Perjalanan Linimasa: Progresif atau Sirkular
Ketika kita belajar sejarah, maka terlihat bahwa peradaban manusia berkembang dan maju seiring berjalannya waktu. Mulai dari zaman purba, di mana manusia pada saat itu kebanyakan digambarkan dengan barbar bahkan tidak beradab — bahkan tidak ubahnya dengan hewan. Lalu manusia berkembang, mulai mengenal tulisan, menciptakan berbagai kerajinan, sampai membangun peradaban-peradaban kuno.
Dari peradaban kuno, sejarah bergerak menuju peradaban yang semakin maju. Para ilmuan populer bermunculan di abad 14–17 di Barat, seperti Nicolaus Copernicus, Galileo Galilei, sampai Isaac Newton. Setelah itu masuk ke masa penemuan-penemuan, masa revolusi industri, sampai ke masa modern dan post-modern kini. Jika kita melihat sejarah sebagai sesuatu yang progresif, maka akan muncul kesimpulan bahwa masa ini merupakan masa yang lebih baik dibandingkan masa lalu. Imbasnya, tak jarang kebanyakan orang menganggap bahwa pemikiran atau ide dari orang-orang di zaman dahulu adalah usang.
Pandangan mengenai sejarah sebagai sesuatu yang progresif dikemukakan salah satunya oleh filsuf dari Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dengan prinsip dialektikanya yang menjelaskan gerak sejarah berdasarkan tesis, antitesis dan sintesis. Prinsip ini secara jelas mengemukakan dinamika sejarah yang digerakkan oleh ide, akan bersifat maju dan berkembang secara terus menerus.
Namun, pandangan Hegel bukanlah satu-satunya pandangan mengenai pergerakan linimasa. Selain dipandang sebagai sesuatu yang progresif, beberapa pemikir juga ada yang memandang sejarah sebagai suatu siklus. Pandangan siklus memandang bahwa sejarah itu bergerak melingkar di mana setiap peristiwa historis akan selalu berulang kembali. Pandangan ini sangat menonjol terutama dalam tradisi masyarakat di Timur, baik yang bersumber dari ajaran-ajaran agama maupun tradisi.
Jika sejarah dipandang sebagai siklus, akan terlihat bahwa tidak ada peradaban yang berkembang atau maju terus menerus. Contohnya peradaban Kekhalifahan Abbasiyah, di mana pada periode kepemimpinan Harun ar-Rasyid hingga kepemimpinan anaknya al-Ma’mun disebutkan menjadi golden age bagi kekhalifahan. Pada periode tersebut, ilmu pengetahuan berkembang dengan Islam sebagai mercusuarnya, penemu-penemu dan cendekiawan Muslim menjadi tokoh kunci perkembangan ilmu pengetahuan di dunia, saat Barat sedang mengalami periode dark age. Di anad ke-13, peradaban ini mengalami kemunduran hingga terjadi kehancuran khalifah Abbasiyah dan jatuhnya kota Baghdad oleh kekaisaran Mongol. Jatuhnya kekhalifahan Abbasiyah sebenarnya diikuti oleh bangkitnya peradaban-peradaban Muslim lain, seperti Turki Usman yang mencapai masa kejayaannya di masa Sulaiman al-Qanuni, namun berakhir di tahun 1924. Bila ditelusur lebih luas, siklus ini juga ditemui di berbagai peradaban-peradaban kuno, baik peradaban Mesir, Yunani, Romawi, China, dan peradaban lainnya. Mereka akan masuk tahapan berkembang, masuk ke masa jaya, dan hancur. Tak ada peradaban kuno yang dapat bertahan sampai saat ini.
Jika melihat dari sudut pandang ini, bisa jadi pemikiran-pemikiran dari orang-orang kuno seperti filsuf-filsuf terdahulu bukanlah pemikiran yang usang dan tidak relevan. Salah satu contohnya adalah stoicism yang sekarang sedang ramai dibahas dan diterapkan oleh banyak orang, yang merupakan isme dari abad ke-3 sebelum masehi. Malah, bisa jadi pemikiran-pemikan dulu itu adalah pemikiran yang lebih maju daripada pemikiran-pemikiran yang ada pada masa ini.
Jadi bagaimana dirimu memandang linimasa? Progresif atau siklus?
Penulis: Aryo Bima F. (Staf Badan Pengkajian dan Penerbitan Salman ITB)