Enam Tips Meliput Program Vaksinasi untuk Jurnalis

--

Program vaksinasi Covid-19 telah resmi dimulai sebagai bagian dari usaha pengendalian pandemi. Antusiasme publik begitu besar sehingga program vaksinasi yang sebelumnya jarang mendapatkan porsi pemberitaan utama di media, saat ini menjadi liputan yang paling banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat.

Sebagai intervensi kesehatan yang fungsi dan cara kerjanya cukup rumit dipahami oleh orang awam, misinformasi dan disinformasi mengenai vaksin dan program vaksinasi sulit dihindari.

Padahal, dampaknya dapat membahayakan kesuksesan program vaksinasi, bahkan pengendalian pandemi secara keseluruhan. Namun dengan memberikan liputan yang edukatif kepada publik, jurnalis juga bisa berkontribusi untuk mensukseskan program vaksinasi.

Berikut ini adalah enam tips yang dapat menjadi referensi bagi jurnalis (dan komunikator sains) yang meliput kabar mengenai program vaksinasi.

Cek fakta tokoh publik yang antivaksin

Ketika program vaksinasi dijalankan, sangat mungkin akan ada tokoh publik yang secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap vaksin, bahkan secara terang-terangan mengajak orang lain agar curiga bahkan menolak vaksinasi. Meliput penolakan terbuka seperti ini memang amat berisiko mencederai kepercayaan masyarakat terhadap vaksin, namun sulit dihindari karena penolakan tersebut datang dari tokoh yang dikenal publik sehingga menarik menjadi objek berita.

Bila hal ini terjadi, jurnalis amat disarankan untuk tidak hanya meliputnya secara deskriptif, namun sekaligus melakukan cek fakta atas kesesatan informasi yang digaungkan oleh tokoh tersebut.

Bagaimana cara terbaik melakukannya? Ilmuwan menyarankan teknik roti lapis kebenaran yang dapat digunakan untuk melakukan cek fakta. Ide dasarnya amat sederhana dan mirip dengan roti lapis Surabaya.

Sumber: http://blog.sayurbox.com/5-cara-membuat-kue-lapis-surabaya/

Roti lapis Surabaya memiliki tiga lapisan; pertama, lapisan kue dengan rasa mentega, kemudian dilanjutkan oleh lapisan kedua yang biasanya merupakan kue dengan rasa cokelat atau moka, kemudian kembali ditutup dengan lapisan kue mentega.

Teknik roti lapis kebenaran untuk cek fakta kurang lebih sama; sampaikan kebenaran, uraikan kebohongan, lalu perkuat kembali persepsi pembaca dengan mengulang kembali informasi yang benar. Teknik ini memanfaatkan serial-position effect, yaitu individu akan cenderung mengingat informasi yang pertama dan terakhir diterimanya dengan lebih baik daripada yang di tengah-tengah.

Untuk melakukan cek fakta, jurnalis harus mendeklarasikan fakta sebagai lead bahkan headline berita. Hal ini bertujuan agar pembaca mendapatkan informasi yang benar lebih dulu. Menyatakan fakta sebagai headline berita memang cenderung membosankan sehingga kurang memancing minat pembaca untuk mengklik artikel berita.

Namun headline berita dapat disajikan secara menarik tanpa harus mengamplifikasi informasi sesat — misalnya, dengan menyajikannya dalam bentuk pertanyaan (i.e. “Hoaks vaksin menyebabkan kematian, benarkah?”) supaya menarik minat pembaca untuk mencermati keseluruhan isi berita.

Sebelum masuk ke lapisan kedua, jurnalis sebaiknya mewanti-wanti pembaca bahwa informasi yang akan mereka terima adalah informasi menyesatkan, sebelum akhirnya jurnalis menguraikan informasi sesat tersebut. Kuncinya, hindari memperkuat persepsi pembaca dengan menggunakan jargon yang spesifik. Sebaliknya, gunakan istilah yang sifatnya lebih umum untuk menghindari timbulnya asosiasi antara jargon yang spesifik tadi dengan sikap anti-vaksinasi.

Terakhir, tutup hasil liputan dengan mengulang kembali informasi yang benar dan apabila perlu, sampaikan pendapat ahli yang menjadi narasumber informasi. Gunakan gaya bahasa yang persuasif namun tetap berempati pada pembaca.

Contoh liputan dengan teknik roti lapis kebenaran beserta anotasinya dapat dicermati disini.

