Menjadi Generalis atau Spesialis

Apakah Menjadi Suatu Pilihan Mutlak?

Daffa R Farandi
Studia Humanika
6 min readNov 14, 2023

--

Ini merupakan tulisan yang ingin kupublikasikan ulang setelah dulu dipublikasikan di website PSIK.

Guru sejarah di banyak sekolah seringkali menjelaskan kehidupan intelektual yang sangat menarik terjadi di zaman abad pertengahan kebelakang dan zaman pencerahan. Pasalnya, walaupun teknologi belum berkembang pesat dan banyak kesulitan yang harus ditempuh, seharusnya kondisi tersebut menjadikan zaman tersebut gelap akan ilmu pengetahuan. Tetapi fakta tak berkata demikian, karena manusia di zaman itu justru menjadi pencetus awal perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta menjadi teladan para ilmuwan di masa kini.

Kaidah logika, cara berpikir, dan berbagai teori bermunculan saling mengisi satu sama lain sejalan dengan tiap lini kehidupan yang berusaha diinterpretasikan dan dipecahkan teka tekinya. Hal ini didapat dengan bekal rasa ingin tahu yang tinggi atas pengamatan fenomena di alam semesta.

Studia Humanika (2023)

Para pendahulu mempelajari alam semesta berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan dalam kehidupan. Pintu eksplorasi terbuka luas tanpa adanya perspektif yang menghalangi atau menakuti seseorang untuk mempelajarinya. Tujuannya untuk menentukan sikap pribadi, mengembangkan empati, memecahkan problematika lain dan mengolah pikiran pribadi. Maka wajar apabila seorang filsuf adalah orator dan birokrat, seorang ulama adalah dokter dan fisikawan, dan seorang matematikawan adalah ahli tafsir pada zamannya.

Penulis tidak akan menyampaikan sepak terjang para ilmuwan seperti Aristoteles, Socrates, Al Khawarizimi, Newton, dsb. Pada intinya adalah menjadi hal yang menarik ketika seseorang mampu menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan tanpa adanya batasan-batasan perspektif tertentu seperti yang umum terjadi hari ini. Hal ini bermanfaat agar setiap orang memiliki kapabilitas untuk menanggapi pengetahuan yang datang dan memvalidasi dengan informasi-informasi asing yang belum teruji kebenarannya.

Studia Humanika (2023)

Suatu hal ironis yang terjadi adalah seiring perkembangan teknologi yang memudahkan manusia dalam akuisisi ilmu pengetahuan serta akses berbagai jejak para penemu dan ilmuwan terdahulu, hal tersebut justru jarang memunculkan hal yang serupa ataupun melebihi mereka dalam penguasaan disiplin ilmu pengetahuan. Dewasa ini, jarang sekali ditemui manusia yang menguasai bermacam-macam disiplin ilmu pengetahuan sekaligus.

Hasil proses akademik yang bermunculan saat ini adalah pakar, profesional, atau ilmuwan yang ahli dan terfokus pada satu disiplin ilmu. Tak jarang pula beberapa pakar cenderung abai terhadap disiplin ilmu lainnya. Salah satu paradigma yang tersebar luas mengenai isu ini adalah menyebarnya argumentasi tidak perlu mempelajari ilmu A apabila ingin mendalami ilmu B yang didasari beberapa kepentingan seperti cita-cita, profesi, dan lainnya.

Sebagai contoh, apabila ingin menjadi seorang dokter maka pelajarilah ilmu sains dan biologi. Paradigma tersebut menjadi alasan bahwa mempelajari hal- hal yang tak berkaitan adalah suatu kesia-siaan belaka yang menghalangi proses ketercapaian menuju kepentingan sebelumnya.

Hal ini memunculkan pertanyaan di kalangan para penuntut ilmu yang tertarik dalam mengeksplorasi dirinya mengingat realitas pendidikan formal membawa para siswanya untuk memfokuskan diri pada satu titik, apakah saya harus menjadi seorang generalis atau spesialis?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), generalis adalah orang yang keterampilan atau minatnya mencakupi beberapa bidang yang berbeda. Sedangkan spesialis adalah seorang yang ahli dalam suatu cabang ilmu atau keterampilan. Tentu keduanya memiliki sisi positif dan negatif dalam penerapannya. Sebagai contoh bagi seorang pemain basket profesional yang memfokuskan diri pada cabang tersebut tentu akan mahir dalam bermain bola basket, namun belum tentu mampu memainkan cabang seperti hoki atau bela diri.

Juga bagi seorang yang mempelajari banyak cabang olahraga tentu dapat memainkan cabang-cabang itu dengan baik walaupun tidak memiliki konsistensi dan fokus keterampilan pada satu cabang. Yang menjadi permasalahan utama adalah praktik pendidikan formal memberikan ruang lebih sedikit untuk mempelajari banyak hal dan membawa para pelajar ke satu fokus keterampilan.

Pembahasan mengenai hal ini sudah banyak dipaparkan dan didiskusikan oleh pakar akademisi, psikolog dan para ahli di bidang perencanaan kehidupan. Pembahasan itu justru menimbulkan pertanyaan unik di kalangan akademisi dan kritikus.

Mereka mempertanyakan kembali esensi dari klasifikasi tersebut apakah perlu mengklasifikasikan pelajar menjadi dua hal tersebut? Apakah perlu bagi kita menjadi seorang generalis atau spesialis?

