Membayar Hilangnya Panas Matahari

SociopreneurID
SociopreneurID Publishing
3 min readMay 9, 1997

Refleksi Buku: Durratun Nasihin (nasihat-nasihat berharga)

Penulis Refleksi Buku: MIF Baihaqi

MIF Baihaqi (doc. Aku dan Si Biru)

Di Taman Kanak-kanak, saya dan ada juga beberapa ibu yang mengantar putra-putrinya. Suasananya lumayan riuh rendah. Sebagian besar ngobrol kesana kemari. Sebagian kecil lainnya mengakrabi Nova dan Bintang (red: majalah). Beberapa pengantar ada yang hanya duduk-duduk. Ngobrol tidak, membaca pun tidak. Kadang-kadang, pikiran kita terbawa dalam renungan. “Alangkah ceria dunia anak-anak itu. Tertawa-tawa, berlarian, berloncatan.” Sebaliknya, ada renungan lain. “Alangkah sepi dunia orang tua yang belum saling mengenal itu. Terbengong-bengong: berdiri kaku, duduk pun kaku.” Aneh!

Rutinitas itu tak terasa sudah terlewati hampir seminggu. Kemudian waktu berjalan. Dua minggu. Tiga minggu. Sebulan. Saya lalu berpikir, “Jika dia sekolah dua tahun, berarti terbentang waktu dua tahun pula rutinitas mengantar di depanku.” Pertama, deretan waktu yang terbuang percuma hanya untuk mengantar dan bengong. Atau kedua, deretan waktu yang terisi dan termanfaatkan.

Boleh saja orang Cina menerapkan motto ‘Waktu adalah Uang’ atau Sayyidina Ali mengingatkan kita ‘Waktu bagaikan Pedang’, tetapi yang saya hayati benar adalah: ‘ Demi waktu, sesungguhnya tiap orang dalam keadaan merugi. Kecuali, jika orang itu senantiasa memelihara dan meningkatkan imannya, selalu beramal saleh, saling menasehati dengan sesamanya agar menaati kebenaran dan menepati kesabaran.

Sayangnya, saya justru melihat orang tidak sabaran. Di tempat saya bekerja, orang hanya mengerjakan sesuatu hanya bila dia disuruh. Jika ada pekerjaan, dia mengerjakannya, jika tidak ada pekerjaan, dia singkuri tempat kerja. “Ah, pulang ah, nanti keburu hujan,” atau “Sudah siang, mendingan tidur di rumah,” adalah ucapan klise yang terdengar hampir tiap hari. Kebiasaan datang ke kantor pukul 9.00 dan pulang pukul 12.00 adalah pemandangan yang lumrah. Aneh! Tidak ada orang berinisiatif melakukan sesuatu bila tidak disuruh. Tidak ada panggilan hati untuk memberi lebih kepada profesinya. Semua menjadi rutinitas sesaat ketika aneka pekerjaan ditugaskan dari atasan.

Selesai saya mengantar anak ke taman kanak-kanak, saya berangkat ke kantor. Kerap kali saya memasuki kantor dalam keadaan terlalu pagi. Kantor masih sepi. Sering kali saya hanya sendirian. Saat-saat seperti itulah yang saya manfaatkan untuk menulis berbagai kandungan hikmah yang terdapat dalam kitab Durratun Nashihin. Saya berharap, semoga dari tulisan itu tersebar hikmah-hikmah dan nasihat-nasihat yang berharga. Dengan begitu, mudah-mudahan saya termasuk ke dalam golongan orang yang tidak merugi karena telah mengisi waktu dengan untaian nasihat terhadap sesama agar menaati kebenaran dan menepati kesabaran. Bukankah Nabi telah mengingatkan bahwa dalam mengisi hari ini hendaknya lebih baik dari hari kemarin?

Setiap hari saya berangkat pagi-pagi. Sering saya tidak melihat hangatnya matahari. Karena siang hari saya masih meneruskan menulis, sering pula saya tidak merasakan panasnya sinar matahari. Karena selepas senja saya baru pulang, sering saya kehilangan temaram matahari. Begitulah, saya benar-benar kehilangan indahnya panorama matahari. Kehilangan matahari sejak pagi hingga selepas senja selama setahun lebih (September 1993 hingga awal 1995). Meskipun begitu, justru alangkah nikmat saya hidup. Berangkat kerja tidak kepanasan. Tengah hari, tatkala Bandung dibakar matahari dan dipengapi kemacetan lalu lintas, saya justru tenang menelaah nasihat-nasihat Nabi di depan sebuah kitab dan tenggelam di depan tumpukan buku di perpustakaan IKIP Bandung. Pulangnya pun tidak kepanasan karena matahari telah sembunyi. Maka yang saya rasakan selama setahun lebih itu, alangkah teduh kota Bandung. Alangkah teduh hati. Buah keteduhan itu saya tuliskan dalam tiga buku: Manusia-manusia Cermin, Di Luar Mahkamah Akal, dan Bidadari di Serambi Hati yang terinspirasi dari Kitab Durratun Nashihin dan renungan-renungan saya waktu itu.

Bandung, 9 Mei 1997

dua tahun Farah

Originally published at http://mifbaihaqi.wordpress.com on May 9, 1997.

--

--

SociopreneurID
SociopreneurID Publishing

Nurturing Social Entrepreneurship in Indonesia through developing Responsible Ecosystems by promoting Social Innovation & providing Entrepreneurship Education.