Ulas sikap mayoritas orang awam terhadap program vaksinasi

Umumnya, sikap orang awam terhadap vaksin cukup bervariasi, tidak sekadar pertentangan antara kelompok pro dan anti-vaksin. Faktanya, kelompok yang anti-vaksin jumlahnya amat kecil, bahkan lebih kecil daripada yang mengaku masih ragu-ragu.

Survei yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, UNICEF, dan WHO pada bulan November 2020 pada 112 ribu responden menyebutkan bahwa mayoritas responden bersedia untuk divaksin. Sebagian kecil, kurang dari 10 persen menyatakan sama sekali tidak berminat divaksin. Sekitar dua puluh persen menyatakan belum tahu.

Umumnya, individu akan cenderung bersedia mengikuti aturan apabila mereka merasa orang lain juga mematuhi aturan yang sama. Oleh karena itu, ketika jurnalis harus meliput penolakan terhadap vaksin yang dilakukan oleh tokoh publik, liputan harus memberikan pesan yang kuat bahwa sebagian besar masyarakat mau divaksin dan yakin atas kemanjuran vaksin dengan cara mempraktikkan teknik roti lapis kebenaran yang juga disarankan ahli untuk digunakan melakukan cek fakta.

Hindari lead berita yang menyiratkan hubungan sebab-akibat ketika meliput potensi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Meliput KIPI secara tidak lengkap akan berisiko meningkatkan persepsi risiko (yang tidak perlu) pada pembaca. Oleh karena itu, jurnalis diharapkan untuk tidak menggunakan narasi yang menyiratkan hubungan sebab-akibat ketika meliput potensi KIPI, kecuali ada bukti (dari hasil investigasi) yang dikonfirmasi oleh lembaga yang berwenang (BPOM) bahwa kejadian tersebut memang berhubungan dengan vaksinasi.

Misalnya, daripada menggunakan “Presiden Wakanda meninggal setelah divaksin COVID-19” yang menyiratkan hubungan sebab-akibat, lebih baik gunakan “BPOM masih dalami kaitan antara kematian Presiden dengan vaksin COVID-19”.

Apabila investigasi masih berjalan, jurnalis sebaiknya menguatkan pesan tersebut dengan mengulangnya beberapa kali. Dengan memberikan batasan jelas antara apa yang sudah dan belum diketahui mengenai KIPI tersebut, dapat mencegah kecurigaan berlebihan terhadap vaksin.

Ketika meliput KIPI yang cenderung ringan (bukan adverse event) dan memang telah diketahui produsen vaksin dan regulator, seperti BPOM, yang bersumber dari hasil pengujian, maka jurnalis dapat menegaskan bahwa KIPI tersebut sangat wajar terjadi, masih dapat ditoleransi, dan manfaat vaksinasi jauh lebih besar daripada risiko kesehatan yang mungkin terjadi.

Contoh liputan KIPI dengan anotasi dapat dicermati disini (lihat halaman ke-2).

Memilih dan mengecek-silang keterangan narasumber

Dalam melaporkan program vaksinasi, penting bagi jurnalis untuk bicara dengan narasumber yang tepat. Pertama, pastikan narasumber memang punya latar belakang yang tepat untuk menjadi sumber informasi sehingga memiliki kredensial untuk memberikan perspektif mengenai topik yang diliput. Jurnalis dapat memanfaatkan direktori seperti Google Scholar atau ORCiD untuk mengecek rekam jejak penelitian yang telah dilakukan oleh calon narasumber.

Kedua, apabila memungkinkan, jurnalis dapat menghubungi lebih dari dua narasumber dan melaporkan kesamaan atau konsensus dari pendapat narasumber-narasumber tersebut.

Apabila jurnalis sedang meliput riset pengembangan vaksin atau potensi KIPI pada vaksin tertentu, maka selain mewawancarai peneliti yang terlibat langsung dalam riset pengembangan vaksin, jurnalis juga sebaiknya mewawancarai peneliti lain di luar tim riset untuk memberikan pendapatnya mengenai riset tersebut.

Selanjutnya, jurnalis sangat disarankan untuk bergabung dalam jaringan jurnalis kesehatan atau jurnalis sains yang dapat membantu sebagai “pemeriksa fakta” informal agar liputan dapat ditulis seakurat mungkin. Selain itu, bergabung dengan jaringan seperti Society of Indonesian Science Journalists akan mempermudah jurnalis untuk menemukan narasumber yang potensial.

