Kebenaran, Antara Iman dan Sains

Ulasan Buku Logika Keimanan: Bukti Logis Kebenaran Akidah Islam dalam Sorotan Sains Modern

azrul kiromil
Studia Humanika
11 min readJul 5, 2024

--

Sampul Buku “Logika Keimanan” (Sumber: https://ahmadataka.substack.com/p/dari-ngaji-sanusi-hingga-logika-keimanan)

Oleh: Azrul Kiromil Enri Auni

Pendahuluan

Sains modern sejak satu abad terakhir banyak menghasilkan temuan-temuan penting dalam sejarah umat manusia. Dengan berasas pada teori relativitas Einstein, misalnya, manusia menciptakan teknologi GPS (Global Positioning System); fenomena kuantum yang perilakunya melawan intuisi manusia (counterintuitive) justru mengantarkan manusia pada pelbagai perkembangan teknologi semikonduktor, cikal-bakal perangkat elektronik seperti laptop, memori, sel surya, dan seterusnya; dan masih banyak lagi. Sains modern, diiringi pesatnya perkembangan teknologi, juga membuat manusia mampu mengatasi banyak persoalan. Penemuan vaksin virus corona dengan lebih cepat dan efektif ialah contoh paling mutakhir.

Di tengah panorama sains modern yang menyilaukan, muncul pertanyaan: apakah keimanan masih relevan, atau diperlukan, di tengah perkembangan sains modern? Ada kesan keimanan seperti diketepikan saat sains (tanpa agama) menjadi pemandu utama peradaban modern. Dalam tradisi keilmuan Islam, sebetulnya ada pembahasan hubungan iman dan ilmu yang menjawab kegundahan itu, seperti di Kitab Ummul Barāhīn karya Imam Sanusi (w. 895 H/1490 M). Menariknya, buku tersebut punya relevansi penting di zaman kini. Di mana relevansinya? Jawaban apa yang ditawarkan kitab tersebut dalam menghadapi tantangan sains modern? Inilah yang dikupas dalam Buku Logika Keimanan: Bukti Logis Kebenaran Akidah Islam dalam Sorotan Sains Modern (selanjutnya disebut Logika Keimanan), yang akan diulas di tulisan ini.

Jenis Buku dan Strukturnya

Buku Logika Keimanan ditulis oleh Ahmad Ataka Awwalur Rizqi (selanjutnya disebut Ataka). Kandungan buku ini mengacu pada Kitab Ummul Barāhīn (Induk Segala Dalil). Buku ini berisi kumpulan seri artikel ringan, yang bersifat renungan, terhadap kandungan Ummul Barāhīn dan kontekstualisasinya terhadap perkembangan sains dan teknologi modern. Alur penjelasan buku tersebut mengikuti urutan penjelasan sebagaimana diuraikan Ummul Barāhīn.

Kitab Ummul Barāhīn merangkum beberapa inti bahasan. Pertama, epistemologi. Kedua, pentingnya mengenal Allah dan Rasul secara wajib. Ketiga, sifat wajib, jaiz, dan mustahil Allah beserta dalil rasionalnya. Keempat, sifat wajib, jaiz, dan mustahil Rasul beserta dalil rasionalnya. Kelima, dua kalimat syahadat sebagai rangkuman dari pembahasan-pembahasan sebelumnya. Dan keenam, perlunya beramal dengan landasan iman yang benar. Berdasarkan struktur pokok bahasan tersebut, Ataka menjelaskan lebih lanjut kandungan kitab tersebut dan mengaitkannya dengan sains dan teknologi, serta menegaskan bahwa, bagaimanapun, keimanan dalam Islam tidak pernah kehilangan relevansinya sampai bila-bila (hlm. 39).

Beberapa Inti Kandungan Buku

Mengapa Dimulai dari Epistemologi?

