Politik dan Generasi Muda Masa Kini

Studia Humanika
Studia Humanika
Published in
5 min readJun 14, 2024

sebuah catatan dari gelar wicara Forum Studi Kebudayaan dan Studia Humanika “Kebudayaan, Intelektual, dan Kekuasaan dalam Perspektif Anak Muda” bersama Ilham Nugraha, S.Mn., MPA. dan Zamzami Almakki, S.Pd., M.Ds.

Dokumentasi gelar wicara bertajuk ”Kebudayaan, Intelektual, dan Kekuasaan dalam Perspektif Anak Muda” yang menghadirkan Ilham Nugraha, S.Mn., MPA (kiri) dan Zamzami Almakki, S.Pd., M.Ds. (kanan), dimoderatori oleh Vieri M. Naufal, S.T. (tengah)

Politik berasal dari bahasa Yunani kuno, politica (affair of the cities), yaitu bagaimana urusan kota itu dijalankan sehingga cakupannya akan sangat luas. Apa pun yang menyangkut urusan kehidupan bermasyarakat, itulah yang masuk ke dalam bahasan politik.

Sebanyak 22.85% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 adalah generasi Z atau orang yang lahir mulai tahun 1997 hingga 2012, bahkan tahun ini merupakan ajang perdana bagi beberapa generasi Z untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilu. Sementara itu 33.6% atau 66 juta adalah generasi milenial (lahir pada tahun 1980–1996). berdasarkan data di atas, perlu disadari bahwa lebih dari setengah DPT merupakan golongan muda, di mana sebagian besar pemilih ini tidak punya pengalaman politik di masa orde baru, tidak terpapar dengan budaya politik yang lampau, bahkan mungkin lebih awam dengan budaya politik yang baru — dengan media baru dan ekspresi yang baru yang mungkin memengaruhi corak dunia perpolitikan di tahun 2024.

Sayangnya, pemandangan politik 2024 justru tidak menempatkan anak muda dalam posisi yang semestinya. Dari beberapa kali debat capres maupun cawapres, hal yang berkaitan dengan keberlangsungan anak muda justru masih dalam sudut pandang dari orang tua terhadap anak muda, dan kurang berfokus pada nasib generasi penerus selama satu periode mendatang. Dominansi generasi pendahulu masih lebih kuat dibandingkan aspirasi anak muda untuk diserap dan dijadikan dasar dari kebijakan untuk lima tahun ke depan.

Secara visual, secara bersamaan terjadi peremajaan sekaligus pengkarbitan: ada yang tua dimudakan, yang muda dituakan, dilengkapi dengan penjenamaan kekinian dengan menggunakan berbagai media seni digital. Paradoksnya, meski pemilihnya kebanyakan adalahmilenial dan gen Z, masih banyak baliho bertebaran dan masih dianggap sukses membawa informasi keberadaan seseorang, padahal sudah sering sekali baliho-baliho ini menyebabkan banyak masalah — menghalangi jalan, mudah rusak, berpotensi menjadi sampah lainnya. Apalagi, generasi Z merupakan angkatan native digital yang lebih gemar bergulir di media sosial. Alhasil, gap ini kemudian diambil oleh anak muda yang kemudian membuat berbagai akun tidak resmi (fanbase, unoffical account) yang memaparkan visi, misi, serta tujuan dengan kemasan yang lebih menarik, sebelum kemudian menyambungkan para warganet ke akun resmi milik para calon pemimpin maupun perwakilan rakyat dan partainya.

Tangkap layar dari situs bijakdemokrasi.id , salah satu situs yang menghimpun informasi lengkap saat Pilpres, Pileg, maupun Pilkada 2024. Situs ini ditargetkan bagi generasi muda yang menjadi bagian penting dari pesta demokrasi Indonesia, agar dapat menggunakan hak politiknya secara bijak.