Empati pada pembaca, tekankan tanggung jawab kolektif

Pandemi COVID-19 jelas bisa menjadi peristiwa yang emosional bagi banyak orang. Beberapa penelitian di Indonesia juga telah melaporkan berbagai respons psikologis seperti menarik diri dan disregulasi emosi, distres, serta rasa cemas sebagai dampak perubahan tatanan hidup yang signifikan dan secara mendadak akibat pandemi. Begitu pula terkait dengan program vaksinasi, survei menunjukkan bahwa masyarakat memiliki beberapa kekhawatiran yang menyebabkan mereka ragu terhadap vaksinasi.

Dibanding secara mentah-mentah mendiskreditkan keraguan yang dialami pembaca, mencoba berempati dan memahami bagaimana respons emosional dan kekhawatiran terkait vaksin muncul dapat meningkatkan penerimaan pembaca terhadap informasi yang disajikan dalam berita.

Misalnya, pembaca mungkin ragu akan keamanan dan efektivitas vaksin yang baru dibuat beberapa bulan lalu. Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai ketatnya uji klinis yang telah dilakukan dan risiko yang harus dihadapi jika menunda program vaksinasi.

Strategi lain, seperti yang disarankan oleh peneliti dari National Cancer Institute Amerika Serikat, Chou dan Budenz, adalah dengan menekankan tanggung jawab kolektif.

Sampaikan kepada pembaca bahwa ikut serta dalam program vaksinasi adalah bentuk dari gotong royong dan saling membantu. Dengan menerima vaksin, seseorang dapat membantu melindungi keluarga serta lingkungan terdekatnya dari bahaya penyakit menular.

Motivasi prososial seperti ini tentu sesuai dengan nilai budaya kolektif di Indonesia dan dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi emosi negatif terkait penyakit, seperti Covid-19 dan vaksinnya, serta menumbuhkan semangat untuk menekan penyebaran penyakit.

Contoh liputan dengan tone empati pada pembaca dengan anotasi dapat dicermati disini (lihat halaman ke-2).

Berimbang dalam melaporkan status kehalalan vaksin

Status kehalalan vaksin sering menjadi perdebatan dan menjadi isu yang sensitif di masyarakat, sehingga jurnalis perlu melaporkan status kehalalan vaksin dengan kehati-hatian. Umumnya, para tokoh agama punya pandangan yang beragam mengenai vaksinasi dan idealnya, jurnalis melaporkan berbagai pendapat tokoh agama.

Namun apabila mayoritas tokoh agama membolehkan atau menghalalkan vaksinasi (yang ditandai dengan adanya Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis ‘Ulama Indonesia, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, dan/atau Lembaga Bahtsul Masail Nadhlatul ‘Ulama), maka sebaiknya pemberitaan menonjolkan kemaslahatan vaksinasi.

Sebagian vaksin memang menggunakan tripsin, yaitu enzim, yang salah satunya, berasal dari babi sebagai media atau alat bantu (bukan bahan) untuk memanen bibit vaksin. Berdasarkan penjelasan ahli Biologi Molekuler, tripsin bahkan tidak bersinggungan sama sekali dengan bahan baku vaksin. Oleh karena itu, produk akhirnya tidak mengandung zat ini sama sekali.

Ketika vaksin memang dibuat dengan bantuan tripsin, gunakan diksi “dibuat dengan bantuan tripsin” dan hindari diksi “mengandung babi” dalam liputan karena diksi yang pertama lebih akurat menggambarkan proses pembuatan vaksin. Hal ini sangat penting karena kedua diksi ini punya makna yang berbeda sehingga akan diartikan secara berbeda oleh pembaca.

Orang yang religius atau menganut nilai-nilai konservatif cenderung lebih sensitif dengan hal-hal yang tidak suci. Oleh karena itu, jurnalis perlu menggunakan diksi yang sesuai agar memberikan pemahaman yang tepat kepada pembaca mengenai proses pembuatan vaksin.

Artikel ini ditulis bersama Nido Dipo Wardana. Ingin mengetahui lebih lanjut tentang lab kami? Silakan klik disini.

Revisi 22/03: Kami merevisi anjuran soal meliput status kehalalan. Sebelumnya, penulis memahami bahwa reagen dengan enzim tripsin bersinggungan dengan bahan baku vaksin. Pemahaman ini rupanya keliru karena tripsin adalah alat bantu dalam proses non-lini produksi (non-GMP) sehingga tidak bersinggungan sama sekali dengan produk akhir vaksin.

--

--