Setidaknya ada dua alasan kenapa pembahasannya dimulai dari epistemologi [1]. Pertama, iman dalam Islam mengandung muatan ilmu. Sebab, iman berarti meyakini sesuatu sebagai kebenaran berdasarkan bukti yang absah, bukan berdasarkan praduga (zhann), skeptis (syakk) (hlm. 34), spekulasi filosofis, dan kepercayaan dogmatis. Di sisi lain, salah satu perintah Allah untuk manusia ialah agar manusia senantiasa berpikir dengan akalnya untuk mencapai kebenaran. Akal inilah yang mengantarkan seseorang ke pintu gerbang keimanan (hlm. 36).

Kedua, berkenaan dengan dialektika pemikiran. Seiring dengan meluasnya wilayah Islam, pertemuan budaya dan dialektika pemikiran antara peradaban Islam dengan peradaban lain tak terhindarkan. Perjumpaan dan dialektika tersebut juga memunculkan interaksi keilmuan, yang pada gilirannya memunculkan diskusi dan perdebatan ilmiah, baik yang bernuansa filosofis maupun teologis. Dalam diskusi dan perdebatan, perlu “penyamaan persepsi” berupa kesamaan kaidah logika dan kerangka berpikir. Inilah yang membuat sebagian kitab akidah dalam tradisi Islam mencantumkan bahasan logika dan epistemologi di awal bab.

Di zaman kiwari pun kita mengalami tantangan pemikiran, meskipun bentuknya agak berbeda, yakni dominasi sains modern yang dilandasi empirisisme logis [2]. Sains modern tidak hanya menawarkan teori dan penemuan saintifik, tapi juga cara berpikir. Tidak sedikit kalangan yang menganggap sains modern, dengan metode saintifiknya, sebagai satu-satunya ilmu yang absah (valid) (hlm. 41). Sesuatu disebut ilmiah hanya jika telah melalui metode saintifik (seperti dipahami sains modern). Konsekuensinya, setiap yang tidak melalui metode saintifik itu tidak ilmiah. Agama sekalipun, jika tidak dikaji dengan metode saintifik, dinilai tidak ilmiah, tetapi kepercayaan subjektif belaka. Padahal, setiap yang tidak saintifik tidak berarti tidak ilmiah. Sumber ilmu tidak hanya dari pengalaman empiris — seperti dalam sains modern, tetapi juga dari akal dan kabar yang benar [3]. Masing-masing punya metode pembuktian dan keabsahannya.

Photo by Gabriella Clare Marino on Unsplash

Tentang Hukum Akal dan Perannya

Dalam perbincangan selanjutnya, Ataka menjelaskan tentang hukum akal. Hukum akal terbagi menjadi tiga: wajib (pasti), mustahil, dan mungkin. Imam Sanusi berkata,

Sesuatu yang wajib (pasti) ialah yang ketiadaannya tidak bisa diterima oleh akal. Sesuatu yang mustahil ialah yang keberadaannya tidak bisa diterima oleh akal. Sesuatu yang mungkin ialah yang ketiadaan maupun keberadaannya bisa diterima akal.

Maksud dari “tidak bisa diterima oleh akal” ialah sesuatu yang secara akal berujung pada kontradiksi dan absurditas (hlm. 57). Misalnya, pernyataan “sebagian lebih sedikit dari keseluruhan.” Jika dibalik, “sebagian lebih banyak dari keseluruhan,” akal lantas tidak menerimanya karena akan jadi absurd, dan karenanya mustahil.

Hukum akal berperan penting ketika, misalnya, hendak membuktikan keberadaan Tuhan beserta sifat-sifat-Nya, terjadinya fenomena alam, posisi mukjizat Nabi di tengah fenomena alam. Apakah itu berarti mengenal Tuhan cukup dengan akal saja? Tentu tidak. Meskipun akal bisa sampai pada kesimpulan adanya Tuhan, wahyu punya peran mendasar untuk memandu akal sampai pada kesimpulan yang benar — malah wahyu menyajikan informasi lebih menyeluruh tentang sifat-sifat Tuhan (hlm. 72).

