Mengejar Jakarta: Perlunya Mendiversifikasi Ekosistem Inovasi ke Kota Lain

Jakarta sudah menjadi salah satu ekosistem inovasi terkemuka di dunia. Namun, kita harus berpikir bagaimana agar ekosistem inovasi Indonesia tidak hanya terpusat di sana.

Slasar
Slasar
6 min readDec 3, 2020

--

Kedepannya, kue ekonomi digital juga harus dapat dinikmati oleh berbagai daerah. Ekosistem inovasi ini penting mendorong pertumbuhan ekonomi lokal karena efek domino yang dihasilkannya. Terlebih di era pasca-pandemi nanti, perusahaan inovatif, khususnya yang berbasis teknologi digital, dipercaya berperan positif dalam membuka lapangan pekerjaan baru di berbagai sektor lainnya, meningkatkan daya beli dan produktivitas masyarakat, serta menurunkan kemiskinan secara agregat di tingkat lokal.

Sudah sejak dulu kota metropolitan dikenal sebagai pusat inovasi. Perusahaan berbasis teknologi umumnya terkonsentrasi di kota besar dalam rangka memanfaatkan kedekatan jarak antara satu dengan yang lain. Kesamaan lokasi (co-location) mendukung efisiensi rantai pasok (supply chain), membantu mengoptimalkan kolam talenta di pasar tenaga kerja (talent pool), dan memudahkan proses berbagi pengetahuan (knowledge spillover). Ketiga faktor tersebut mendorong skala ekonomi di tingkat perkotaan dan menumbuhkan sebuah ekosistem inovasi sehingga banyak perusahaan memutuskan untuk membuka atau merelokasi kantor pusatnya ke sana.

Sejak tahun 2012, lembaga riset Startup Genome merilis laporan tahunan Global Startup Ecosystem untuk merangking kota-kota dunia berkaitan dengan perannya sebagai ekosistem bagi perusahaan rintisan (startup) berbasis inovasi terutama di sektor teknologi digital. Dalam rilis terbarunya di tahun 2020, laporan tersebut mengklaim bahwa titel “The Next Silicon Valley” tidak bisa lagi hanya dialamatkan kepada satu dua kota tertentu karena faktanya pusat-pusat inovasi dan kewirausahaan kini telah hadir di banyak lokasi di berbagai negara. Dalam rilis ranking tersebut, tentu Silicon Valley tetap konsisten berada di peringkat satu sebagai ekosistem paling inovatif di dunia diikuti oleh kota metropolitan lainnya seperti New York, London, dan Beijing.

Yang unik, selain merangking 40 besar kota yang berperan sebagai ekosistem startup terbaik di dunia, laporan tahun ini juga merilis rangking 100 kota lainnya dimana ekosistem startup sedang tumbuh (emerging startup ecosystem). Di antara 100 kota tersebut, Jakarta berada di peringkat kedua, tertinggal satu poin di bawah Mumbai. Namun, yang patut dibanggakan, peringkat Jakarta berada di atas kota metropolitan lainnya seperti Zurich (peringkat 3), Madrid (6), Kuala Lumpur (11), Dubai (18) dan Moskow (20).

Daya Tarik Jakarta

Berdasarkan laporan tersebut, sejak tahun 2010 Jakarta telah memiliki 5 startup yang memiliki valuasi di atas $1 milyar atau disebut sebagai Unicorn. Di antara kota lainnya di kelompok ekosistem berkembang, Jakarta hanya kalah dari Guangzhou yang telah memiliki 9 Unicorn. Secara kumulatif nilai valuasi seluruh startup di Jakarta mencapai $26,3 milyar dan total pendanaan tahap awal mencapai $846 juta. Kedua nilai tersebut merupakan yang tertinggi di antara 100 kota di kelompok ini.

Kesuksesan Jakarta sebagai pusat inovasi di Indonesia dan bahkan dunia tentu tidak dicapai melalui proses yang instan, melainkan sebuah hasil akumulasi sejarah yang panjang. Sudah sejak era orde baru pembangunan Indonesia terpusat di Jakarta. Ekonomi Jakarta hampir selalu tumbuh di atas rata-rata nasional. Hanya saja, selama 10 tahun terakhir ini disparitas aktivitas ekonomi antar wilayah semakin terasa karena ditopang oleh tumbuhnya ekosistem inovasi di sektor digital yang terkonsentrasi di ibukota. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, di tahun 2019, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta berkontribusi sebesar 17,7% bagi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, lebih besar dibandingkan di tahun 2010 yang besarnya hanya 15,6%. Sementara itu, pendapatan per kapita Jakarta di tahun 2019 mencapai 4,5 kali pendapatan per kapita Indonesia, lebih besar dibandingkan 2010 yang hanya 3,8 kalinya.

