Mempersiapkan Produk yang Bernilai dengan Scrum

edu wasthu
Daily Sleekr
Published in
11 min readMar 13, 2019

Sebagai pemilik produk bagaimana kita meyakinkan stakeholder? apakah tim mau memberikan waktunya untuk membuat produk tersebut? Metode apa yang akan digunakan dalam membuat produk yang baik? Apakah produk yang dibuat bermanfaat bagi pengguna? Pertanyaan-pertanyaan ini pernah saya dapatkan ketika hendak memulai membuat produk, mencari pendanaan dan meyakinkan Development Team.

Product Owner Sebagai Pemilik Produk

Dalam Scrum, pemilik produk disebut sebagai Product Owner. Hal ini bukan hanya sekedar jabatan semata atau untuk mengisi kekosongan tugas, dibutuhkan karakter yang kuat agar suatu produk dapat berkembang, karakter Product Owner ini erat kaitannya dengan pengetahuan, kemampuan bahkan wewenang yang dimilikinya.

“Product Owner Role”

Dimulai dari Product Owner sebagai Scribe, dimana dia bekerja sebagai sekretaris tim, karena diberikan tugas untuk menangkap requirement yang dibutuhkan oleh Development Team. Kemudian seorang Proxy dimana tugasnya hanya sebagai perantara bisnis yang masih memiliki pemahaman dari perspektif teknologi dalam membuat requirement. Business Representative merupakan kemajuan dari tugas seorang Product Owner dimana dia sudah melihat produk dari sisi bisnis daripada teknologi namun mungkin masih akan mengalami kendala dalam membuat keputusan karena limitasi otonomi terhadap manajemen produk. Business Sponsor merupakan kemajuan yang sangat besar dari seorang Product Owner. Dia yang melakukan inisiasi bisnis dan memperoleh anggaran. Hal ini membuat Product Owner memiliki mandat penuh dalam mengambil keputusan finansial dan produk saat itu juga. Product Owner terakhir merupakan seorang Entrepreneur, dimana dia mengeluarkan uangnya sendiri untuk mendanai proses pengembangan produk. Hal ini memberikan dia kuasa penuh untuk melakukan keputusan baik secara finansial maupun strategi IT yang akan dipakai.

Bila tugas dan jabatan seorang Product Owner sudah jelas, bagaimana dia dapat merasa yakin apa yang dilakukannya dapat memberi dampak baik bagi organisasi maupun pengguna produknya?

McGreal & Jocham (The Professional Product Owner: Leveraging Scrum as a Competitive Advantage, 2018) menjelaskan adanya kekosongan yang terjadi pada Product Management di Software Industri, dimana Product Owner harus mampu menghadirkan Product Vision, Product Strategy dan Release Plan. Ketiga hal tersebut diharapkan dapat memberikan nilai (value) bagi organisasi atau individu. Sebagai fondasi awal, setiap anggota Scrum Team harus memahami siapa penggunanya dan bagaimana suatu produk menghasilkan pendapatan.

Product Vision

Suatu sore saya berbincang dengan salah seorang Letnan Kolonel Tentara Nasional Indonesia yang kini bertugas di Bandung, Dia menceritakan pengalamannya saat bertugas di wilayah konflik di Indonesia. Pada suatu waktu kendaraan yang dipakai untuk mobilisasi pasukan dan logistik membutuhkan penggantian oli, karena posisi dia dan pasukan berada di daerah terpencil dan kota terdekat berjarak satu hari perjalanan dengan berjalan kaki, membuat cadangan oli baru menipis. Mereka dalam kondisi siaga karena sewaktu-waktu para separatis dapat melancarkan serangan, dan banyak kendaraan yang membutuhkan oli sehingga tidak mungkin untuk melakukan pembelian dengan berjalan kaki. Cara paling efisien adalah dengan menggunakan kendaraan untuk melakukan pembelian. Pasukan yang menerima perintahnya akhirnya menggunakan pelepah pohon pisang yang dipotong halus dan dimasukkan ke dalam blok mesin agar kendaraan dapat berjalan sementara hingga mencapai kota. Tujuan yang hendak dicapai oleh atasan mereka ini dapat dimengerti oleh semua anak buahnya, bila tujuan ini tidak tercapai dapat membuat banyak prajurit yang berjuang di medan perang tidak mendapatkan logistik tepat pada waktunya, tindakan yang mereka lakukan juga turut serta mempengaruhi tingkat keberhasilan dari penanganan konflik tersebut.

