Pulang

Cerpen

Ahsan Ridhoi
Story of Jakarta

--

Hari ini ibu menelpon. Kemarin juga. Seminggu yang lalu juga begitu. Setiap hari sejak selesai UAS. Biasanya sehari dua kali, siang dan malam. Selalu dengan pertanyaan yang sama, kapan pulang, nak? Aku tak pernah menjawab dengan pasti, seminggu lagi, akhir bulan, atau tidak pulang. Lalu terdengar nada tut..tut…tut panjang. Ibu telah mematikan teleponnya. Tanpa salam. Ia marah. Maaf.

Tak biasanya memang aku tak pulang. Setiap kali libur tiba, sejak di pesantren dulu, aku selalu pulang. Karena memang itulah salah satu caraku membanggakan ibu. Yang selalu menunggu kepulanganku dari rantau. Melihatmu di depan mataku dengan keadaan sehat, adalah sebuah kenikmatan tak terkira, nak. Begitu katanya kepadaku setiap kali ia menyambt kepulanganku. Dengan daster lusuhnya yang khas berdiri di depan pintu. Menungguku memeluknya. Tangan kanannya yang masih memegang sutil , akan cepat-cepat membuangnya, tatkala aku meraih tangannya untuk kucium. Lalu tangan kirinya mengusap rambutku. Saat itulah kurasakan aroma kehidupan dari seorang ibu. Ibu yang telah melahirkanku.

Di rumah, segala permintaannya selalu kuturuti. Memijat, mengantar ke toko untuk berjualan, menemani masak, hingga menemani nonton sinetron. Untuk itu, ibu selalu menunggu kepulanganku. Anak pertamanya yang penurut. Sehingga, ketika aku di rumah, adik-adikku selalu merasa dianak tirikan. Mereka iri padaku, yang selalu mendapat perhatian lebih dari ibu. Maka, aku selalu berkata pada mereka, nanti kalau kamu sudah kuliah, sudah merantau, juga akan dapat hal yang sama. Sekarang kalian kan masih sama ibu terus. Lebih sering diperhatikan daripada aku. Yang hanya pulang setahun dua kali. Kemudian, adik-adikku, yang berjumlah tiga orang, akan memelukku bersama-sama.

Berbeda dengan ibu, ayah selalu dingin dengan kepulanganku. Dinginnya sikap ayah bukan berarti tak senang. Ia memang selalu dingin. Ada maupun tak ada diriku. Ayah sangat jarang berbicara denganku. Hanya sekali-sekali saja. Itupun hanya menanyakan hasil kuliah dan perkembanganku selama di Jakarta. Dengan sebuah kertas hasil studi yang kusodorkan padanya, yang berisi seluruh nilaiku selama satu semester, ayah sudah puas. Ia tak berkata-kata lagi. Meski nilaiku tak selalu bagus semua, ia tetap diam. Tak pernah protes. Nilai bukan segalanya baginya. Melainkan proses. Berdasar pedoman itulah ayahku mendidik seluruh anaknya.

Dulu, semasa di pesantren, di Jombang, Jawa Timur. Ibu dan ayah selalu datang menjenguk sebulan sekali. Kadang bersama dengan adik-adikku. Namun, hanya ibu dan adik-adik yang menghampiriku. Sedangkan ayah menemui kiaiku. Kebetulan kiai di pesantrenku adalah teman sepesantren ayah dulu. Juga di Jombang. Ayah selalu bertanya tentang perkembanganku. Terutama perilaku. Kesopanan. Ayah tak mempermasalahkan jika aku membolos sekolah. Dengan catatan membolos bukanlah perilaku yang tidak sopan. Tentu saja membolos tidak sopan. Maka, aku tak pernah sekalipun membolos. Kecuali saat sakit. Sebelum pulang, ayah akan memanggilku. Biasanya akan memberi sedikit nasehat, lalu memberi tambahan uang saku. Ya, uang sakuku diberi setiap minggu. Itulah satu-satunya yang membuatku mengharap kedatangannya setiap minggu. Selebihnya hanya soal koreksi perilaku, yang sebenarnya membuatku semakin terkekang.

Sejak kuliah, cara ayah mengoreksi perilakuku selama di Jakarta, berbeda. Yaitu, dengan mengoreksi segala kegiatanku selama di rumah. Apabila aku lebih sering pergi dengan temanku daripada membaca buku atau membantu ibu, maka ayah dapat menyimpulkan itulah perilakuku selama di Jakarta. Maka, saat itulah ayah akan berkata, adanya kamu di rumah, tak ubahnya dengan tak adanya kamu. Aku tak pernah menganggap kalimatnya sebagai sebuah teguran atau kemarahan. Hanya sebuah nasehat tambahan. Di saat seperti itu, ibu akan membelaku. Ibu akan berkata, biarlah wong anakmu ini sudah besar, pulang malam sedkit juga tak apa-apa. Lagian di Jakarta kan dia belajar. Tak ada salahnya kalau di rumah ia ingin bermain. Jika ibu sudah membelaku seperti itu, ayah akan pergi. Ia tak pernah mau berdebat dengan ibu. Itulah yang sejak dulu kuketahui. Ayah sangat mencintai ibu. Begitu juga ibu sebaliknya.

Dengan segala kehangatan keluarga di rumah, sebenarnya tak ada alasan bagiku untuk tak pulang setiap kali liburan. Begitu juga liburan kali ini. Itulah sebabnya ibu terus menelponku setiap hari. Menanyakan kabar kepulanganku. Awalnya aku beralasan UAS belum selesai. Tapi ibu tak percaya. Karena tetanggaku, yang juga teman sekampusku, telah pulang. Ibu pun terus menelpon. Ia berkata, kalau mau alasan yang pintar sedikit, kamu pikir ibumu ini tak pernah kuliah, jadi dapat kamu bohongi? Tidak akan. Begitu keras dan marah suara ibu terdengar. Lalu disusul nada tut.tut.tut panjang. Yang berarti telepon telah ditutup. Kejadian itu sekitar dua minggu yang lalu. Dan terus berlanjut hingga hari ini.