Berdasarkan data crunchbase yang saya olah, dari 500an startup Indonesia yang telah memasuki fase pendanaan awal (seed funding), 86% di antaranya memiliki kantor pusat di metropolitan Jakarta (Jabodetabek). Sebenarnya, banyak di antara perusahaan tersebut yang memulai usahanya di kota lain. Namun, seiring berkembangnya bisnis, mereka kemudian memindahkan lokasinya ke ibukota karena melimpahnya talenta digital dan mudahnya akses pasar maupun akses kepada investor dan modal ventura.

Mengejar Jakarta

Dengan segala potensinya, kita optimis beberapa tahun ke depan Jakarta akan masuk ke daftar ekosistem startup terbaik dunia. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana agar kota lain bisa mengejar Jakarta agar pembangunan bisa merata dan disparitas antar daerah berkurang. Jika belajar dari negara lain, faktanya banyak negara yang memiliki lebih dari satu kota yang menjadi ekosistem startup di tingkat global. Selain di Beijing, aktivitas inovasi Tiongkok juga tersebar di Shanghai, Shenzen, dan Hangzhou. Startup dan industri digital India tidak hanya terkonsentrasi di Bangalore, tetapi juga di Delhi dan Mumbai. Begitu pula Amerika Serikat yang tidak hanya memiliki Silicon Valley tetapi juga New York, Boston, Los Angeles, dan Seattle. Negara-negara di Eropa Barat juga memiliki beberapa pusat ekonomi berbasis inovasi di negaranya masing-masing, contohnya Berlin dan Munchen di Jerman serta Madrid dan Barcelona di Spanyol.

Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa kota yang berpotensi menjadi klaster baru untuk ekosistem inovasi khususnya teknologi digital. Selain di Jakarta (86%), startup yang telah memasuki fase pendanaan awal (seed funding) tersebar di Bandung Raya (5%), Surabaya Raya (3%), Denpasar Raya (1%), Medan (1%) , dan Yogyakarta (1%). Selain ketersediaan talenta digital dan infrastruktur yang mendukung, kota-kota tersebut memiliki sejumlah universitas yang bisa menjadi lokomotif bagi aktivitas ekonomi berbasis inovasi. Untuk mendiversifikasi aktivitas inovasi ke berbagai daerah, setiap elemen dari model triple helix inovasi memiliki peran tersendiri yang saling melengkapi satu sama lain.

Pertama, bagi perusahaan berbasis inovasi yang telah tumbuh besar di Jakarta, sudah saatnya mempertimbangkan untuk membuka kantor kedua (secondary office) terutama yang berkaitan dengan aktivitas riset dan pengembangan di kota-kota lain. Sementara bagi startup yang sejak awal memang lahir di kota selain Jakarta, perlu disadari bahwa mempertahankan kantor pusat di daerah adalah bagian dari upaya meningkatkan daya tarik ekonomi lokal. Tentu upaya membangun ekonomi lokal tidak bisa dilakukan sendiri. Maka disinilah komunitas startup lokal menjadi penting untuk saling menumbuhkan dan berbagi akses kepada modal manusia maupun pengetahuan.

