Refleksi Buku: Sophie’s World

SociopreneurID
SociopreneurID Publishing
3 min readSep 24, 2020

(1991, Jostein Gaarder)

Penulis Refleksi Buku: Baginda Muda Bangsa

Membaca Sophie’s World sangat menyegarkan. Kemampuan Gaarder dalam menerangkan kompleksitas pemikiran filsuf barat dari era Yunani Kuno sampai dengan abad 20 ke dalam perumpamaan-perumpamaan sederhana yang dituangkan di dalam sebuah cerita fiksi sangatlah apik dan mengagumkan. Melalui Sophie’s World, Gaardner mencoba mengajak pembacanya untuk memikirkan kembali hakikat manusia.

Dari sekian banyak pemikiran yang ada di Sophie’s World, cerita Jean-Paul Sartre lah yang paling menarik perhatian saya. Ia adalah salah seorang pemikir kunci dari filosofi eksistensialisme.

Sartre meyakini bahwa setiap individu memiliki kebebasan atau kendali penuh atas hidup yang ia jalani. Yang berarti saya dan teman-teman seharusnya dapat menentukan hakikat dan makna dari kehidupan kita masing-masing, baik itu kebahagiaan, kesuksesan, bahkan percintaan.

Namun kenyataannya tidak selalu demikian…

Kebanyakan dari kita mungkin masih terkungkung. Dipenjara oleh pendapat umum tentang apa itu kehidupan ideal. Jangan-jangan hidup yang kita jalani bukan lahir dari kesadaran diri tapi hasil dari dikte pendapat orang lain yang ironinya mungkin berlawanan dengan kata hati. Jangan-jangan saya pun masih begitu.

Padahal Sartre pernah bilang “segala sesuatu sudah diketahui, kecuali cara menjalani hidup” yang berarti apa yang ideal dan seharusnya berbeda antara satu individu dengan individu lainnya.

Selain meyakini tentang kebebasan dan kendali atas hidup, Sartre juga meyakini bahwa hidup tidak berdiam di satu titik, ia bergerak, dan berubah-ubah sesuai dengan pilihan manusia yang menjalaninya.

Sayangnya lagi, banyak dari kita yang mungkin masih melihat kehidupan sebagai hal yang statis dan sulit untuk berubah. Sampai-sampai kita menutup diri dari berbagai kemungkinan hidup, menutup diri dengan kalimat “yah namanya juga takdir”.

Bayangkan ada seorang yang bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran, ia begitu meyakini bahwa satu-satunya pekerjaan yang dapat ia lakukan dalam hidup adlah menjadi pelayan. Ia membisikkan hal ini ke diri sendiri sampai-sampai ia begitu yakin dan menutup berbagai kemungkinan hidup. Padahal mungkin saja di kemungkinan hari ia menjadi seorang seniman, dokter, musisi, atau apapun yang ia usahakan.

Mungkin kita pernah ada di posisi sang pelayan, membelenggu dan membohongi diri, beranggapan bahwa diri kita yang sekarang adalah juga diri kita nantinya di masa depan.

Sartre menyebut apa yang dialalmi sang pelayan sebagai “Bad Faith” di mana kita menutup segala kemungkinan hidup dengan membisikkan kepada diri sendiri bahwa apa yang kita lakukan hari ini adalah satu-satunya hal yang dapat kita lakukan sepanjang hidup. Bertindak seolah tidak memiliki pilihan, berdiam, dan hanya menerima kkeadaan dengan apa adanya.

Mengutip Sartre: “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does. It is up to you to give [life] a meaning”.

Kita, manusia, ialah yang bertanggung jawab atas segala hal yang kita lakukan di dunia. Termasuk di dalam menentukan hakikat dan makna dari kehidupan.

Manusia adalah subjek di dalam dunia ini. Kita tidak bisa hanya pasif begitu saja menerima apa yang diberikan dunia, karena pada hakikatnya kita dianugerahi kebebasan untuk membentuk, mengubah, dan menentukan dunia yang kita inginkan.

Bukankah sejarah sudah cukup untuk menjadi bukti bagaimana manusia tidak hanya mampu membentuk nasibnya sendiri, tetapi juga membentuk nasib seluruh umat manusia.

--

--

SociopreneurID
SociopreneurID Publishing

Nurturing Social Entrepreneurship in Indonesia through developing Responsible Ecosystems by promoting Social Innovation & providing Entrepreneurship Education.