Mendudukkan Perkawinan Beda Agama pada Tempatnya*)

azrul kiromil
Studia Humanika
Published in
8 min readDec 1, 2023
Buku Nikah (Ilustrasi) (Sumber: jawapos.com)

Oleh: Azrul Kiromil Enri Auni

Isu seputar perkawinan beda agama (selanjutnya disingkat PBA) di Indonesia dalam kurun 6 bulan terakhir mencuat cukup intens. Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengabulkan permohonan PBA pasangan RA dan EDS (https://www.bbc.com/, 23/06/2022). Perkawinan tersebut awalnya hendak dicatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), namun ditolak, sebelum akhirnya diajukan ke PN Surabaya untuk diberi putusan.

Diterimanya permohonan PBA tersebut oleh hakim yang bersangkutan di antaranya karena (1) Undang-Undang Perkawinan (UUP) tidak mengatur PBA dan (2) setiap orang berhak mempertahankan agamanya. Di Semarang PBA juga terjadi antara pria Katolik dengan seorang Muslimah (05/03); di Pontianak antara seorang pria Muslim dengan wanita Katolik (17/03) terkait pencatatan PBA; di Katedral Jakarta antara wanita Muslimah yang dikenal sebagai Stafsus Presiden dengan pria Katolik (18/03). Hingga artikel ini ditulis, (pencatatan) PBA terjadi setidaknya empat kali.

Fenomena tersebut memperoleh momentumnya ketika di waktu yang bersamaan uji materi UUP sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak Februari 2022 (https://www.mkri.id/, 17/03/2022). Uji materi dilakukan menyangkut pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 8 huruf f yang diajukan seorang pria Katolik bernama Ramos sebagai pemohon — yang gagal menikahi seorang Muslimah karena terbentur UUP. Sebelumnya, UUP juga pernah digugat terkait pasal 2 ayat (1) yang berujung penolakan dari MK (https://www.bbc.com/, 18/06/2015). Karena PBA menjadi isu krusial dan UUP menempati posisi sentral dalam regulasi perkawinan, tulisan ini akan banyak membahas seputar PBA dalam kaitannya dengan uji materi UUP.

Pandangan-Pandangan

Inti dari gugatan dalam uji materi UUP tersebut ialah bahwa pelarangan terhadap PBA dalam pasal 2 ayat (1) menggerus hak seseorang untuk beragama dan menikah dengan pasangan yang beda agama. Alasannya, menurut Ni Komang Tari sebagai kuasa hukum Ramos, bila pemohon hendak melangsungkan perkawinan ia harus masuk Islam dulu. Implikasinya, pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam beragama. Pemohon juga tidak punya kemerdekaan untuk melangsungkan keturunan dan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas. Dikutip dari CNN Indonesia (07/02/2022), pemohon juga mempertanyakan kriteria pelarangan PBA mengingat tidak ada kesamaan pendapat di antara para ahli hukum agama dan hukum negara.

Alasan lain juga dikemukakan Asima, kuasa hukum lainnya. Ia menyampaikan bahwa meskipun negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan berarti negara berlandaskan ajaran agama tertentu. Sebab, kemerdekaan beragama seorang warga negara menjadi hak tanpa kecuali. Karenanya, pemohon menyampaikan agar permasalahan agama dan negara dipisahkan; intervensi negara dalam urusan agama sebatas administrasi yang berhubungan dengan sarana dan prasarana, tidak turut mencampuri ibadah agama. Pemohon kemudian mengusulkan tambahan ayat pada pasal 2 yang intinya PBA dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan kehendak bebas mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan.

Gedung Mahkamah Konstitusi (Sumber: beritasatu.com)

Dukungan muncul dari Koran Tempo. Berdasarkan thread-nya di Twitter (24/06). Setidaknya ada dua poin penting yang diutarakan menyangkut (pencatatan) PBA, khususnya mengenai UUP. Pertama, keyakinan dan ritual agama tak bisa membatasi hak privat seseorang untuk membangun keluarga. Kedua, pernikahan adalah soal keperdataan, tidak sepatutnya diatur berdasarkan agama. Alasan tersebut menjadi dasar bagi Tempo dalam menilai “pentingnya melindungi hak warga yang membutuhkan pencatatan atas pernikahan beda agama.” Ditambah lagi, pencatatan tersebut semakin relevan karena uji materi UUP sedang bergulir di MK. Senada dengan itu, Bivitri Susanti, seorang Pakar Hukum Tata Negara, menyatakan bahwa hukum agama diserahkan pada masing-masing pasangan; negara hanya mengatur perihal keperdataan. Atas dasar itulah Bivitri mengapresiasi uji materi UU tersebut (merdeka.com, 08/02/2022).