Untuk menumbuhkan ekosistem inovasi suatu kota, memang butuh satu dua perusahaan besar yang menjadi pendobrak agar menjadi faktor penarik bagi talenta dan perusahaan-perusahaan inovatif lainnya. Kita bisa belajar dari Kota Seattle dan Microsoft di tahun 1970-an. Meskipun pabrik Boeing telah ada di sana sebelumnya, fenomena deindustrialisasi sangat terasa saat itu sehingga majalah The Economist menjuluki Seattle sebagai ‘kota tanpa harapan’. Pabrik-pabrik mulai mengurangi karyawannya, migrasi besar-besaran terjadi, dan kualitas hidup sangat rendah. Keadaan berubah pasca-tahun 1979 setelah Microsoft merelokasi kantor pusatnya dari Albuquerque ke Seattle. Bill Gates dan Paul Allen lebih memilih Seattle yang merupakan kota tempat mereka tumbuh daripada Silicon Valley. Dampaknya sungguh hebat, Seattle secara lambat laun berubah menjadi hub inovasi baru. Microsoft menghidupkan aktivitas ekonomi Seattle dan menarik talenta dari seluruh Amerika Serikat untuk bekerja di sana. Moretti (2012) mengistilahkannya sebagai efek pengali lokal (local multiplier) dimana sebuah perusahaan inovatif bisa menciptakan pekerjaan dan aktivitas ekonomi baru di sektor lain secara tidak langsung. Tidak heran jika kemudian banyak perusahaan yang tertarik membuka kantor pusatnya di sana demi memanfaatkan aglomerasi yang ditawarkan oleh kota tersebut, seperti Amazon misalnya di tahun 1994.

Selain faktor daya tarik perusahaan inovatif lainnya, perguruan tinggi memiliki beberapa peranan penting dalam menciptakan ekosistem inovasi kota. Pertama, perguruan tinggi adalah penghasil utama talenta digital. Keterampilan digital tidak hanya diperuntukkan bagi mahasiswa di program studi komputer dan informatika, tetapi juga bagi seluruh mahasiswa termasuk di rumpun sosial yang tingkat kedalamannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Ketersediaan talenta digital yang berlimpah yang disiapkan oleh perguruan tinggi bisa menjadi salah satu daya tarik bagi startup dan perusahaan inovatif untuk merelokasi kantornya ke kota tersebut. Perlu dicatat bahwa perguruan tinggi harus secara rutin memutakhirkan kurikulumnya dengan melibatkan perusahaan inovatif dan komunitas startup digital yang lebih mengetahui kebutuhan tenaga kerja di lapangan.

Di samping itu, perguruan tinggi bisa memanfaatkan proses komersialisasi teknologi sebagai daya tarik untuk perusahaan. Perlu diingat, hilirisasi teknologi tidak bisa hanya berhenti di tataran konsep dan prototype. Kerja sama riset dengan perusahaan diperlukan agar inovasi yang dihasilkan, baik inovasi produk maupun proses, tepat guna dan bisa dimanfaatkan untuk tujuan bisnis. Selain itu, untuk menjembatani kolaborasi kampus dan sektor swasta, peran inkubator bisnis juga menjadi relevan. Inkubator bisnis berbasis kampus tidak cukup hanya menawarkan pelatihan dan ruang kerja bagi startup binaan kampus, tetapi juga harus menghubungkan para wirausaha berbasis kampus dengan jejaring alumni yang juga bergerak di sektor teknologi digital. Jejaring ini diharapkan dapat membantu akses kepada modal dan pasar.

Terakhir, pemerintah pusat dan daerah harus berkolaborasi dalam mengembangkan sistem inovasi regional yang berbasis keunikan daerah masing-masing. Pemerintah perlu menjadi dirigen dalam kolaborasi triple helix bersama kampus, sektor swasta, dan komunitas startup digital. Sebagai contoh, untuk meningkatkan jumlah dan kualitas talenta digital, perlu ada alokasi anggaran khusus yang mendukung program inkubator bisnis dan pelatihan yang diinisiasi oleh universitas dan komunitas startup. Dari sisi dukungan terhadap perusahaan startup, perlu ada insentif-insentif yang ditawarkan kepada perusahaan yang membuka bisnisnya di daerah sebagai daya tarik. Sebagai contoh, pemerintah daerah dapat menyiapkan klaster spesifik di pusat kota dimana perusahaan dapat diuntungkan dengan kedekatan jarak satu sama lain. Selain itu, dukungan pendanaan kepada startup dapat dilakukan baik dari sisi permintaan melalui kerja sama pengadaan publik, maupun dari sisi penawaran melalui subsidi aktivitas riset dan pengembangan.

M. Yorga Permana
Yorga merupakan dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB dan saat ini sedang melanjutkan pendidikan doktoral di London School of Economics (Economic Geography). Penelitian yang dilakukannya yaitu mengenai gig economy dalam perspektif geografi, khususnya mengeksplorasi bagaimana gig workers membentuk suatu kota dan pembangunan wilayah.

--

--