Satpol-PP dan Kuli Batu Yang Berdebat

Cerita dari trotoar jalan Jakarta.

Ahsan Ridhoi
Story of Jakarta
5 min readDec 26, 2013

--

Matahari belum terlalu tinggi, bayanganku pun belum penuh. Mungkin sekitar pukul 08.00 pagi. Seorang pria paruh baya berbaju kuning pudar, bercelana kain abu-abu mati, terlihat sedang berdiri di bawah tiang rambu lalu lintas 3 in 1. Jalanan Tebet, dekat Universitas Paramadina begitu ramai sesak. Puluhan, ratusan, mungkin ribuan kendaraan bermotor, melintas bak karnaval tujuh belasan. Pria itu tak lebih dari sebuah objek yang luput dari pandangan mata. Menyatu dengan tiang rambu lalu lintas. Ia mengacungkan jari telunjuknya ke arah ribuan mobil yang melintas. Berulang-ulang. Memberi isyarat untuk menepi, atau mungkin isyarat yang lain. Aku tak paham. Dua mobil Toyota Avanza, yang satu hitam yang satu putih, terlihat menepi ke arahnya bergantian, yang hitam lebih dulu. Kedua mobil itu membuka jendela, ketika berada di depannya. Lalu, sopir yang ada di dalam mobil seperti ngobrol dengannya. Tak sampai lima menit, obrolan itu pun usai. Mobil Avanza hitam lalu meluncur, dan pria itu masih berdiri di pinggir jalan. Kini, giliran mobil Avanza putih yang menepi, melakukan hal yang sama. Namun, kali ini pria itu masuk ke dalam. Mobil itu kembali berjalan. Memasuki barisan karnaval, bersama pria itu di dalamnya. Aku tak tahu arah tujuan mereka. Mungkin mereka menuju kota yang jauh, atau sekadar berkeliling di situ-situ saja. Hanya sampai disitu pengamatanku. Aku tertegun keheranan pada kejadian barusan. Belum sempat akalku mencerna heranku sendiri, seorang pria berbaju cokelat muda, bertuliskan Satpol-PP di dada kirinya, menegurku. Dengan setengah berteriak, ia berkata “Kamu joki 3 in 1? Ayo ikut!”.

Aku semakin bingung. Belum genap sebulan aku di Jakarta. Masih banyak istilah yang tak kumengerti. Termasuk istilah joki 3 in 1. Mungkin, itu istilah untuk pedagang asongan liar. Karena dalam benakku, 3 in 1 hanya lekat dengan kopi Kapal Api, yang di bungkusnya tertulis ‘3 in 1 Special mix’. Selebihnya tak ada. Memang, aku sempat mendengar di berita-berita tentang peraturan lalu lintas bernama 3 in 1. Tapi, aku tak tahu dengan jelas. Apalagi dengan kata joki di depannya. Setahuku, joki adalah pembalap liar yang suka balapan malam-malam di jalan protokol. Bukan orang yang berjalan di trotoar jalan raya. Lantas, muncul sebuah pertanyaan dalam benakku. Mungkinkah 3 in 1 itu sejenis perlombaan lari illegal? Dan yang melakukannya disebut joki?

Belum sempat aku menjawab pertanyaanku sendiri, lamunanku buyar. Tangan kananku terasa sangat sakit. Ternyata pria berbaju Satpol-PP tadi, telah mencengkeram tangan kananku dengan kuat. Akupun berontak. Aku tak terima dengan perlakuannya. Hanya karena aku belum menjawab pertanyaannya, tak berarti dia bisa memperlakukan aku dengan kasar. Apalagi dia belum tahu asal usulku. Tanya nama pun belum. Sungguh lancang nian orang ini. Apakah ini tabiat orang Jakarta, yang katanya kota para pejabat itu? Jika benar, maka lebih bermoral kampungku daripada disini. Jangan-jangan, ia adalah aparat pemerintah. Kalau tak salah, seperti yang kulihat di berita, Satpol-PP adalah petugas yang suka gusur-gusur pedagang kaki lima, wong cilik. Hah! Jakarta tidak petugas, tidak masyarakatnya, semua tak bermoral.

Akhirnya aku bisa melepaskan tangan kananku dari cengkeramnya. Tak sia-sia dulu aku belajar pencak silat di kampung. Bisa bermanfaat untuk jaga diri. Lagipula, dengan profesiku sebagai kuli batu, jelas aku lebih berotot daripada dia. Ia pun naik pitam, lalu membentak diriku. Segala nama hewan keluar dari mulutnya, anjing, babi, monyet, semuanya ia sebut sesuai urutan abjad. Nampaknya, sebelum jadi Satpol-PP, ia adalah petugas taman safari. Aku ikut naik pitam. Tapi segera kutahan, aku tak mau ikut-ikutan tak bermoral. Itu bukan khas orang kampungku. Semua hardiknya hanya kubalas dengan senyum pahit. Dengan terbata-bata akhirnya aku menjelaskan siapa diriku. Dengan bahasa Indonesia sekenanya, aku berkata, “Maaf, Pak. Saya tak tahu dengan apa yang bapak kataken dengan joki three in one. Saya hanya kuli batu yang baru datang dari kampung di Solo.” Khusus pada kalimat three in one, aku sangat sulit untuk mengucapkannya. Maklum aku hanya tamatan SD saja. Pendidikan bahasa Inggris pun aku tak pernah dapat. Petugas itu pun terkekeh mendengarnya. Jika tadi aku dapat menuliskan istilah itu dalam bentuk ‘3 in 1’, tak lebih karena pengetahuan dari teman, yang kudapat berbulan-bulan setelah kejadian ini. Dan perihal tebak-menebak dalam anganku sendiri. Juga tak lebih dari tebakan sekenanya. Hasil dari mencocokkan ucapan bintang iklan kopi Kapal Api dengan ucapan petugas itu.