Bagaimana anak buahnya melakukan eksekusi yang cukup kreatif tersebut terjadi karena adanya tujuan yang jelas walaupun tidak mendetail, hal ini memberikan ruang bagi anak buahnya untuk berinovasi mencapai target yang diinginkan atasannya. Hal ini juga dapat berlaku dalam proses pengembangan produk, Product Owner sebagai pemilik produk harus mampu menjelaskan visinya agar dapat benar-benar dipahami dan selalu menjadi top of mind bagi Development Team dalam mengeksekusi Sprint Goal.

Elevator Pitch template

Untuk membantu dalam memahami visi tersebut, Product Owner dapat membuat elevator Pitch. Elevator Pitch tersebut menjawab pertanyaan Apa yang dapat diberikan oleh produk tersebut? Siapa yang menggunakannya? Bagaimana produk tersebut memberikan nilai? Dan keuntungan apa yang didapat oleh pengguna?

Visi (why) menjadi lebih bermakna bila visi tersebut dapat membuat mereka melakukan sesuatu (practical) dan menyentuh emosi (emotion). Setelah melakukan proses Inception, Sprint Planning memberikan kesempatan yang baik untuk mengingatkan kembali Scrum Team akan visi dari pengembangan produk tersebut, bersama-sama melakukan inspeksi dan adaptasi dengan kondisi terakhir di Product Backlog.

Sprint Review merupakan kesempatan untuk menguatkan visi bukan hanya dengan Scrum Team, namun juga dengan stakeholder. Hal yang sering saya lakukan bersama dengan tim saat Sprint Review adalah melihat kembali kondisi selama sprint berlangsung, bagaimana kondisi awal Sprint Backlog dibandingkan dengan kondisi saat Sprint ditutup? Resiko dan kendala apa saja yang dihadapi oleh tim? Apa tanggapan yang dapat mempengaruhi proses rilis? Berdasarkan tanggapan tersebut apakah ada kendala di level organisasi yang dapat mengganggu proses pengembangan produk dan apa solusi yang dapat ditawarkan oleh tim?

Sprint Retrospective merupakan kesempatan yang tepat untuk meminta keterangan kembali akan efektifitas dari visi yang telah disampaikan oleh Product Owner. Apakah visi masih relevan? Apakah semua orang di tim merasa sesuai dan nyaman dengan visi tersebut? Apakah ada hal yang dapat diperbaiki dalam mengkomunikasikan visi tersebut?

Product Strategy

Strategi (What) merupakan fokus dari Product Owner dalam proses pembuatan suatu produk yang terdiri dari tiga bagian yaitu vision, goals dan initiatives, sedangkan Product Strategy sendiri menguraikan elemen-elemen produk, product roadmap dan target pasar.

Kotler dan Amstrong (Principle of Marketing, 2014) menjelaskan produk sebagai segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Untuk menjelaskan bagaimana sebuah organisasi membuat, menyediakan dan menangkap suatu value dapat dijelaskan menggunakan Business Model. Hal tersebut dapat diterapkan oleh Product Owner dalam mengembangkan produk dengan mengimplementasikan Business Model Canvas untuk menggambarkan konsep produk tersebut secara holistik. Lima kategori pertama mengacu kepada pendapatan, sedangkan empat kategori terakhir mengacu ke identifikasi biaya.

Business Model Canvas

Release Plan

“By failing to prepare, you are preparing to fail.”
Benjamin Franklin

Sebagai Product Owner, proses prioritas isi Product Backlog menjadi hal yang vital dalam menentukan proses rilis. Selain kondisi pasar, faktor teknologi juga menjadi bahan pertimbangan dalam mengesahkan hipotesis yang sudah dibuat sebelumnya kedalam Minimum Viable Product.

Proses rilis (how), memberikan kesempatan belajar secara empiris dari hasil percobaan sebelumnya untuk meneruskan hipotesis awal atau harus berputar.

