Keributan Ini Sebaiknya Diselesaikan dalam Utas Cuitan Saja

Keterampilan akting Raihaanun dan Reza Rahadian tidak mampu menyelamatkan balada percintaan kaum urban menengah atas yang berjalan alot dan minim emosi dalam Twivortiare.

Fidhia Kemala
STORY ENTHUSIAST
4 min readSep 15, 2019

--

Brukk! Lemparan bantal Alex (Raihaanun) mendarat mulus tepat di titik nyeri pinggang Beno (Reza Rahadian) yang encok. Pertikaian selesai tanpa penyelesaian, Alex angkat kaki dari rumah, meninggalkan Beno yang mengernyit kesakitan. Penyebabnya? Rasa cemburu yang membuncah. Brutal.

Alex tak habis pikir perihal perhatian berlebihan yang diberikan oleh Rani (Citra Kirana), rekan dokter di rumah sakit Beno bekerja, terhadap suaminya. Bantal tersebut adalah hadiah pemberian dari Rani agar Beno bisa lebih nyaman saat duduk atau berbaring. Beno tak ubahnya menerima pukulan bertubi-tubi. Bisa dibayangkan sakitnya dicurigai oleh pasangan sendiri? Pastinya tak sedahsyat menerima bogem mentah yang menghatam bagian otot pinggang yang terkilir. Perih.

Pertengkaran ini adalah kesekian kalinya Alex dan Beno saling tuding dan saling tuntut. Keduanya bersikap sama pasif-agresifnya. Masing-masing menempatkan diri sebagai korban yang meminta pihak lain untuk menerima kekalahan. Muskil mencari titik temu saat keduanya berlomba tarik otot untuk saling menjatuhkan. Alex dan Beno memang selayaknya tak perlu bersama. Masalahnya, apa yang membuat mereka sebelumnya yakin memutuskan untuk terikat dalam institusi pernikahan?

Jawaban dari pertanyaan ini akan sulit diperoleh sekalipun mereka telah berkali-kali rujuk dan kembali bermanis-manis mesra. Kecuali kalau alasannya memang demi mencapai keindahan visual belaka. Agar sedap dipandang mata, dua orang yang memiliki rupa atraktif dan karir yang moncer sudah sepantasnya saling mencintai, titik.

Pertanyaan-pertanyaan lain juga muncul silih berganti menuntut penjelasan. Dalam berkisah, Twivortaire melenggang bagai angin. Kadang ia bertiup terlalu pelan, sayup-sayup menidurkan perhatian dan fokus penonton, namun lebih sering berhembus kencang. Saking kencangnya sulit melihat dari mana asalnya ia bertiup, apalagi mengikuti ke mana arahnya. Oh, bukankah ini sesuatu yang baik? Artinya menarik untuk disimak karena tak terprediksi?

Kesulitan menelaah segala keputusan yang dibuat Alex dan Beno baik saat ingin menikah, bercerai, maupun rujuk lagi bukan disebabkan oleh alurnya yang liar dan sulit diperkirakan, melainkan perpindahan babak ceritanya yang justru tak berlandaskan alur. Film ini bernafas sepenuhnya mengandalkan dialog-dialog padat dari para pemainnya. Walhasil, jalan cerita lebih mirip dari obrolan yang berpindah dari mulut ke mulut.

Twivortiare adalah film ketiga yang diangkat dari novel laris karya Ika Natassa. Tak seperti film pendahulunya, Critical Eleven (2017) dan Antologi Rasa (2019) yang merupakan adaptasi dari satu buku, film Twivortiare merangkum tiga buku serinya secara langsung. Melalui seri Twivortiare, Ika memperkenalkan genre Twitterature yang memanfaatkan format twit atau unggahan cuitan seperti pada platform Twitter sebagai teknik penceritaannya. Maka tak aneh saat tiga novelnya diterjemahkan dalam medium film, dialog menjadi elemen yang esensial.

Sayangnya, dialog yang dilontarkan kelewat literal dan nirsubteks. Lagi-lagi jatuh ke dalam permasalah klasik film Indonesia yang cenderung menganggap remeh intelektualitas penontonnya. Sampai-sampai untuk memperoleh informasi bahwa Alex itu cantik, mapan, atau punya selera humor yang baik harus didikte langsung secara verbal dari mulut karakter lainnya. Sulit untuk menahan rasa ngilu dihati, ketika Andrian (Arifin Putra), klien penting Alex, menanggapi guyonannya dengan berujar “Alex kamu ini lucu sekali,” seola ketakutan penontonnya tak menangkap hal serupa.

