Killing Freud
(2003, Todd Dufresne)
Penulis Refleksi Buku: Fadzul Haka
Ada sebuah keanehan, mungkin lebih tepat disebut sebagai daya pikat, dari sebuah buku berjudul ‘ Killing Freud’ ketika pertama kali saya melihatnya. Begitu mulai membacanya, jelaslah kalau daya pikat tersebut karena adanya rahasia: kegalapan dalam riwayat hidup seorang Freud. Dan pengarang buku tersebut, Todd Dufresne, menyalakan senter detektor ‘konspirasi’ untuk menerangi dan menembus kegelapan yang menyembunyikan Freud dan psikoanalisisnya. Menyusuri jejak-jejak kritikus lain yang membawa pembaca pada mimpi Freud.
Saya memahami Killing Freud dalam mindset ‘analisis wacana Foucauldian’. Di sini, penulis menunjukan bahwa episteme psikoanalisis dibangun dari fiksi, motif pribadi Freud, kekuasaannya, pembentukan wacana memori yang terpresi (sugesti dari analis bila klien tidak mengungkapkan memori tersebut), dan penempatan subjek dalam kerangka guru-murid yang berimbas pada cara praktik psikoanalisis yang memarjinalkan klien dalam sesi terapinya. Lebih gila lagi, bagaimana satu penipuan ditiru secara tak langsung atau juga membuat ‘jatuh ke lubang yang sama’ sampai akhirnya menjadi sebuah institusi psikoanalisis, yang bermacam-macam rupanya. Sampai akhirnya, Freud membangun semacam rezim psikoanalisis atau kalau meminjam komentar dari Jung, “Obsesi Freud untuk mendirikan sebuah ‘agama’ psikoanalisis.”.
Tampaknya, komentar tadi tidak berlebihan bila ditinjau dari ‘fanatisisme’ pengikut Freud dalam mengamalkan ‘ritus’ psikoanalisis. Mulai dari menerima dan mempraktikkan sebagian gaya hidup Freud seperti merokok, candu, dan memelihara anjing. Sampai akhirnya berimbas pada penyembunyian Element of Figure Skating karya Ernest Jones, yang secara tak langsung memproyeksikan pengaruh Freud pada alam pikir Jones, misalnya konsep proses primer dan sekunder, dan transferensi. Tampaknya penulis menaruh perhatian cukup besar pada konsep proses primer dan sekunder, terutama untuk membuatnya berbalik menyerang psikoanalisis: membuat masalah yang jelas dan nyata (sekunder) menjadi fiksi/mimpi (primer).
Selain pada konsep tersebut, penulis juga menaruh perhatian utama pada konsep insting kematian. Melalui reinterpretasi atas konsep tersebut dan kejadian dalam perkembangan psikoanalisis, dapat dikatakan bahwa psikoanalisis mematikan sekaligus membunuh dirinya. Konsep tersebut juga dibandingkan dengan cara kerja dekonstruksi yang menurut Derrida sudah berlangsung di dalam teks itu sendiri. Selanjutnya, penulis membandingkan bagaimana operasi dekonstruksi dengan psikoanalisis yang sama-sama melakukan perujukan diri. Singkatnya, menempatkan Freud sebagai teori psikoanalisis itu sendiri, walau pelan-pelan Freud mencoba menutupi jejaknya — sebuah kerja insting kematian.
Sesuai dengan judulnya, Killing Freud memang tampak seperti character assassination. Tepatnya yang dilakukan dengan nada sinis, sarkasme, dan kejenakaan di sana-sini. Tetapi nyatanya merupakan upaya untuk memperingati kematian psikoanalisis yang berangkat dari kegelisahan dalam disiplinnya.
Untuk mengakhiri review ini, dan menjaga kesan dramatis yang ditawarkan Killing, saya sampaikan kembali ringkasannya dengan meminjam gaya Nietzsche. “Freud dan psikoanalisis sudah mati karena kitalah pembunuhnya, Freudian, Lacanian, para analis, dan tukang gosip… siapa yang akan memberi kita anjing penuntun ke pikiran bawah sadar? Ke mana kita membuang kecemasan? Kepada siapa kita meminta kenangan seduksi? Ke mana libido dialirkan kemudian? Bukankah kita akan semakin tenggelam dalam kesadaran akan dorongan-dorongan sendiri?”
Todd Dufresne. (2010). Killing Freud Kultur Abad Kedua Puluh & Kematian Psikoanalisis. Yogyakarta: Kanisius.
Istilah dalam karya-karya Foucault yang merujuk pada cara subjek untuk melihat, memahami, memaknai kenyataan, mengetahui batas-batasnya dan bahasa yang menjadi medium dengan kenyataannya.
Carl Gustav Jung. (2016). Memories Dream Reflections. Yogyakarta: Octopus. hal. 231
Originally published at http://serpihan-catatan.blogspot.com.