Refleksi Buku: Education for Critical Consciousness
(1965, Paulo Freire)
Penulis Refleksi Buku: Baginda Muda Bangsa
Pemikiran Freire tentang hakikat manusia bisa dibilang cukup banyak dipengaruhi oleh Sartre yang melihat manusia sebagai subjek di dunia yang dianugerahi kemampuan untuk membentuk, mengubah, dan menentukan kehidupannya. Tidak hanya pasif menerima keadaan seolah kehidupan adalah sesuatu yang ajeg dan kaku.
Subjektifitas manusia adalah landasan utama dari salah satu konsep di dalam filosofi pendidikan Freire yakni Critical Consciousness atau kesadaran kritis.
Kesadaran kritis diperlukan agar individu dapat betul-betul memahami kondisi yang sedang terjadi di sekitarnya, baik itu kondisi sosial, ekonomi, dan politik dengan harapan setiap individu dapat secara aktif terlibat untuk membentuk dan mengubah lingkungannya.
Contoh nyata dari critical consciousness adalah lahirnya feminisme. Tanpa adanya kesadaran kritis bahwa perempuan seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama seperti laki-laki, rasanya kita tidak akan menyaksikan perempuan-perempuan hebat yang turut serta membentuk dunia ini menjadi lebih baik (walaupun terkait isu perempuan masih banyak yang harus kita benahi).
Tanpa adanya kesadaran kritis, manusia cenderung menjadi objek yang tenggelam dalam keadaan dan hanya menerima bahwa dunia memang sudah begitu adanya. Lebih jauh lagi yang ditakutkan Freire adalah ketika kita tidak sadar bahwa kebebasan dan “subjektifitas” kita telah dimatikan oleh lingkungan yang dibentuk orang lain. Bagi Freire, hilangnya “subjektifitas” manusia sama halnya dengan mengalami penindasan.
Jika kesadaran kritis begitu penting, kemudian bagaimana kita bisa menumbuhkan dan menjaga hal ini? Ada caranya kata Freire, yakni melalui pendidikan. Sebuah pendidikan yang berpihak dengan tujuan untuk melahirkan kesadaran kritis, membebaskan manusia, dan menjaga dirinya sebagai subjek di dunia.
Kemudian bagaimana dengan pendidikan kita saat ini? apakah ia sudah berpihak sebagaimana yang dikatakan Freire? Hal ini penting untuk ditanyakan karena jangan salah kira, pendidikan tidak hanya bisa digunakan untuk menjaga kebebasan, tapi pendidikan juga bisa dimanfaatkan untuk menindas dan mematikan kebebasan tersebut.
Dua bentuk pendidikan ini memiliki karakter yang berbeda. Pendidikan yang membebaskan dibangun melalui dialog antara guru dan murid, keduanya saling berempati dan mencoba menelusuri kebenaran bersama-sama. Tidak ada hirarki, karena di dalam dialog guru telah menjadi murid dan murid telah menjadi guru.
Sedangkan pendidikan yang menindas adalah bentuk pendidikan anti-dialog, empati dirusak, digantikan dengan arogansi yang dijaga di dalam sebuah hirarki. Guru menjadi pihak yang selalu tahu dan murid selalu yang tidak tahu apa-apa. Kebenaran seolah tunggal dan selalu datang dari guru.
Padahal, guru seharusnya menjadi pihak yang membantu murid untuk membebaskan pikiran mereka di dalam proses pencarian kebenaran dan jelajah kehidupan.
Hubungan antara guru dan murid dibangun berdasarkan empati, sehingga memungkinkan mereka untuk sama-sama belajar dan mencari kebenaran. Dialog dipupuk dengan menggunakan kasih sayang, kerendahan hati, harapan, dan rasa saling percaya. Ketika dua belah pihak dapat terhubung dengan hal tersebut, maka keduanya akan mampu menumbuhkan kesadaran kritis.
Bila pendidikan bersifat hirarki yang mana guru mendominasi murid, hubungan empati antara kedua pihak rusak. Komunikasi dibangun melalui arogansi, rasa tidak percaya, tidak berdasarkan cinta dan harapan, serta palsu.
Rasanya kita semua harus bersama-sama merefleksikan apa yang disampaikan Freire mengenai pendidikan yang membebaskan. Kita harus mulai bertanya apakah hubungan yang terjalin antara murid dan guru sudah dilandaskan empati dan rasa percaya? Apakah sudah ada kasih sayang dan harapan disana?
Apakah para guru sudah siap menjadi murid dan menjadikan murid sebagai guru didalam proses pencarian dan pembebasan pikiran ini?
Karena jika tidak, maka pendidikan yang kita bangun saat ini sudah pasti bisa dibilang adalah sebuah penindasan massal yang berlindung pada janji mencerdaskan kehidupan bangsa.