Kecerdasan Buatan, Kawan atau Lawan?

Studia Humanika
Studia Humanika
Published in
3 min readJul 15, 2024
Halaman muka ChatGPT. Dengan memasukan pertanyaan atau perintah pada kotak di bawah, ia akan melayani sang pengguna dengan segenap kemampuannya (sumber: tangkapan layar pribadi)

Belakangan ini beberapa kalangan akademisi — siswa, mahasiswa, bahkan guru dan dosen, sudah sangat familier dengan ChatGPT. Ia merupakan sebuah artificial intellegence atau kecerdasan buatan yang dapat menjawab berbagai macam pertanyaan dengan cukup memuaskan, bahkan caranya menjawab tidak seperti hasil jawaban dari mesin. Pada awal keberadannya, tentu memunculkan berbagai macam respon dari masyarakat. Ada yang menyambutnya dengan antusiasme dan merayakannya sebagai salah satu pencapaian tinggi umat manusia. Namun ada juga yang khawatir dan bahkan menganggapnya sebagai ancaman dengan berkembangnya artificial intellegence.

Lantas, apa itu artificial intellegent atau AI ini? Kita bisa lihat dari akar katanya. Kata intellegent atau kecerdasan yang merupakan kata benda dan diiringi dengan artificial atau buatan yang merupakan kata sifat. Selama ini, kecerdasan dianggap sebagai suatu atribut khusus bagi manusia — bahkan ada yang berpendapat bahwa hanya manusialah yang mempunyai kecerdasan atau akal. Namun, adanya kecerdasan buatan ini seakan-akan seperti memunculkan tandingan bagi manusia — entitas yang seakan memiliki akal seperti manusia, mampu berkomunikasi dengan interaktif, dan bahkan piawai dalam merangkai kata-kata.

AI juga memiliki kemampuan generatif — di mana berdasarkan data yang tersedia dan dapat diaksesnya, ia bisa menyusun hal-hal baru seperti contoh surat, naskah pidato, bahkan hal yang sifatnya artistik seperti puisi dan prosa. Misal ketika kita meminta untuk dibuatkan puisi modern mengenai langit, maka AI akan mengumpulkan informasi data mengenai puisi tentang langit dari berbagai sumber dan melakukan sintesa sehingga ia menciptakan hal yang baru. Padahal, yang dilakukan oleh AI hanyalah mengambil data dari jagad maya dan meramunya sedemikian sehingga tampak menjadi sebuah karya baru.

Ilustrasi dari cara kerja AI oleh Imam Fathoni (sumber: https://www.vecteezy.com/vector-art/1879461-artificial-intelligence-for-problem-solving-artificial-brain-network-system-intelligence-technology-for-question-n-answer-ideas-completing-task-promotion-business-card-banner-brochure-flyer)

Selain atribut kecerdasannya, perlu digaris bawahi karakteristik dari komponen buatannya. Ketika dicantumkan kata buatan maka hal tersebut artinya sudah didesain sedemikian rupa untuk tujuan atau melakukan sesuatu — apakah untuk mengumpulkan informasi atau melakukan analisa prediktif. Maka jika kita meminta AI untuk melakukan sesuatu yang bukan tujuan dari kecerdasan buatan itu diciptakan atau data yang tidak bisa diakses, maka bisa jadi akan menimbulkan error atau kesalahan. Karenanya, meski AI memiliki kemampuan untuk belajar seperti manusia, ia tetap dibatasi oleh bahasa-bahasa pemrograman, akses menuju sumber data, dan perlu untuk selalu dilatih untuk menyelesaikan tugasnya.

Menilik dari uraian di atas, AI tampak seperti pedang bermata dua, dengan potensi sebagai peluang atau ancaman yang hampir sebanding. Narasi-narasi bagaimana AI dapat mengerjakan hal-hal yang dapat dilakukan oleh manusia sampai berujung kepada terancamnya SDM, merupakan suatu ancaman yang nampak niscaya. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa pekerjaan, sudah mulai digantikan oleh mesin dan AI yang merupakan dampak dari berkembangnya teknologi demi efisiensi hasil. Hal ini bukan kali pertama terjadi, dan akan terus berulang pada setiap tahapan revolusi industri.

Padahal, kita tidak perlu berkecil hati. Jika kita meninjau kembali mengenai AI ada beberapa hal yang masih belum bisa dieksplor oleh AI, di antaranya adalah kreativitas dan finesee. Di tengah maraknya penggunaan AI dalam membuat berbagai infografis dan ilustrasi, masih banyak orang yang memilih untuk tetap mengandalkan para profesional yang ahli dalam bidang ini. Alasannya cukup sederhana — apa yang dihasilkan AI masih belum bisa memberikan kehalusan layaknya hasil karya seorang manusia dengan kecerdasan organiknya. Bidang lainnya adalah pada bidang kesehatan — sampai saat ini, dengan batasan etika yang ada, AI masih tidak bisa mengambil peran dokter, perawat, farmasis, psikolog, dan tenaga kesehatan lainnya yang merupakan salah satu penyokong dalam kehidupan khalayak ramai.

A adalah lukisan buatan seniman sementara B adalah buatan AI. Sepintas terlihat normal dan alami, namun bagi orang-orang yang paham akan seni, gambar B nampak terlalu acak (random), dengan komposisi yang tidak jelas, serta nirmakna. (sumber: https://www.tidio.com/blog/ai-test/#quiz)

Seperti pengaplikasian ilmu pada umumnya, AI akan memiliki nilai sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penggunanya. Menentukan apakah ia akan menjadi kawan atau lawan sering berjalannya waktu, akan diputuskan oleh manusia itu sendiri sebagai dalang di balik semua perkembangan dan pemanfaatan teknologi yang tak akan pernah statis.

Penulis: Aryo Bima F. (Staf Badan Pengkajian dan Penerbitan Salman ITB)

--

--

Studia Humanika
Studia Humanika

Intellectual Discovery & Discussion 🌙📚✨ Explore Islam among deep philosophical discussions and community. Join us on this intellectual journey!