Namun, pemuda yang aktif seperi itu hanya segelintir saja. Kebanyakan golongan muda memilih abai karena sebuah adagium: siapa pun yang terpilih, siapa pun politisinya hidup saya begini-begini saja, padahal cara pandang ini salah. Mereka tidak banyak yang berani bertanya dan menagih janji. Mereka dibuat untuk tidak tertarik akan politik oleh lingkungan sekitar, ragu untuk berbicara soal politik — mau politik praktis, politik elektoral ataupun politik secara umum. Sebabnya adalah karena seakan-akan ada self-censorship yang membatasi diri membahas politik dan tidak merasa politik mempengaruhi kehidupan sehari-harinya sehingga tidak ada ketertarikan untuk memasukkan politik dalam. Imbasnya, pada saat para pemuda ini harus berperan, mereka tidak tahu harus berperan seperti apa: apakah harus jadi timses, me-repost, retweet; apakah perlu untuk berani; apakah boleh untuk menyampaikan opini tanpa gentar, karena banyak contoh ketika berani bisa tercekal, terkena sanksi sosial, atau bahkan tanpa sadar terjerat UU ITE.

Ada juga andil media massa dalam hal turunnya keaktifan golongan muda dalam politik. Media massa memotong kekritisan anak muda secara acak, misalnya pada acara demonstrasi mahasiswa. Anak muda biasanya ikut-ikutan dulu. Ketika mahasiswa demo, media menanyai peserta bagian belakang, yang biasanya adalah mahasiswa yang baru pertama kali ikut demo. Wawancara media massa harusnya dengan demonstran di barisan depan, bukan yang paling belakang. Akhirnya terbentuk opini bahwa demo tidak penting.

Karena sedikit orang yang ingin berpolitik, muncul tokenisme politik/tokenisme kepemudaan dan muncul pemuda yang dituakan dan hanya elit saja yang muncul dan aktif dalam ranah politik. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di UN Youth Forum. Yang terjadi kemudian adalah orang yang mestinya terwakili jadi tidak terwakili karena pemuda-pemuda yang mewakili adalah pemuda-pemuda elit yang mungkin dari permasalahan akar rumput. Banyak gerakan kepemudaan yang awalnya ingin inklusi, tapi yang muncul yang di atasnya saja. Ketika dikritik supaya tidak mereka terus yang muncul, orang yang mengkritik dipinggirkan.

Sejumlah mahasiswa mengunjuk rasa di Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (8/2/2024). Mahasiswa sebagai golongan muda yang terpelajar memiliki tugas sebagai Agent of Change, dan diharapkan untuk selalu berpartisipasi aktif sebagai pengamat kebijakan pemerintah (sumber: KOMPAS.com/XENA OLIVIA https://www.kompas.com/tren/read/2024/02/09/150000765/deretan-aksi-demo-mahasiswa-terkait-sikap-jokowi-jelang-pemilu-2024?page=all#google_vignette )

Pemuda pada akhirnya hanya dijadikan token, dinina-bobokan dengan berbagai konten hiburan, dan mudah saja bagi politisi yang menginginkan suara mereka untuk membuat citra yang sesuai dengan algoritma kegemaran para pemilih naif tersebut. Bila memperhatikan diskusi kalangan elit kampus atau mahasiswa, ternyata politik juga sudah jarang menjadi ajang pembicaraan — karena toh, tidak relevan dengan dunia kerja yang akan mereka hadapi kelak. Namun begitu ada gelombang pemutusan hubungan kerja, anak-anak muda ini baru menyadari bahwa undang-undang yang seharusnya melindungi mereka ternyata tidak melindungi mereka. Mereka baru menyadari mengapa tidak diajarkan berpolitik.

Anak muda susah disadarkan karena selalu dalam konteks hipotetikal, padahal politik itu tidak sekedar hipotesis — politik itu nyata di depan kita.

Agaknya sulit untuk menyamai negara lain seperti Amerika di mana masih ada banyak pemuda yang melek politik, bahkan maju sebagai pemimpin daerah di usia belia setelah memberikan dampak baik bagi wilayahnya. Namun, kita bisa mulai dari berhenti men-depolitisasi pemuda. Politik itu tidak tabu, tidak dosa, politik itu justru melekat pada diri kita.

“Beranilah berpolitik. Kalau kita berani, tekanan dari atas pun juga mungkin tidak berani menekan yang berani!”

— Ilham Nugraha, S.Mn., MPA.

Rekaman gelar wicara ini selengkapnya dapat disaksikan di kanal Youtube Masjid Salman ITB pada tautan berikut:

https://www.youtube.com/live/U1x3MTS_ZYI

--

--

Studia Humanika
Studia Humanika

Intellectual Discovery & Discussion 🌙📚✨ Explore Islam among deep philosophical discussions and community. Join us on this intellectual journey!