Dari pengalaman sebagai Scrum Master beberapa hal yang sering dilakukan oleh tim saat Sprint Planning yaitu:

  1. PO memberitahu alasan mengapa (why) suatu user story perlu dibuat?
  2. Product Owner dan Development Team akan berkolaborasi menentukan apa (what) yang menjadi ruang lingkup dari user story tersebut?
  3. Development Team akan meyakinkan product Owner bagaimana (how) rencana kerjanya dengan melakukan task breakdown?

Kano Model yang dijelaskan oleh Profesor Noriaki Kano beserta peneliti lainnya membagi fitur produk atau layanan menjadi tiga kategori berbeda yang masing-masing mempengaruhi pelanggan dalam cara yang berbeda, yaitu:

  • Must-be Attribute (Basic): Pelanggan akan menerima begitu saja ketika terpenuhi. Namun, jika produk atau layanan tidak tercukupi, pelanggan menjadi sangat tidak puas.
  • One-dimensional Attribute (Performance): menghasilkan kepuasan pelanggan ketika terpenuhi dan ketidakpuasan saat tidak terpenuhi. Semakin baik atribut tersebut, semakin membuat pelanggan menyukainya.
  • Attractive Attribute (Excitement): ketidakhadirannya tidak menyebabkan ketidakpuasan karena mereka tidak diharapkan oleh pelanggan dan pelanggan tidak akan menyadari bila atribut tersebut hilang. Namun bila dapat dipenuhi akan menyenangkan pelanggan.

Perlu diperhatikan juga seiring dengan waktu suatu fitur akan bergeser atributnya dari Excitement hingga akhirnya menjadi Basic.

Kano Model

Kano Model memberikan pendekatan yang efektif dalam mengkategorikan atribut pelanggan menjadi beberapa tipe yang berbeda. Pengaplikasian Kano Model yang dilakukan oleh Matzler (How to delight your customers, 1996) menjabarkan beberapa langkah mulai dari:

  1. Melakukan identifikasi kebutuhan produk.
  2. Menyusun kuesioner berdasarkan atribut dari Kano Model untuk mendapatkan reaksi balik dari pelanggan. Dapat juga ditambahkan pertanyaan bagi pelanggan untuk memberi peringkat kriteria produk yang akan diuji.
  3. Menyelenggarakan interview dengan pelanggan berbekal kuesioner yang telah disusun.
  4. Melakukan evaluasi dan interpretasi dari hasil kuesioner.

Hasil akhir dari proses tersebut, Product Owner dapat melihat tingkat kepuasan pelanggan terhadap fitur yang hendak dibuat, mendapatkan basis segmentasi pasar dan Quality Improvement Index yang merupakan nilai indikator seberapa penting kebutuhan produk dalam berkompetisi dengan pesaing. Hasil analisis tersebut pada akhirnya dapat digunakan sebagai acuan dalam memprioritaskan dan menentukan isi dari Product Backlog.

Data Untuk Adaptasi

Suatu waktu saya menambal gigi disalah satu rumah sakit gigi. setelah melakukan pemeriksaan gigi, dokter yang menangani saya meminta saya untuk pergi melakukan rontgen gigi, padahal dia sudah mengetahui lokasi lubang pada gigi saya. Hal tersebut ternyata dilakukan untuk memperkuat analisisnya. Seorang Dokter membutuhkan data yang bisa memperkuat diagnosanya sebelum melakukan tindakan terhadap pasien. Sejak seratus tahun lalu dunia kedokteran mulai memerlukan bukti yang dapat dipakai untuk meningkatkan hasil dari obat atau suatu prosedur. Bagaimana bila Evidence-based medicine yang telah lama digunakan tersebut diimplementasikan kedalam ruang lingkup manajemen? Apakah data dari suatu penelitian dapat membantu dalam menghasilkan produk yang baik?

Dengan mengikuti Evidence-based Management (EBM) kita dapat menerapkan langkah-langkah yang tepat, membuat keputusan yang lebih cerdas, dan mengurangi resiko. Menurut Evidence-based Management Guide (Scrum.org, 2019) EBM adalah Pendekatan empiris yang memberikan organisasi kemampuan untuk mengukur nilai yang mereka berikan kepada pelanggan dan cara mereka memberikan nilai itu, dan menggunakan langkah-langkah tersebut untuk memandu pengembangan di keduanya.