Dukungan terhadap PBA, baik melalui uji materi UUP hingga putusan PBA oleh PN Surabaya, mendapat kritik keras. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam persidangan di MK (www.mkri.id/, 15/06/2022) menyebutkan ketentuan di pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 8 huruf f bersifat konstitusional. Dalam pandangannya, MUI menyatakan perkawinan tidak sekadar hukum keperdataan, tapi juga hukum agama.

Terkait hak asasi manusia (HAM) sebagai landasan gugatan pemohon, MUI menyampaikan bahwa HAM yang dianut Indonesia bukanlah HAM yang sebebas-bebasnya. Negara mengatur perkawinan semata-mata untuk menghormati hukum agama. Dalam kasus pencatatan PBA di Surabaya, Amirsyah selaku Sekretaris Jenderal MUI menyayangkan keputusan PN Surabaya karena bertentangan dengan UUP dalam pasal 2 ayat (1).

Inti dari pandangan yang mendukung upaya legalisasi PBA di atas setidaknya ada dua poin. Pertama, pengakuan atas hak dan kebebasan individu untuk melangsungkan perkawinan dan melanjutkan keturunan tanpa pertimbangan agama. Kedua, pemisahan agama dan negara dalam urusan perkawinan. Kritik terhadap PBA juga berkisar pada dua poin tersebut. Kedua poin itu bermuara pada pertemuan dua pandangan berbeda dalam membincangkan isu perkawinan: antara pandangan agama dengan hak (dan kebebasan) individu. Di sinilah negara perlu turut berperan. Namun, sejauh mana negara harus berperan? Seberapa leluasakah hukum agama terkait perkawinan diterapkan dan sebebas apakah individu berhak atas haknya?

Mendudukkan Perkawinan

Kita dudukkan dulu apa maksud dari PBA, dan bagaimana agama (Islam) memandangnya. Meskipun mungkin di agama lain membolehkan PBA secara mutlak, Islam tidaklah demikian; terdapat perincian status PBA. PBA antara wanita muslimah dengan laki-laki musyrik (di luar ahli kitab) diharamkan, dan sebaliknya; PBA antara wanita muslimah dengan laki-laki ahli kitab (dari kalangan Yahudi dan Nasrani) diharamkan; terkait PBA antara muslim laki-laki dengan wanita ahli kitab, para ulama berbeda pendapat. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Muhammadiyah melalui website Fatwa Tarjih (fatwatarjih.or.id/, 17/02/2020) dengan merujuk pada keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989. Meskipun terdapat beda pendapat soal status PBA muslim laki-laki dan wanita ahli kitab, Muhammadiyah berpandangan mengharamkan PBA tersebut karena ahli kitab masa sekarang tidak sama dengan ahli kitab di masa Rasulullah.

MUI pula telah mengeluarkan fatwa PBA (№4/MUNAS VII/MUI/8/2005) yang menyatakan secara jelas bahwa PBA adalah haram dan tidak sah; PBA antara muslim dengan wanita ahli kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah. Di samping pertimbangan al-Quran dan Hadits, MUI juga mendasari fatwanya pada kaidah Fiqh, “dar’ul-masafid muqaddamun ‘ala jalbil-mashalih” (‘mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemanfaatan’).

NU dengan fatwanya yang ditetapkan di Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989 juga menyatakan PBA di Indonesia tidak sah. Sikap yang sama disampaikan pula oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang saat ini secara resmi mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam sidang gugatan UUP di MK (https://mediadakwah.id/, 22/06/2022).

Dari pandangan MUI hingga ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan DDII, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana hukum PBA dalam Islam. Meskipun terdapat perincian status PBA yang menyisakan perbedaan pendapat ulama terhadap satu kategori PBA (muslim dengan wanita dari ahli kitab), baik dari MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, mereka bersepakat (ijma’) bahwa PBA, apapun kategorinya, hukumnya haram; konsekuensinya, PBA dihitung sebagai zina, berpengaruh pada hak waris. Dalam Islam, pendapat ijma’ memiliki kedudukan kebenaran yang pasti sehingga tidak dapat diganggu gugat. Upaya legalisasi PBA dengan sendirinya tidak relevan jika ditujukan kepada Islam.

Pendapat bahwa pemohon kehilangan kebebasan beragama perlu didudukkan. Memang, UUD 1945 menjamin hak dan kebebasan beragama seseorang dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2)), membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 28B), dan sebagainya. Tapi, hak dan kebebasan memiliki batasan yang ditetapkan UU sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum (Pasal 28J ayat (2)). Dalih pemohon tersebut justru mengesampingkan fakta yang berlaku dalam Islam mengenai perkawinan sehingga pemohon dengan jelas mengabaikan ketentuan dalam Pasal 28J ayat (2) tersebut — itu jika pemohon hendak menikahi wanita Muslimah. Semestinya pemohon bersikap objektif dalam arti melihat Islam apa adanya perihal perkawinan; tidak bisa sebatas kehendak bebas.

