektor perikanan juga dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kedaulatan pangan laut dengan nelayan sebagai pilar utama.

Salah satu hal yang penting dalam mewujudkan visi kemaritiman ini adalah membangun kembali budaya maritim Indonesia yang telah lama tersisihkan oleh budaya agraris pada masa sebelumnya. Dari visi kemaritiman dan berbagai program yang telah dicanangkan sebenarnya memiliki satu tujuan dan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat.

Empat tahun berlalu, berbagai program telah dilaksanakan tentunya dengan berbagai pencapaian beragam. Tentang pilar “Membangun kembali budaya maritim Indonesia”, masih ada masyarakat yang belum mengenal tentang dunia maritim itu sendiri khususnya dari segi urgensitas dan peran kemaritiman bagi negara. Baru-baru ini pemerintah menawarkan solusi melalui bidang pendidikan yaitu dengan mencanangkan kurikulum kemaritiman di setiap jenjang sekolah. Penerapan dari program tersebut telah terealisasi dan diterapkan pada 33 provinsi di Indonesia.

Pilar kelima tentang “Membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim” layak menjadi sorotan. Berdasarkan data terakhir KNKT per September 2018, tercatat sebanyak 241 kapal mengalami kecelakaan dengan berbagai penyebab. Notabene kapal yang mengalami insiden adalah kapal penumpang dan kapal ikan. Kita coba ambil contoh kasus kecelakaan Kapal Arista pada 13 Juni 2018 yang telah diinvestigasi oleh KNKT. Penyebab dari kecelakaan kapal tersebut diduga karena Kapal Arista merupakan kapal nelayan yang tidak memiliki sertifikat maupun dokumen kapal. Di atas kapal tidak terdapat peralatan navigasi dan komunikasi serta perlengkapan keselamatan seperti pelampung. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum melakukan pengawasan secara optimal dan inti dari Pilar kelima yaitu membangun kekuatan maritim belum maksimal dilaksanakan. Perlu adanya peningkatan kinerja yang optimal oleh pemerintah dan kerjasama seluruh stakeholder dan pihak-pihak yang berkaitan sehingga kekuatan maritime dapat terwujud secara maksimal dan slogan “zero accident” dapat terwujud.

Perihal pembangunan infrastruktur dan industry perkapalan, penulis memperoleh data tentang keadaan Industri perkapalan dari seorang humas PT. PAL Indonesia. Beliau menjelaskan keadaan industri perkapalan PT PAL bahwa saat ini perusahaan sedang tidak memproduksi kapal karena sepinya pesanan dari pihak owner. Beliau juga menuturkan, untuk saat ini Indonesia masih cenderung membeli kapal bekas dari luar negeri untuk kemudian direparasi dan dioperasikan kembali di dalam negeri. Langkah untuk impor kapal dipilih oleh pemerintah karena biaya membeli kapal bekas tidak lebih mahal daripada membangun kapal sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia masih belum berdaulat dan mandiri perihal pembangunan infrastruktur kemaritiman khususnya kapal.

Dilihat dari beberapa kondisi perihal realisasi program menuju Visi “Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia”, penulis berpendapat bahwa durasi penerapan kebijakan yang hanya satu periode pemerintahan realisasi sebuah visi besar kemaritiman masih belum cukup dan maksimal. Masih perlu adanya pembangunan, perbaikan, dan pengawasan secara berkelanjutan. Perlu juga adanya sinergitas antar seluruh stakeholder dan pihak terkait dalam mewujudkan dan merealisasikan program-program yang telah dicanangkan. Visi Kemaritiman ini bukan hanya tentang visi satu era kepengurusan, tapi menjadi visi jangka panjang Indonesia yang memang memiliki potensi maritim yang besar. Pembangunan yang berkelanjutan dengan kinerja maksimal akan membawa dampak positif bagi Indonesia, mungkin untuk 10–30 tahun kedepan. Siapapun pemimpin bangsa ini nantinya yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan, visi maritim harus tetap dijalankan. Jika hal ini dilakukan, realisasi visi “Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia” bukan sebuah kemustahilan untuk diwujudkan.

--

--