Key Value Areas of Evidence-based Management berdasarkan EBM Guide scrum.org

Gambar disamping memperlihatkan Key Value Area (KVAs) dari Evidence-based Management yang berfokus pada aspek yang berbeda, baik itu nilai atau kemampuan organisasi untuk memberikan nilai.

Organisasi tanpa kekuatan di keempat KVAs dapat memberikan nilai untuk jangka pendek, tetapi tidak akan mampu mempertahankannya. Segala aspek Current Value dari organisasi harus disertai juga dengan bukti bahwa organisasi mampu memenuhi permintaan pasar dengan pengiriman tepat waktu (Time-to-Market) sambil dapat mempertahankan inovasi dari waktu ke waktu (Ability to Innovate). Proses investasi yang berkelanjutan pada produk didasarkan oleh tindakan yang belum dilakukan (Unrealized Value) yang dapat direalisasikan jika produk memiliki kemampuan yang tepat.

Sebelum masuk ke dalam deskripsi KVAs, terdapat dua perbedaan penting yang berperan sebagai pendeteksi perubahan dari setiap kategori KVAs tersebut, yaitu: indikator leading dan indikator lagging.

Indikator lagging biasanya berorientasi pada “keluaran” (output), mudah diukur tetapi sulit untuk ditingkatkan atau dipengaruhi, atau dapat disebut juga sebagai post-product. Contoh umum dari indikator lagging adalah pada kasus diet menurunkan berat badan. Indikator lagging dari kasus ini adalah skala berat badan. Indikator ini mudah diukur, tinggal naik ke atas timbangan maka akan didapat indikatornya, tapi hal ini tidak secara langsung dapat dipengaruhi, kecuali dengan memotong ginjal.

Indikator leading biasanya berorientasi pada “masukan” (input), sulit untuk diukur namun lebih dapat ditingkatkan atau dipengaruhi karena cara kerjanya yang bisa dipahami. Indikator leading dapat juga disebut sebagai pre-product. Pada kasus menurunkan berat badan, seberapa sering berolahraga dan banyaknya makanan yang dikonsumsi merupakan indikator yang tidak mudah dilakukan, tapi lebih mudah untuk dilakukan dibandingkan memotong ginjal sendiri dan bila dilakukan secara benar diharapkan akan berdampak baik terhadap indikator lagging.

Current Value (CV)

Mengungkapkan nilai yang diberikan produk kepada pelanggan, saat ini.

Berdasarkan EBM Guide tujuan melihat Current Value adalah untuk memaksimalkan nilai yang diberikan organisasi kepada pelanggan dan pemangku kepentingan saat ini; CV hanya mempertimbangkan apa yang ada saat ini, bukan nilai yang mungkin ada di masa depan. Dengan memperhatikan CV, dapat memberikan pandangan yang lebih holistik dibandingkan dengan hanya menilai di level produk yang telah dibuat. Key Value Measures dari CV lebih banyak memperlihatkan indikator lagging.

Beberapa Key Value Measures dari CV yaitu:

  • Revenue per Employee merupakan pendapatan kotor per jumlah karyawan.
  • Product Cost Ratio merupakan rasio biaya keseluruhan pembuatan produk terhadap pendapatan.
  • Employee Satisfaction merupakan tingkat kepuasan karyawan untuk membantu meningkatkan semangat dan antusiasme karyawan dalam bekerja.
  • Customer Satisfaction merupakan tingkat kepuasan pelanggan dalam menggunakan produk.
  • Customer Usage Index merupakan tingkat penggunaan per fitur yang dapat membantu menganalisa ekspektasi pengguna.

Time-to-Market (T2M)

Mengungkapkan kemampuan organisasi untuk secara cepat memberikan kemampuan, layanan, atau produk baru.

Berdasarkan EBM Guide tujuan dari melihat Time-to-Market adalah untuk meminimalkan jumlah waktu yang dibutuhkan organisasi untuk memberikan nilai. Tanpa secara aktif mengelola Time-to-Market, perusahaan tidak dapat mengetahui kemampuan untuk memberikan nilai secara berkelanjutan.

