Apakah Saya Memahami Karya-karya Haruki Murakami? Tidak.
Refleksi Buku: Kaze No Uta O Kike/Hear The Wind Sing/Dengarlah Nyanyian Angin, karya Haruki Murakami
Penulis Refleksi Buku: Rakhmad Permana
Apakah semua karya harus terlebih dahulu dipahami agar bisa dinikmati?
Pertanyaan itu muncul ketika banyak karya — dalam konteks ini fiksi — yang sukar sekali untuk dipahami. Seolah-olah fungsi fiksi hanya untuk dipahami belaka agar bisa terhibur. Situasi seperti inilah yang saya lihat dialami oleh penulis Jepang itu, Haruki Murakami.
Sejujurnya, saya baru membaca tiga buah karyanya dan semuanya karya terjemahan bahasa Indonesia. Namun, ada satu karya Murakami yang begitu membekas dalam benak saya. Ia seperti noda tinta pada baju putih yang sulit dibersihkan meskipun telah dicuci berulangkali. Karya yang saya maksud adalah novel pertama Murakami, Dengarlah Nyanyian Angin.
Saya membaca novel itu sekitar tahun 2013, kira-kira sewaktu saya masih duduk di semester 2 bangku kuliah. Tak ada ekspektasi apa pun ketika membacanya selain rasa penasaran. Sebagus apa sih Murakami?
Sepanjang jalan cerita, saya tak menemukan plot yang linear sebagaimana novel pada umumnya. Saya hanya menemukan tokoh aku yang berceracau tentang kisah hidupnya yang murung, cintanya yang rumit dan gaya hidup hedonnya. Dia bahkan pernah membuat lantai bar penuh dengan kacang ketika sedang mabuk-mabukan. Ringkasnya, cerita tokoh aku tak menawarkan tantangan seperti cerita pada umumnya.
Tetapi, dari semua cerita itu, saya suka sekali dengan penulis Amerika Serikat bernama Derek Heartfield yang begitu digandrungi oleh tokoh aku ini. Dan ternyata, Heartfield hanyalah tokoh karangan saja. Tak bakal Anda temukan riwayatnya di Wikipedia atau Goodreads.
Ada satu bagian cerita Derek Heartfiled yang menurut saya seperti merangkum dunia yang menjadi obsesi Murakami.
Cerita itu berkisah tentang para ilmuwan telah berhasil menginjakkan kaki di planet Mars dan menemukan lubang-lubang sumur tanpa dasar. Sumur-sumur itu buatan orang Mars. Hanya sumur-sumur saja, tak ada tempat tinggal, peralatan makan atau bukti-bukti peradaban lainnya.
Banyak ilmuwan yang berusaha masuk ke lubang-lubang sumur itu. Mereka yang masuk dengan tali biasanya kembali dan tak menemukan apa pun selain sumur tanpa dasar. Mereka yang nekad masuk tanpa tali tak pernah kembali lagi.
Suatu hari, ada seorang pemuda penjelajah ruang angkasa yang ikut masuk ke sumur itu. Dia masuk ke sumur itu karena ingin mati tanpa diketahui oleh siapa pun. Karena dia bosan dengan alam semesta terlalu luas.
Ketika dia turun, dia menemukan lubang yang menjorok ke samping, ia pun masuk. Dia terus berjalan memasuki lubang yang ternyata dipenuhi jalan yang berkelok-kelok. Dia terus berjalan tanpa kenal lelah, dan tak tahu apakah dia sudah berjalan dua jam atau dua hari, karena jam tangannya mati. Tapi dia betah sekali ketika terus-menerus berjalan. Dia melihat secercah cahaya matahari. Lubang itu adalah penghubung ke sumur lainnya.
Dia pun naik dan duduk di tepi mulut sumur, melihat padang yang tak terhalang apa pun, dan di situ matahari tampak begitu bercahaya.
Saya tak tahu apa maksud Murakami menyelipkan cerita itu. Apakah Murakami ingin menunjukkan pada kita makna kebahagiaan di dunia seperti apa? Saya kira, Murakami bukanlah ustaz atau motivator.
Tetapi, barangkali itu memang obsesinya. Dan semestinya memang begitulah kita menikmati karya Murakami.
Kita hanya perlu memasuki sumur tak berdasar, tanpa pernah tahu kita akan sampai dimana. Kita hanya perlu duduk, memandangi matahari. Sesederhana itu.
Apakah saya paham karya-karya Murakami? Tidak.
Originally published at https://medium.com on August 30, 2020.