Photo by K. Mitch Hodge on Unsplash

Tentang Sifat Tuhan beserta Buktinya

Imam Sanusi memperkenalkan 20 sifat wajib Tuhan yang perlu diketahui secara terperinci, yang tercakup dalam 4 jenis:

1. Sifat diri (nafsiyyah), yaitu sifat yang menunjukkan Dzat itu sendiri, terdiri dari sifat Wujūd (Ada);

2. Sifat negasi (salbiyyah), yakni ketiadaan sesuatu pada Dzat, terdiri dari qidam (tidak bermula), baqā’ (abadi, tidak fana), mukhālafatun lil-ḥawādits (tidak serupa dengan makhluk-Nya), qiyāmuhū bi-nafsihī (berdiri sendiri, yakni tidak bergantung dengan apapun), dan wahdāniyyah (Esa, tidak berbilang, baik dari segi Dzat, Sifat, maupun Tindakan-Nya);

3. Sifat konseptual (ma’ānī), yakni sifat yang ada dan melekat pada Dzat, terdiri dari qudrah (kuasa), irādah (kehendak), ‘ilm (mengetahui), ḥayāt (hidup), sam’ (mendengar), bashar (melihat), dan kalām (berbicara).

4. Sifat faktual (ma’nawiyyah), yakni aktualisasi dari sifat konseptual, terdiri dari qādiran (berkuasa), murīdan (berkehendak), ‘āliman (berpengetahuan), ḥayyan (hidup), samī’an (mendengar), bashīran (melihat), mutakalliman (berfirman).

Sifat 20 muncul sebagai jawaban atas tantangan pemikiran dari filsuf dan golongan di luar Sunni seperti Mu’tazilah. Tidak berarti sifat Tuhan hanya 20 saja. Sifat-sifat lain seperti memberi petunjuk dan rezeki, menghidupkan dan mematikan, dan seterusnya, dikelompokkan sebagai tindakan Tuhan yang tercakup dalam sifat kuasa dan kehendak-Nya (hlm. 75). Apa bukti Tuhan itu wujud (ada)? Jawaban sederhananya: keberadaan alam semesta. Dalam tradisi keilmuan Islam, ada dua argumen (hujah) utama untuk memperinci jawaban tersebut yang terkait dengan sifat alam semesta: 1) argumen kemungkinan (bukti alam semesta itu bersifat mungkin) dan 2) argumen kebermulaan (bukti alam semesta itu bermula). Apa bukti bahwa alam itu bermula? Jawabannya: keberadaan alam semesta membutuhkan sebab.

Sebab yang membuat alam semesta itu ada mestilah sebab yang tak bermula. Alasannya, jika sebab itu bermula, ia butuh sebab lain; jika sebab lain itu bermula juga, ia butuh sebab yang lain lagi; jika yang terjadi ialah begitu seterusnya tanpa ujung, yang ada ialah rantai sebab-akibat yang tak pernah berujung ataupun hubungan sebab-akibat yang melingkar, dan itu mustahil. Jadi, pasti sebab itu ada ujungnya (hlm. 112–113), dan sebab itu tidak bermula. Inilah yang disebut Musabbib al-asbāb (Sebab dari segala sebab). Adapun pembuktian argumen kemungkinan tak jauh beda dengan argumen kebermulaan. Ujung dari kedua argumen tersebut adalah bahwa Sebab yang membuat alam semesta itu ada ialah Wujud Yang Mutlak.

Sifat diri dan negasi menekankan Tuhan sebagai Wujud Mutlak (Necessary Being/Wājib al-Wujūd). Maksudnya, keberadaan Tuhan itu bersifat wajib (pasti), yang ketiadaannya berujung absurd dan kontradiksi secara rasional. Jika Wujud Mutlak itu ada, pasti disifati dengan sifat diri dan negasi di atas (hlm. 78). Sementara itu, sifat konseptual dan faktual menekankan Tuhan sebagai Agen Yang Bertindak (Fā’il al-Mukhtār), bukan “sebab yang mati.” Maksudnya, Tuhan ialah Agen yang punya kehendak dan bertindak bebas. Berbeda dengan pemahaman filsuf yang memandang Tuhan sebagai sebab adanya alam semesta tanpa punya kehendak (hlm. 85).