Antara satu agama dengan agama lain memiliki tata aturan dan kriteria yang berbeda, termasuk dalam hal perkawinan. Perihal PBA, kita perlu melihat bagaimana agama terkait mengatur hal itu. Dalam Islam, karena pengharaman PBA sudah jelas, itu saja sudah menunjukkan bahwa pengaturan PBA oleh negara tidak bisa dipukul rata untuk semua agama atas nama kehendak bebas. Pasal 2 ayat (1) — termasuk pasal 8 huruf (f) dalam UUP sudah tepat mengingat setiap agama memiliki ajarannya sendiri mengenai perkawinan, sehingga tugas negara dalam hal ini adalah menjamin keberlangsungan ajaran tersebut.

Jika pertanyaannya adalah apa kriteria pelarangan warga negara untuk PBA, jawabannya dikembalikan pada agama masing-masing, bukan pada individu atas nama kehendak bebas. Dengan sendirinya di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu tidak ada perkawinan, sebagaimana termaktub di dalam Penjelasan atas UUP.

Memandang perkawinan sebatas hukum perdata menunjukkan adanya desakralisasi nilai-nilai (deconsecration of values) yang merupakan salah satu bentuk sekularisasi, sebagaimana Syed Muhammad Naquib al-Attas sebutkan dalam karyanya Islam dan Sekularisme yang beliau kutip dari The Secular City karya Harvey Cox. Al-Attas menyebutkan bahwa konsekuensi dari deconsectration of values ialah memandang setiap sistem nilai yang menjadi pedoman hidup, termasuk agama dan pandangan alam, bersifat realtif; relativisme nilai tersebut mengharuskan sikap ‘kedewasaan’; karenanya sekularisasi juga merupakan ‘evolusi’ kesadaran manusia menuju kedewasaan, melepaskan diri dari bergantung pada masyarakat, termasuk melepaskan diri dari agama dan metafisika serta menempatkan manusia pada tempat tersendiri. Padahal, negara kita berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa; bahkan Moh. Hatta, seperti disampaikan Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa, memandang Ketuhanan Yang Maha Esa ialah sila pokok dan terpenting yang mendasari sila-sila di bawahnya dalam Pancasila.

Jadi, berbicara nilai kemanusiaan perlu berdasarkan nilai Ketuhanan. Karenanya setiap aktivitas manusia merujuk pada nilai Ketuhanan. Agar nilai Ketuhanan itu terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, perlulah agama. Setiap aktivitas manusia mengacu pada ketentuan dan kaidah-kaidah agama, yang berlandaskan iman, termasuk soal perkawinan, dan karenanya bernilai ibadah; agama sudah menjadi pandangan hidup kita.

Setiap aspek kehidupan muslim mengandung dimensi etis yang bersumber dari agamanya. Dikatakan berdimensi etis karena hidup mesti berdasarkan pertimbangan baik dan buruk. Terlebih dalam Islam perkawinan mengandung keutamaan-keutamaan (virtues) dan bernilai ibadah, menjadikan perkawinan sangat sakral. Peran negara ialah menjamin ajaran tersebut berjalan dengan semestinya, dan itu sudah termaktub dalam UUP. Bilamana agama lain memang mengatur PBA secara jelas, silakan. Tapi ketika bersinggungan dengan seorang muslim, ia perlu merujuk pada agama Islam.

Pada akhirnya, kita harus bersikap proporsional dalam memandang hak dan kebebasan, mendudukkan perkara pada tempatnya. Hak dan kebebasan jika tidak dipandu oleh agama malah akan merugikan dan merusak dirinya sendiri. Memandang perkawinan sebatas keperdataan semata menunjukkan — secara sadar ataupun tidak — sikap mengamini sekularisasi. Padahal, negara kita berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan, tidak bisa tidak, perlu merujuk pada agama. Dalam kasus PBA, masing-masing agama memiliki aturan yang berbeda; karenanya, sikap toleran dan objektif diperlukan di sini.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

*) Tulisan ini diunggah di laman facebook pribadi penulis pada 15 Juli 2022, ditulis dalam konteks isu perkawinan beda agama yang sempat mencuat sepanjang tahun 2022. Di tengah kehangatan isu tersebut, ada yang mengajukan gugatan aturan perkawinan di Indonesia lewat uji materil UU №1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun dilatarbelakangi oleh konteks tersebut, tulisan ini masih relevan mengingat ada sekalangan orang yang masih mendukung dan berupaya melegalkan perkawinan beda agama di tengah iklim masyarakat Indonesia yang religius, apalagi UU Perkawinan melarang praktik perkawinan tersebut.

--

--