Pada akhirnya, karena setiap hari ibu menelpon, aku pun jarang mengaktifkan telepon genggamku. Kadang kuaktifkan tapi sengaja kutinggal di kamar kos. Sementara aku pergi entah kemana. Ketika aku kembali, sudah ada minimal dua puluh sms yang masuk. Semuanya dari ibu. Dengan satu pesan yang sama. Dimana, nak? Kapan pulang? Kok panggilan ibu tak dijawab? Aku selalu membalas sms ibu dengan sesingkat-singkatnya. Tanpa melebihkan atau mengurangi. Hanya membohongi. Aku di kosan, bu. Belum tahu kapan akan pulang. Aku baru bangun. Begitulah balasanku. Dan ibu akan langsung membalas lagi. Tak sampai lima menit sms darinya telah masuk. Oh, kalau sudah pasti mau pulang, beritahu ya, nak. Nanti ibu kirim uang tiketnya. Kamu hati-hati di sana. Sungguh sebuah pesan yang semakin menekanku. Bukan lantaran memaksaku untuk pulang, melainkan karena kasih sayangnya. Aku merasa sangat hina telah membohongi ibu yang sangat menyayangiku. Perlahan air mataku pun menetes. Tetesan demi tetesan yang hangat. Penuh dengan kesedihan dan aduhai. Kututup wajahku dengan bantal. Aku tak tahu mengapa aku suka menutup wajahku dengan bantal ketika menangis. Mungkin karena sering menonton sinetron di televisi dengan ibu. Jadi akupun terpengaruh.

Setiap hari, selama dua minggu ini, selalu kusiapkan alasan-alasan baru untuk melegakan hati ibu. Tetap dengan berbohong. Alasan kerja paruh waktu, aku selalu tak bisa menjawab ketika ibu bertanya tempat, gaji, dan lama masa kerjanya. Alasan kegiatan organisasi, ibu akan berkata, keluarga lebih penting dari organisasi, nak. Sebuah kalimat yang tak bisa diperdebatkan lagi kebenarannya. Aku kalah. Lalu, diakhiri dengan adegan menangis dan menutup muka dengan bantal. Lagi. Entah sudah berapa sarung bantal yang habis terpakai. Untung ibu memberiku sarung bantal dalam jumlah yang banyak. Belum lagi yang dari para mantan pacarku. Sangat banyak. Hingga aku sediakan satu rak di lemari pakaianku hanya untuk sarung bantal. Dan sekarang tinggal dua pasang lagi.

Kemarin, saat terakhir kali aku menangis. Akhrinya kuantarkan semua sarung bantal yang telah terpakai ke tukang laundry. Karena aku tahu, adegan ini akan terus berlanjut selama ibuku tetap menanyakan kepulanganku, dan aku tetap berbohong. Maka, akan lebih baik jika semua sarung bantal yang telah terpakai di cuci terlebih dahulu di tukang laundry. Jadi, aku tak perlu khawatir akan kehabisan sarung bantal, yang kini tersisa dua pasang saja. Saat ditengah jalan, aku bertemu dengan seorang teman. Ia menyapaku, lalu memintaku untuk berhenti sejenak. Kamipun ngobrol. Ia berbasa-basi. Menanyakan tujuanku dan apa yang aku bawa. Akupun menjawab dengan apa adanya. Ia kaget, setelah tahu yang kubawa adalah sarung bantal. Lantas ia mengolokku. Kamu habis ngiler? Atau ngompol? Begitu ia mengolokku dengan dua buah pertanyaan. Ia tertawa sangat puas. Aku juga. Kujawab pertanyaannya dengan nada bercanda. Keduanya, kataku. Ia melongok kaget. Tak kusangka pertanyaannya serius. Dahinya mengernyit, lalu berkata, makanya jangan suka mimpi begituan sama dosen. Aku terdiam. Kami terdiam. Berpikir. Lalu kembali terbahak bersama-sama.

Dua hari lagi sarung bantal yang kuantar ke tukang laundry telah dapat diambil. Memang tenggat yang diberikan oleh tukang laundry adalah empat hari. Terhitung sejak kemarin. Pas dengan sisa dua pasang yang ada. Akupun tak perlu khawatir. Adegan berbohong dan menangis akan terus berlanjut. Meski tidak sepenuhnya itu harapanku. Aku tetap ingin semuanya segera berakhir. Entah dengan kerelaan dari ibuku untuk tak melihat kepulangan anaknya. Atau dengan kerelaanku untuk pulang. Tak ada satupun anak di dunia ini, yang mampu membohongi ibu yang menyayanginya terus menerus. Begitu juga denganku. Ya, adegan ini harus secepatnya diakhiri. Terutama sejak telepon ibu hari ini. Yang ditutup tanpa salam. Dan yang dapat menghentikannya hanyalah kejujuran dari mulutku. Lebih baik aku jujur ketika nanti ibu menelponku lagi. Aku akan berkata, “Maaf ibu, aku tidak bisa pulang. Karena, aku belum mampu memenuhi permintaanmu pada liburan yang lalu. Membawa seorang gadis untuk jadi menantumu. Sekali lagi maafkan anakmu.”

--

--

Ahsan Ridhoi
Story of Jakarta

Jurnalis. Tinggal di Jakarta. Menulis untuk senang-senang.