Photo by Aaron Burden on Unsplash

Konteksnya dalam Sains Modern

Dalam tradisi intelektual Barat, muncul juga argumen yang serupa dengan yang di atas (yakni keberadaan alam semesta adalah bukti keberadaan Tuhan), tapi sebetulnya tak sama. Argumen itu ialah argumen rancangan (design argument). Inti argumennya: keteraturan alam semesta ialah bukti keberadaan Tuhan. Alur berpikirnya begini: alam semesta ini begitu teratur, tak mungkin alam ini ada tanpa sesuatu yang mengatur, pasti ada yang merancang alam ini dengan teratur. Keteraturan alam semesta (planet bergerak pada orbitnya, pembaharuan sel-sel yang membuat fungsi kerja organ berjalan baik sehingga manusia dapat hidup normal, dan lain-lain) juga meniscayakan bahwa perancang itu mestilah cerdas. Jadi, alam raya ini adalah rancangan yang dibuat oleh sesuatu yang cerdas. Siapa perancang cerdas itu? Perancang cerdas itu mestilah Tuhan (hlm. 157–159).

Argumen rancangan di atas tampak meyakinkan. Namun, beberapa gugatan muncul terhadap argumen tersebut: perancang cerdas itu tidak mesti Tuhan, bisa saja entitas lain, seperti alien cerdas, atau peradaban maju yang berasal dari luar alam semesta kita. Gugatan ini hendak menunjukkan adanya lompatan logika di argumen tersebut (hlm. 159–162). Malah, kemunculan teori Darwin yang memperkenalkan seleksi alam, ditambah lagi penemuan mutasi genetik secara acak pada makhluk hidup dari Gregori Mendel, mengesankan bahwa terciptanya spesies makhluk hidup seperti tidak terencana, tidak teratur, yang bermakna tiada campur tangan Tuhan. Teori evolusi, karenanya, mengesankan pengingkaran akan adanya Tuhan (hlm. 198–201).

Menjawab gugatan di atas, Ataka menunjukkan bahwa Wujud Yang Mutlak hanyalah berlaku pada Tuhan (hlm. 127–149), bukan entitas yang lain; argumen kemungkinan dan kebermulaan sudah cukup membuktikan adanya Tuhan. Argumen rancangan (design argument) tidak sepenuhnya bisa melandasi bukti keberadaan Tuhan, tapi lebih tepat untuk membuktikan bahwa Tuhan Maha Mengetahui. Kenyataan bahwa alam ini teratur hanya memperkuat bukti bahwa Tuhan punya kuasa, kehendak, dan ilmu yang tidak terbayangkan oleh akal kita yang terbatas (hlm. 164). Kenyataan perilaku alam semesta yang acak sekalipun juga bukti keberadaan Tuhan. Logikanya sederhana: kejadian alam berangkat dari sesuatu yang mungkin; dari semua kemungkinan yang ada, Allah menjadikan suatu peristiwa alam itu — termasuk keteracakan alam — terjadi (kun fayakūn) dengan kuasa dan kehendak-Nya (hlm. 202–204).

Bagaimana dengan kemunculan manusia, yang digambarkan secara jelas dalam al-Quran, tetapi digambarkan secara berbeda sekali dalam evolusi modern? Hal ini tidak dibahas lebih lanjut dalam buku tersebut. Pertanyaan lain yang juga muncul adalah bagaimana dengan mukjizat dalam kaitannya dengan fenomena alam? Pembahasan tersebut diulas lebih lanjut dalam perbincangan tentang utusan Tuhan.