Beberapa Key Value Measures dari T2M yaitu:

  • Release Frequency membantu organisasi melihat waktu yang dibutuhkan untuk memuaskan pelanggan dengan produk yang baru dan lebih kompetitif dengan melihat jumlah rilis per waktu.
  • Release Stabilization Period membantu mengetahui dampak praktek desain dan coding yang buruk dengan mengetahui waktu stabilisasi dari tahap selesai dikerjakan hingga benar-benar dirilis ke pelanggan.
  • Build and integration frequency mengetahui banyaknya build yang sudah di integrasi dan lolos tes per waktu.
  • Mean to Repair merupakan rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah produk.
  • Cycle Time mengetahui jumlah waktu dari saat pekerjaan dimulai hingga waktu rilis.
  • Lead Time mengetahui jumlah waktu sejak ide diajukan atau hipotesis dibentuk sampai pengguna mendapat manfaatnya.
  • Time-to-learn Jumlah waktu keseluruhan dari proses sketsa, membangun, mengirimkan ke pengguna hingga belajar dari penggunaannya.

Ability to Innovate (A2I)

Mengungkapkan kemampuan organisasi pengembangan produk untuk memberikan kemampuan baru yang mungkin lebih baik dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.

Berdasarkan EBM Guide tujuan melihat Ability to innovate adalah untuk memaksimalkan kemampuan organisasi dalam memberikan kemampuan baru dan solusi inovatif.

Beberapa Key Value Measures dari A2I yaitu:

  • Feature Usage Index dapat membantu organisasi dalam menangkap fitur yang jarang digunakan.
  • Innovation Rate mengukur kapasitas perusahaan dalam mengirimkan produk ke pelanggan.
  • On-Product Index membantu mengetahui persentase waktu yang digunakan dalam membuat produk dan nilai.
  • Installed Product Index membantu mengetahui besar usaha yang dilakukan organisasi dalam mendukung dan memperbaiki produk versi lama.
  • Defect Trends memberitahu jumlah kecacatan dalam produk.
  • Production Incident Trends memberitahu jumlah dan frekuensi terjadinya kejadian error pada fase produksi yang mengindikasikan stabilitas dari produk.
  • Time Spent context-switching memberitahu jumlah waktu yang terpakai oleh Development Team untuk melakukan rapat atau terganggu karena membantu orang lain.
  • Technical Debt dapat menjadi indikator tingkat resiko dalam pengembangan produk.

Unrealized Value (UV)

Menyarankan nilai potensial di masa depan yang dapat direalisasikan jika organisasi dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan semua pelanggan potensial.

Berdasarkan EBM Guide tujuan dari melihat Unrealized Value bagi organisasi adalah untuk memaksimalkan nilai yang disadari dari produk seiring waktu. Dengan mempertimbangkan baik CV dan UV dapat membantu organisasi mengambil keputusan cara menyeimbangkan manfaat yang didapat saat ini dengan masa depan.

Beberapa Key Value Measures dari UV yaitu:

  • Market Share dimana organisasi dapat melihat besar persentase pasar yang dikontrol oleh produk.
  • Customer or user satisfaction gap yang merupakan besar perbedaan antara harapan pengalaman yang diinginkan dengan pengalaman menggunakan produk saat ini.

Penyimpangan Penilaian

Data dapat membantu dalam mengambil keputusan berdasarkan penilaian, tetapi melakukan keputusan berdasarkan hasil penilaian yang berupa angka saja tidak dapat memberikan bukti akurat akan efektivitas dari hasil akhir pengembangan produk. Misalnya, hanya dengan melakukan proses pelacakan velocity tim tidak dapat mengetahui apakah tim tersebut benar-benar menghadirkan sesuatu yang berguna bagi pengguna. Perlu analisis lebih luas lagi dengan melihat berbagai faktor yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap proses pengembangan produk.

“A bruise is a lesson… and each lesson makes us better.”
George R.R. Martin, A Game of Thrones

Seperti yang telah diketahui bahwa pengalaman merupakan guru yang terbaik. Bukan kegagalan dari pengalaman yang harus terus direnungi, namun bagaimana kita belajar dari kegagalan tersebut yang jauh lebih penting. Dengan berkembangnya berbagai metode pengembangan produk, kita tidak akan pernah mengetahui berhasil atau tidaknya produk tersebut merebut hati penggunanya tanpa mencoba. Beranikah kita mengalami kegagalan?

--

--