“Jadi kamu pendatang. Ada KTP nggak? Jangan-jangan kamu gelandangan?” Petugas itu balik bertanya.

“Ada, pak.” Kujawab singkat, sambil mengeluarkan dompet dari kantong. Lalu, kuberikan KTPku kepadanya.

“Kamu sudah punya tempat tinggal?”

“Sudah, di tempat teman.”

“Mau berapa lama di Jakarta?”

“Mungkin lima atau sepuluh tahun, Pak. Saya akan menetap disini.”

“Waduh, orang seperti kamu ini lah yang bikin Jakarta tambah padat. Lebih baik kamu nggak usah lama-lama disini. Nanti pekerjaan saya tambah berat. Lebih banyak lagi gelandangan yang saya tertibkan.”

“Loh! Apa salahnya mencari penghidupan di sini, Pak? Kan wajar seseorang itu berpindah tempat untuk dapat kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya. Lagian kan memang bapak digaji negara untuk itu.”

“Kamu itu gelandangan paling ngeyel yang pernah saya temui. Sudah belagak pintar ya gelandangan jaman sekarang. Ini pasti gara-gara banyak LSM yang ngasih kalian pendidikan. Dasar LSM bangsat!” Petugas itu murka. Aku tak tahu apa itu LSM. Tapi, dari hardik petugas itu, dapat kuketahui jika LSM adalah sebutan bagi sekumpulan orang baik. Ya, mereka mau memberi pendidikan pada gelandangan. Lebih baik dari pemerintah, yang bisanya cuma usir gusur gelandangan, wong cilik.

“Lah, kalau saya ndak ngeyel, nanti saya dikira gelandangan betulan sama bapak. Saya kan kuli batu. Pekerjaan saya jelas.” Aku ngeyel lagi.

“Sudah, nggak usah banyak omong. Sekarang kamu ikut saya saja ke kantor, biar kamu bias dikasih uang sama pemerintah buat balik ke kampungmu lagi!”

“emoh, aku ndak mau ikut bapak. Aku kan tinggal di tempat saudaraku. Sekali lagi aku bukan gelandangan, aku K-U-L-I B-A-T-U!” Sengaja aku mengeja kalimat kuli batu. Mungkin sejak tadi, ia tak mengerti makna kuli batu. Sehingga terus menyamakannya dengan gelandangan.

“Kamu ini, dari tadi bikin saya makin marah saja. Sudah bagi saya kamu tetap gelandangan. Harus ikut dengan saya. Tak peduli kamu mau bilang kamu itu kuli batu kek, kuli panggul, atau kuliah, kamu tetap saja harus ikut dengan saya!” Ia nyerocos tanpa henti. Ludahnya pun muncrat-muncrat tak keruan. Jorok.

“Yasudah, kalau bapak tetep anggap saya gelandangan, tak apa. Tapi, coba jelaskan apa yang menjelaskan saya sebagai gelandangan? Selain karena saya baru datang di Jakarta ini!” Aku bertanya dengan maksud membela diri.

“Gelandangan itu ya kamu! Pendatang dari kampong, yang bisanya cuma bikin Jakarta makin sesak. Menggeser keberadaan orang Betawi sepertiku. Alhasil, tanah kami jadi korban. Duh, kamu banyak nanya, ngeyel. Sudah, kalau memang nggak ikut ke kantor, cepat pergi saja! Jangan sampai ketemu saya lagi. Saya muak lihat orang kayak kamu!”

Petugas itu ngomong dengan cepat. Dengan nada yang semakin lama semakin tinggi, sampai suaranya serak. Tapi, di tengah tingginya nada bicaranya. Ada setitik kesedihan yang tersimpan. Aku tahu itu. Kesedihan sebagai seorang yang kampung halamannya tergusur oleh para pendatang. Andaikan saja ia tahu, bahwa bukan gelandangan lah sebab kampungnya tergusur. Tapi, orang-orang kaya itu, yang selalu takut kalau tidak dihormati lagi. Dan mereka begitu takutnya kalau harus menghormati orang-orang kampong. Kini, aku dapat berdamai dengan amarahnya, yang sedari tadi terus membuncah.

“Baik, Pak! Terimakasih atas pengertiannya. Maaf kalau dari tadi sudah merepotkan, bapak. Saya do’akan bapak cepat naik pangkat. Jadi, tak perlu lagi bertugas di jalanan dan menertibkan orang seperti saya. Melainkan menertibkan orang-orang yang berdasi, yang kaya-kaya, yang suka bikin karnaval di jalanan Jakarta dengan kendaraan mereka. Tentu bapak akan lebih puas jika dapat melakukan itu. Kampung bapak bisa tak bising, lagi.” Aku menjawab dengan tersenyum. Lalu melangkah pergi. Meninggalkan percakapan yang mengambang. (end)

--

--

Ahsan Ridhoi
Story of Jakarta

Jurnalis. Tinggal di Jakarta. Menulis untuk senang-senang.