Photo by Hal Gatewood on Unsplash

Tentang Sifat Rasul serta Buktinya, Mukjizat, dan Fenomena Saintifik dalam al-Quran

Rasul (utusan Tuhan) wajib (harus) memiliki sifat shidq (jujur), amānah (dapat dipercaya), dan tablīgh (menyampaikan); sebagian ulama menambahkan sifat cerdas. Seorang Rasul tidak mungkin dusta (sebagai lawan dari jujur), khianat (sebagai lawan dari amanah), menyembunyikan ajaran, dan bodoh (sebab seorang Rasul harus mampu berhujah tentang keberadaan Tuhan dan kebenaran kenabiannya sendiri di hadapan kaumnya). Terkait tablīgh, sifat tersebut tidak berlaku pada Nabi karena Nabi tidak diwajibkan untuk menyampaikan risalah kepada kaumnya (hlm. 212–213).

Bagaimana memastikan seseorang itu memang utusan Tuhan? Pertanyaan tersebut berkaitan dengan bukti klaim kebenaran kenabian, melibatkan pembuktian sifat shidq utusan Tuhan, yang diperkuat dengan mukjizat (hlm. 223). Mukjizat ialah peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan alamiah (kharq al-‘ādah). Misalnya, api yang tidak membakar. Jika syarat-syarat alamiahnya terpenuhi, seharusnya api itu membakar. Tapi, api itu tidak membakar. Ini bisa disebut sebagai peristiwa luar biasa (hlm. 223), seperti kasus Nabi Ibrahim yang dibakar Raja Namrud. Ketika peristiwa tersebut terjadi, akal sulit mencerna, membuat orang yang menyaksikannya terkejut tak berdaya (lemah), tapi ia tak ada pilihan lain selain menerimanya; dan manusia yang menyaksikannya pun tidak bisa menirunya.

Mukjizat bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dan ditiru semua orang, melainkan kemampuan yang diberikan langsung oleh Allah. Karenanya, sihir dan sulap bukan termasuk mukjizat. Yang juga membedakan mukjizat dengan peristiwa luar biasa lain (seperti karāmah) ialah perannya untuk membuktikan klaim kenabian, sebagai konfirmasi dari Tuhan bahwa hamba yang mengaku utusan-Nya itu betul-betul utusan-Nya (hlm. 228). Meskipun seorang wali bisa mengalami peristiwa luar biasa, tidak menjadikan wali itu sebagai Rasul. Saat seorang rasul ditantang oleh kaumnya untuk membuktikan klaim kenabiannya, terjadilah mukjizat di tangannya.

Ada kecenderungan sebagian orang yang berupaya mencocokkan ayat-ayat al-Quran dengan teori dan temuan saintifik (hlm. 247–248). Terhadap ini, Ataka memberikan beberapa catatan. Pertama, sains itu bersifat dinamis. Jika kita menyimpulkan bahwa suatu ayat dapat memprediksi teori dan temuan saintifik tertentu, sementara di kemudian hari teori tersebut ternyata salah, itu akan meruntuhkan kredibilitas al-Quran itu sendiri. Kedua, terlalu fokus membuktikan teori saintifik untuk membuktikan kemukjizatan al-Quran berpotensi mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tafsir yang telah disusun oleh para ulama. Ketiga, usaha seperti itu bisa berdampak pada penolakan fenomena-fenomena yang terjadi di luar kebiasaan alamiah yang tidak bisa dijelaskan oleh sains, seperti mukjizat Nabi dan karamah wali (hlm. 248–249).

Dari catatan di atas, Ataka menyarankan beberapa poin. Pertama, perlu terlebih dahulu sadar bahwa kita tak perlu mukjizat saintifik untuk membuktikan kemukjizatan al-Quran, karena banyak sisi mukjizat lain yang bisa digali. Kedua, kalaupun ada ayat-ayat yang bisa ditafsirkan sesuai dengan sains modern, tidak boleh bertabrakan dengan kaidah tafsir dan bahasa Arab. Teori saintifik yang dirujuk haruslah kuat secara epistemologis. Ketiga, perlu diiringi penekanan bahwa hasil penafsiran secara saintifik terhadap al-Quran belum tentu tepat (masih bersifat dugaan). Upaya demikian sebetulnya malah lebih tepat dikelompokkan sebagai usaha mentadabburi al-Quran, bukan membuktikan kemukjizatan al-Quran (hlm. 250–251).

