Kebahagiaan dalam Stoik

Studia Humanika
Studia Humanika
Published in
4 min readMay 31, 2024
(sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2022/07/25/16/41/child-7344169_960_720.jpg)
Kebahagiaan, layaknya rasa riang saat masa kanak-kanak dahulu (sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2022/07/25/16/41/child-7344169_960_720.jpg)

Manusia cenderung menentukan suatu tujuan dalam menjalani hidupnya. Tujuan tersebut terbentuk dari nilai dan keinginan yang dimiliki oleh pribadi. Beberapa orang ada yang mencari rasa nyaman dan aman, ada juga yang mendambakan kekuasaan, kemudian ada juga yang umum didengungkan walau lebih abstrak: ingin merasakan apa yang disebut dengan kebahagiaan.

Mungkin kita sering mendefinisikan kebahagiaan sebagai rasa senang atau kepuasaan setelah kita melakukan sesuatu aktivitas seperti makan-makanan enak atau melakukan hobi. Padahal sejatinya, definisi bahagia masihlah abstrak dan seringkali bersifat subjektif dari satu individu ke individu lainnya. Ada banyak penjelasan untuk menjelaskan apa makna dari kebahagiaan sesuai dari bagaimana kita memandang hidup.

Aristoteles, seorang filsuf Yunani terkemuka sekitar abad ke-2 sebelum masehi menjelaskan bahwa kebahagiaan merupakan adalah sebuah “proses” untuk mencapai kebahagiaan itu sendiri dengan melaksanakan kebajikan-kebajikan yang sesuai dengan moral dan norma. Sementara bila kita melihat dari sudut pandang seorang hedonis, kebahagiaan dijelaskan dapat diraih dengan cara melakukan banyak kesenangan serta menghindari hal-hal yang menyakitkan di dunia. Kedua hal tersebut terlihat berbanding terbalik, di mana satu sisi mengatakan bahwa kebahagiaan dapat diraih melalui proses aktivitas yang bajik yang tak jarang mengundang penderitaan. Sedangkan, pandangan lain menyebutkan kebahagiaan justru harus didapatkan melalui penghindaran rasa sakit dan pemenuhan kebutuhan akan rasa senang.

Sebagai alternatif dari dua pandangan yang menjadi negasi satu sama lain, muncul pendekatan dari sebuah aliran filsafat yang akhir-akhir ini cukup popular terutama di kalangan anak muda, yaitu stoikisme. Aliran ini cukup popular di Indonesia melalui beberapa buku seperti Filosofi Teras sampai podcast-podcast yang mengenalkan prinsip stoik. Berdasarkan sejarah, aliran ini berkembang sejak zaman Yunani Kuno sampai Romawi Kuno, dengan tokoh-tokoh seperti Zeno, Epictetus, Marcus Aurelius, Seneca, dan lainnya.

Zeno, salah satu tokoh pencetus stoikisme (sumber: https://www.freepik.es/fotos-premium/zenon-citium-dando-conferencia-sobre-estoicismo-papel-envejecido_147025989.htm)

Prinsip utama dalam stoikisme adalah: (1) hidup harus sesuai dengan alam dan mengikuti arahan akal atau rasio, (2) kebajikan menjadi tujuan tertinggi dalam hidup dengan mengimplementasikan sikap adil, berani, dan moderat, (3) berfokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan, dan (4) tidak bergantung pada hal-hal eksternal seperti kekayaan, ketenaran, atau hal-hal material lainnya untuk kebahagiaan. Secara sekilas, kebahagiaan dalam stoikisme merangkum kedua pandangan sebelumnya dengan apik dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Bagi kaum stoa — panggilan untuk pengikut stoikisme, kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan hukum alam dan bebas dari hal apapun yang ada di luar kendali (seperti kodrat atau hal-hal di luar kendali). Hal tersebut dapat membebaskan manusia dari berbagai emosi negatif dan segala perasaan yang mengganggu. Emosi negatif, dalam konteks ini, diartikan sebagai hasrat yang keadaannya melampaui hal-hal tertentu terutama hal yang tidak bisa kontrol dengan seutuhnya.

Ketika seseorang menggantungkan kebahagiaan mereka pada sesuatu di luar kendalinya, maka menurut Epictetus ia tidaklah bebas bahkan tak ubahnya seperti seorang budak. Contohnya bila ada seorang lelaki yang merasa bahwa kebahagiaannya bergantung pada istrinya. Maka andai istrinya meninggalkannya, lelaki tersebut bisa jadi hilang kendali, cemas, dan mungkin melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan moral. Maka ia disebut sebagai budak karena tidak bisa bebas dari hal-hal yang berada di luar kendalinya, karena istrinya merupakan kehendak eksternal yang tidak bisa ia kontrol. Tentu saja, orang tersebut akan jauh dan sulit untuk mencapai kebahagiaan.

Maka, kunci kebahagiaan dalam stoikisme adalah terlepas dari berbagai jenis nafsu yang abstrak, kecanduan terhadap sesuatu, hilang kendali, dendam, serta kecemasan yang berlebih. Semisal saat mendapatkan suatu kejadian yang dirasa tidak menyenangkan, maka rasio dan akal menjadi kunci utama untuk diri agar tidak jatuh dalam nestapa. Luangkan waktu untuk berpikir secara rasional, evaluasi kembali soal kejadian tersebut, lihat apakah hal tersebut berada dalam kendali kita atau tidak. Lalu putuskan sebaik mungkin bagaimana kita akan bertindak — karena tindakan yang kita pilih ada dalam kendali kita, dan dengan itu kita bisa mencapai kebahagiaan.

sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Epictetus

Hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan, yaitu untuk tidak mengkhawatirkan hal-hal di luar kekuatan kita. Yang utama bukanlah apa yang terjadi pada diri, tapi bagaimana kita menyikapi hal tersebut

Epictetus.

Penulis: Aryo Bima F. (Staf Badan Pengkajian dan Penerbitan Salman ITB)

--

--

Studia Humanika
Studia Humanika

Intellectual Discovery & Discussion 🌙📚✨ Explore Islam among deep philosophical discussions and community. Join us on this intellectual journey!