Dan mengapa pertanyaan tersebut justru muncul di zaman ketika pengetahuan sudah berkembang, bukan di zaman sepak terjang pengembaraan memperoleh pengetahuan itu sendiri? Haruskah memilih menjadi spesialis atau generalis. Pembahasan tersebut menjadi menarik karena pada akhirnya akan terungkap alasan sebenarnya kemunculan dari dua pilihan ini.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu adanya pemahaman mengenai kebutuhan dan perkembangan zaman serta kondisi dan sejarah pendidikan. Martin Suryajaya, seorang penulis filsafat yang juga kritikus sastra, menjelaskan hal ini dalam video yang beliau unggah di kanal youtube miliknya.

Studia Humanika (2023)

Tentu kita memahami bahwa manusia berada di zaman pesatnya perkembangan industri dan teknologi guna memenuhi kebutuhan produksi, serta pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam prosesnya tentu diperlukan banyak faktor, mulai dari sumber daya alam, sumber daya modal, dan sumber daya manusia sebagai eksekutor di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan adanya link and match antara kebutuhan industri dengan kompetensi dari manusia. Hal ini memunculkan paradigma baru dalam dunia pendidikan, yaitu pewarisan ilmu yang dikhususkan untuk kepentingan industrialisasi.

Dalam sektor industri, perusahaan dan stakeholder sangat memahami betapa pentingnya memiliki tenaga-tenaga ahli yang berfokus pada satu bidang dalam rangka peningkatkan kualitas dan kuantitas kinerja industri. Hal ini membuat sistem pendidikan dirombak sedemikian rupa agar manusia memiliki suatu kompetensi teknis dan non-teknis yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan industri di masa depan. Maka tak dapat dipungkiri kenyataan hingga hari ini kurikulum pendidikan disusun berawal dari mempelajari hal-hal umum hingga diarahkan pada berbagai pilihan fokus bidang-bidang tertentu seiring berkembang waktu. Hal ini disebut sebagai linearitas pendidikan.

Namun sayangnya, eksistensi linearitas dan industrialisasi pendidikan justru menimbulkan masalah baru. Salah satu masalahnya adalah ketika manusia memiliki bakat dalam disiplin ilmu A, tetapi hal tersebut tidak menjadi permintaan di sektor industri, sehingga manusia dengan bakat tersebut akan terpinggirkan dan tidak dihargai.

Ilmu tersebut pun akan ditinggalkan dan tak lagi diwarisi karena minimnya manusia yang menekuni hal tersebut. Hal ini dikarenakan linearitas pendidikan mempersempit makna dari pendidikan secara umum.

Bila melihat kembali sejarah pesatnya perkembangan pengetahuan, maka seharusnya pendidikan ada untuk melatih manusia dalam menentukan sikap dan pemikiran dalam kehidupan, serta melatih rasa untuk memahami hal-hal di luar diri manusia. Pendidikan seharusnya berprinsip kebebasan dalam implemetasinya dimana setiap manusia dapat mengeksplorasi tanpa ada batasan tertentu dan penyelenggara pemerintah dengan segala upayanya harus memfasilitasi hal tersebut.

Masalah lainnya adalah pertanyaan yang sebelumnya dibahas, apakah harus menjadi spesialis atau generalis? Pertanyaan seperti ini secara tidak langsung menciptakan dikotomi baru dalam pendalaman ilmu pengetahuan. Maka pada hakikatnya, dikotomi seperti ini tidaklah diperlukan dalam dunia pendidikan. Apalagi di era perkembangan ilmu yang begitu pesat tersebar dengan bantuan teknologi menjadi pemicu kebangkitan semangat untuk mempelajari banyak hal.

Adanya dikotomi seperti itu justru akan menjadi perspektif yang menghalangi manusia dalam menyelami pengetahuan. Menjadi suatu masalah besar pula apabila ada paradigma yang membolehkan seseorang untuk abai dan remeh terhadap suatu disiplin ilmu.

Sebagai contoh jumlah mahasiswa jurusan filsafat yang tidak banyak jumlahnya, budaya tradisional yang ditinggalkan sebagian milenial, dsb.

Pada akhirnya yang terbaik adalah generalis yang terus berdampingan dengan spesialis. Menjadi ahli dalam satu disiplin ilmu dengan kiat untuk mempelajari hal-hal lainnya. Dengan demikian manusia memiliki kapabilitas untuk menanggapi pengetahuan yang datang dan memvalidasi dengan informasi-informasi asing yang belum teruji kebenarannya. Selain itu manusia juga dapat memberikan kontribusi unggulan pada satu aspek tertentu. Karena alih-alih memilih ingin menjadi generalis atau spesialis, jalan terbaik adalah mengenali kebutuhan dan prioritas masing-masing yang harus dipenuhi tanpa harus merasa “anti” dengan pengetahuan lain. Maka apabila pengetahuan berperan sebagai objek, pengetahuan seperti apa yang diperlukan untuk memenuhi berbagai macam prioritas dan kompleksitas kebutuhan manusia?

Referensi

Suryajaya, M. (2020, November 17). Diambil December 11, 2020, dari Youtube: https://youtu.be/obczaxOmbPs

--

--

Daffa R Farandi
Studia Humanika

Ketika hati menyeru dan terpancing menggerutu sedang lisan tak mampu mengungkapkan maumu, menulis akan membantumu