Dua Kalimat Syahadat

Setelah mengurai sifat-sifat Tuhan dan Rasul-Nya serta bukti-buktinya, Ataka, seperti di dalam Ummul Barāhīn, menjelaskan bagaimana seluruh sifat yang dipaparkan di atas terangkum dalam dua kalimat syahadat (hlm. 261–270). Dalam kalimat, “Tiada Tuhan selain Allah,” Tuhan ialah satu-satunya Dzat Yang berhak disembah, karena keseluruhan sifat Tuhan Yang Mulia itu merangkum independensi Dzat-Nya dari segala sesuatu selain-Nya, dan segala sesuatu selain-Nya bergantung hanya kepada-Nya (hlm. 270). Kenyataan demikian membawa kita pada sifat tawakkal, saat-saat kita sebagai hamba sepenuhnya berserah diri kepada-Nya (hlm. 271).

Sementara itu, kesaksian “Muhammad adalah Utusan Allah,” menurut Imam Sanusi (hlm. 273),

“…merangkum iman kepada seluruh Nabi, malaikat, kitab-kitab, hari kiamat, karena beliau datang dengan membenarkan seluruh perkara tersebut.”

Kesaksian kerasulan Muhammad juga berimplikasi pada meyakini kebenaran kabar Nabi tentang alam ghaib. Walaupun kita tak punya bukti saintifik yang mendukung keberadaan alam ghaib, tidak berarti keberadaan alam ghaib itu mustahil (hlm. 275). Keberadaannya bersifat mungkin secara rasional. Namun dengan datangnya kabar yang benar, sesuatu yang bersifat mungkin bagi akal bersifat pasti bagi wahyu. Jadi, untuk mengetahui perkara ghaib, satu-satunya sumber yang bisa diandalkan ialah wahyu semata.

Pada akhirnya, iman yang hakiki mengarah pada ketundukan, perangai Islami, yang terejawantahkan dalam amal sholeh, dalam keadaan jiwa yang baik. Dengan kata lain, iman yang hakiki bukan sesuatu yang ada di alam pikiran manusia saja, tapi mewujud dalam perilaku, sikap jiwa, dan tindakan (hlm. 282–283).

Photo by The Dancing Rain on Unsplash

**************

*) Ulasan buku ini merupakan versi yang lebih ringkas dari versi asalnya. Versi asalnya disampaikan pada Diskusi Buku: Logika Keimanan karya Ahmad Ataka Awwalur Rizqi, S.T., Ph.D. yang diselenggarakan oleh ITMAM bekerjasama dengan Kalbar Membaca (Sabtu, 29 Juni 2024/22 Dzulhijjah 1445 H).

[1] Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang bagaimana seseorang mengetahui sesuatu. Di dalamnya dibahaslah definisi ilmu, sumber-sumbernya, cara memperolehnya, keabsahan (validitas)-nya, jenis-jenisnya, dan seterusnya.

[2] Empirisisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat Barat yang terlalu menekankan bahwa sumber ilmu berasal dari pengalaman inderawi, dibantu oleh akal-rasional, sembari mengecilkan peran wahyu dan intuisi dalam memperoleh ilmu. Untuk lebih jelasnya lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, 2019, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Kuala Lumpur: Ta’dib International).

[3] Kabar yang benar (Khabar shādiq) dalam epistemologi Islam terbagi menjadi dua: kabar mutawatir dan kabar dari Rasul yang diperkuat dengan mukjizat. Contohnya seperti al-Quran dan Hadits. Lebih lanjut lihat Umar An-Nasafi dalam ‘Aqāid An-Nasafiyyah

--

--