Karena terlalu sibuk menjelaskan, Twitvortiare pun luput dalam menarik simpati penontonnya. Adaptasi ketiga novel selalu dikendalikan oleh tangan yang berbeda (Benni Setiawan kali ini duduk di kursi sutradara, setelah Rizal Mantovani mengawal Antologi Rasa dan Monty Tiwa bersama Robert Ronny mengarahkan Critical Eleven), namun terdapat kesinambungan rasa antar satu film dengan yang lainnya. Twivotiare seakan mengikuti jejak Antologi Rasa yang bergerak stagnan dalam persoalan memantik resepsi. Kendati di atas kertas film ini punya dinamika konflik yang berpotensi menyulut emosi, di dalam layar film ini tak berenergi. Kualitas akting yang mumpuni dari Reza Rahadian atau Raihaanun pun tak berhasil mengantarkan film ini mencapai momen emosional dengan sebagaimana mestinya.

Keduanya memang berhasil menguasai setiap scene-scene penting penuh cekcok yang menjadi nadir film ini. Akan tetapi, tak jarang baik Raihaanun maupun Reza nampak kelimpungan untuk merespon ataupun berekspresi. Kegagalan Antologi Rasa salah satunya terletak pada performa akting yang mentah dari pemeran utamanya, Carissa Perusset sebagai Keara. Rupanya dalam beberapa kesempatan, Raihaanun yang sebelumnya tampil gemilang pada 27 Steps of May (2019), juga memperlihatkan kecanggungan yang sama.

Nyatanya memang tak banyak yang bisa digali dari karakter Alex, selain dari hal-hal yang terlihat di permukaan saja, seperti rupa fisik, status sosial, ataupun ambisinya sebagai istri. Selebihnya, ia sama seperti Keara yang dibingkai sebagai pusat dari semesta Antologi Rasa. Ini lebih dari sekadar dalam perspektif siapa film ini bekerja, bagaimana kedua film menempatkan karakter utama perempuannya sebagai seseorang yang selalu “dinomorsatukan” oleh orang-orang ada di sekelilingnya merupakan hal yang problematis. Untuk membuat karakter perempuan terlihat kuat dan dominan, seola dibutuhkan pengakuan yang berasal dari orang lain, tanpa afirmasi mereka tidak berdaya.

Twivortiare juga nampak begitu keras menghadirkan dimensi baru pada karakter-karakternya, yang mana merepresentasikan kalangan menengah atas. Beberapa kali terlihat upaya mendobrak stereotip, namun kerap menuai hasil yang kontraproduktif. Misalnya, Alex dan Beno yang digambarkan suka berkencan di pelataran kaki lima, namun tetap larut dalam obrolan bernuansa borjuisme. Alih-alih menciptakan spektrum berbeda pada karakternya, justru membuat perkembangan karakter tidak terasa organik.

Pun demikian, fokus cerita yang mengangkat relasi romantis kaum menengah atas tak otomatis membuat sebuah film nampak superfisial dan jauh dari kesan membumi. Tidak ada salahnya juga berani bermain-main dengan gemerlap dunia urban, atau bahkan mengungkap sisi gelap di dalamnya. Persoalanya adalah apakah dilema yang diangkat telah mencerminkan realitas sosial yang sebenar-benarnya ataukah hanya menjadi pernik yang menghiasi masalah remeh-temeh yang sebenarnya tak perlu merujuk secara spesifik pada satu kalangan?

Pada akhirnya, sulit menahan anggapan bahwa Twivortiare dirancang untuk memuaskan fantasi perempuan yang mendambakan kisah cinta penuh intrik yang pada akhirnya dimenangkan oleh perempuan itu sendiri. Film ini memang menyiapkan dalih bahwa Alex dan Beno sama-sama bersalah dalam kegagalan relasi pernikahan mereka, tapi pola-pola perseteruan keduanya cenderung memperlihatkan Benolah yang selalu bersimpuh untuk rujuk duluan, bersedia kalah sebelum siklus beracun itu berputar lagi.

--

--

Fidhia Kemala
STORY ENTHUSIAST

Ex-misanthrope who aspires to be a synthesis in the internet society.