Apa Kabar Bumi Hari ini?

Studia Humanika
Studia Humanika
Published in
4 min readJun 7, 2024
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia/World Environmental Day pada 5 Juni 2024 (sumber gambar: https://www.freepik.com/free-vector/flat-background-world-environment-day-celebration_41969585.htm#fromView=search&page=1&position=3&uuid=bfa01604-cb5f-4927-9427-d4bacc99c354)

Jika bumi bisa berbicara, lalu ditanya, “apa kabarmu hari ini?” jawaban apa kira-kira yang akan ia beri? Setelah beribu-ribu tahun, mungkin manusia memanfaatkan apa yang telah disediakan di dalam dirinya, apa yang ia rasakan dan juga pikirkan?

Isu semacam ini cukup ramai menjadi perbincangan, mulai dari isu-isu mengenai perubahan iklim, pemanasan global, sampai eksploitasi berlebihan sumber daya alam. Jejak ekologis manusia di bumi yang sudah banyak dengan sumber daya alamnya yang terbatas, sampai bahkan ada usaha dari beberapa peneliti dalam mencari bumi yang lain karena menganggap bahwa sumber daya alam di bumi dirasa akan defisit untuk memenuhi kebutuhan seluruh populasi bumi saat ini.

Alam tercipta sebagai penyokong kehidupan, namun kebanyakan manusia masih abai untuk merawat dan memelihara sumber kehidupannya (sumber gambar: https://www.freepik.com/free-vector/flat-environmental-pollution-earth-planet-by-industrial-production_28686464.htm#fromView=search&page=1&position=38&uuid=16e563c8-93b8-469d-8ad1-be9b934999a8)

“Apakah sedarurat itu kah isu lingkungan yang diangkat pada saat ini?”

Ternyata permasalahannya lebih rumit daripada yang terkira. Ada istilah yang juga menjadi isu lingkungan saat ini selain yang sudah dijabarkan di atas, yaitu tragedy of the commons. Isu tersebut pertama kali diangkat pada tahun 1968 oleh seorang ekolog, Garett Hardin, di mana ia telah melihat bahwa pada saat itu populasi manusia sudah semakin banyak. Dengan populasi manusia yang semakin banyak dan sumber daya alam yang dipakai bersama banyak juga dimanfaatkan, maka sumber daya tersebut bisa hilang.

Sumber daya sendiri bisa dibagi menjadi empat kelompok: (1) private goods, ketika kita memiliki sumber daya tersebut, maka orang lain tidak bisa pakai dan barangnya bisa habis; (2) public goods, adalah sumber daya yang tidak terbatas, di mana semua orang dapat menggunakannya, seperti udara dan air; (3) club goods, adalah sumber daya yang cenderung melimpah tapi aksesnya terbatas untuk orang-orang tertentu saja, misalnya internet; dan (4) common goods, di mana aksesnya tidak terbatas namun kesediaannya terbatas, seperti saat ada ikan terbatas di suatu sungai dan semua orang menangkap ikan besar-besaran pada waktu yang sama di sana karena berpikiran bahwa hal tersebut terbuka untuk umum, padahal sumber dayanya terbatas, dampaknya pada waktu tertentu ikan tersebut habis dan tidak ada waktu untuk regenerasi kembali ikan-ikan di sana.

Kegelisahan Hardin pada penggunaan common goods yang berlebihan karena populasi yang banyak membuatnya mengangkat isu mengenai tragedy of the commons. Berbeda dengan private goods yang pemilik sumber daya memiliki tanggung jawab untuk menjaga sumber daya tersebut, untuk common goods karena orang-orang berpikir itu adalah sumber daya bersama dan melimpah ruah, mereka memiliki pemikiran bahwa tidak perlu bertanggungjawab untuk menjaga atau merawat sumber daya tersebut, bahkan berpikiran bahwa orang lain suatu saat akan merawat sumber daya tersebut. Padahal jumlah sumber dayanya terbatas dan bisa habis ketika tidak dijaga atau digunakan berlebihan.

Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa bumi itu sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak cukup memenuhi keinginan orang yang serakah. Dengan populasi padat seperti sekarang, diperparah dengan gaya hidup dari masing-masing individu yang sangat beragam, sumber daya alam dirasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut–terutama pada negara-negara maju yang gaya hidupnya cenderung konsumtif.

Manusia dan alam sejak dulu bisa hidup harmonis — alam memberi kepada manusia dan manusia memberi kembali dengan menjaga dan membuat aturan-aturan dalam pemanfaatan alam sebagai bagian dari kearifan lokal (sumber gambar: https://www.freepik.com/premium-vector/phillipine-travel-isometric-illustration-with-tribal-groups-symbols_14741248.htm#fromView=search&page=3&position=47&uuid=28325fc6-c7f4-4421-84ac-103df984cc35)

Selain itu, bagaimana dengan masyarakat-masyarakat adat yang memakan atau mengeksploitasi hewan-hewan eksotis atau dilindungi sebagai bagian dari budayanya?

Pada tahun 1991, sekelompok peneliti dengan pemimpinnya bernama Elinor Ostrom menyebutkan bahwa masyarakat pada level lokal mempunyai cara sendiri untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam sehingga tidak terjadi eksploitasi berlebihan tanpa melibatkan pemerintah. Mereka menciptakan lembaga yang mempunyai aturan dan bersentuhan langsung dengan sumber daya, atau biasa disebut kearifan lokal. Seperti Lubuk Larangan di Sumatera, yaitu sebuah daerah di sungai yang dibatasi pengambilan sumber dayanya berdasarkan ketentuan adat. Contoh lainnya, di daerah timur Indonesia ada yang menganut sistem sasi, di mana pengambilan sumber daya di laut seperti ikan atau kerang dibatasi dan boleh diambil pada waktu-waktu tertentu.

Namun tentunya untuk tragedy of the common goods ini belum cukup jika regulasinya hanya diterapkan di level masyarakat lokal, seharusnya memang perlu ada regulasi lingkungan pada tingkat pemerintahan dalam negeri bahkan lintas negara. Karena bila dibiarkan, maka akan dapat berdampak pada sumber daya yang lainnya, misalnya kepada public goods. Ambil contoh, air dan udara adalah public goods, tapi misal perusahaan dan pabrik-pabrik menyebabkan pencemaran air atau udara, menjadikan air dan udara yang tadinya public goods yang tidak akan habis menjadi common dan terbatas. Oleh karena itu setiap badan usaha di Indonesia perlu membuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai syarat pendiriannya.

Indonesia merupakan negara tropis dengan keindahan alam dan hutan-hutan eksotis, hewan-hewan unik dapat dijumpai, serta kearifan lokal yang unik dan menarik. Namun kini nyatanya kita sudah banyak kehilangan hutan tropis. Bahkan di Kalimantan kita kehilangan lahan hutan tropis sebesar satu lapangan sepak bola per menitnya. Belum lagi jika kita membahas isu sampah dan limbah, pemerintah dan masyarakat masih cenderung abai dan pasif dengan permasalahan lingkungan.

Jadi setelah membaca tulisan di atas, kira-kira apa yang akan bumi jawab? Apa yang akan alam di Indonesia jawab?

Penulis: Aryo Bima F. (Staf Badan Pengkajian dan Penerbitan Salman ITB)

--

--

Studia Humanika
Studia Humanika

Intellectual Discovery & Discussion 🌙📚✨ Explore Islam among deep philosophical discussions and community. Join us on this intellectual journey!