1998 Belum Selesai: Ketimpangan Hukum, Kerusuhan Papua, dan Kemarahan di Jalanan

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
12 min readOct 18, 2019

Oleh Jiahui Zeng; Diterjemahkan oleh Dinda Farkhannisa dan Fitrya Ramadhani

Ilustrasi oleh Nafiza Rosa

ekniM

Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 23 dan 24 September, demonstrasi terbesar setelah yang terjadi di 1998 kembali dilakukan di penjuru Indonesia. Demonstrasi ini diprakarsai oleh mahasiswa. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya dan Banda Aceh, setidaknya ada puluhan ribu orang melakukan aksi turun ke jalan, hingga menyebabkan konflik dengan aparat kepolisian. Polisi menggunakan meriam air dan gas air mata untuk mencoba membubarkan massa aksi. Bahkan di Sulawesi Selatan, dua siswa tewas akibat konflik tersebut.

Dalam demonstrasi ini, para mahasiswa mengajukan 7 tuntutan. Menurut yang dituliskan Jakarta Post ada tujuh tuntutan dalam aksi mahasiswa ini. Tuntutan pertama adalah penolakan terhadap revisi UU KUHP, UU Minerba, UU Pertanahan, UU Permasyarakatan, UU Ketenagakerjaan, UU KPK, UU Sumber Daya Alam, juga menuntut pengesahan terhadap UU Penghapusan Kekerasan Seksual dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga;

Kedua adalah menghentikan para petinggi KPK yang bermasalah pilihan DPR. Ketiga adalah larangan bagi TNI dan Polri untuk mengisi jabatan sipil. Keempat adalah mengakhiri operasi militer di Papua juga daerah lain dan segera membebaskan semua tahanan politik. Kelima adalah mengakhiri kriminalisasi terhadap para aktivis.

Keenam adalah segera memadamkan kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra, juga mengambil tindakan untuk mencabut izin dan menghukum perusahaan yang bertanggung jawab. Tuntutan yang terakhir adalah menangani kasus dan mengadili pelanggar HAM dengan efektif, termasuk jika pelakunya adalah pejabat tinggi pemerintah, begitu pula segera memulihkan hak-hak korban.

Para mahasiswa meneriakkan jargon-jargon, meminta agar Presiden Joko Widodo bertemu dengan publik dan menanggapi tuntutan secara langsung. Namun, mahasiswa menolak undangan Presiden Jokowi untuk berdialog jika dilakukan secara tertutup.

Ketujuh tuntutan yang diajukan mencerminkan beragam situasi politik di Indonesia saat ini. Undang-Undang tentang tindakan seks di luar nikah memang telah menarik banyak perhatian, tetapi tuntutan yang diajukan mahasiswa lebih dari sekadar itu. Jargon “kami muak” adalah ungkapan mahasiswa pada sekelompok elite politik yang kabur dari esensi peranannya. Menurut pandangan Andreas Harsono dari Human Rights Watch, demonstrasi ini datang dari masalah yang terus-menerus terjadi sehingga serikat petani dan organisasi masyarakat adat juga memegang peranan yang penting di dalamnya.

Warisan 1998: Generasi Kuat dan Canggung

Sebelum 1998, semua masalah sosial politik di Indonesia merujuk pada satu musuh. Semua orang yang maju di depan Soeharto akan berhasil, pemerintah totaliter yang terus berusaha menyatukan oposisi yang terpecah. Selama 32 tahun (1966–1998) dalam pemerintahannya yang disebut dengan Orde Baru, Soeharto telah mengikis negara ini dari tulangnya.

Seorang wartawan Indonesia-Australia David Jenkins setelah mengamati dalam waktu yang panjang menyebutkan dalam sebuah buku yang berjudul Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics bahwa “era Soeharto menggunakan teror dan ekspansi untuk memastikan bahwa negara berada di tangan pihak yang berwenang.” Pemerintah menggunakan komunisme sebagai target untuk mengonsolidasi dua pilar rezim: teror dan pembangunan.

Dalam prosesnya, Indonesia membentuk struktur politik yang melibatkan militer dalam aturannya. Tentara terus mengklaim sebagai bagian dari pemerintah, karena telah memberikan kontribusi besar dalam mempertahankan integritas nasional dan memerangi separatisme. Polisi bukan lembaga sipil yang independen, tetapi merupakan cabang dari militer yang bertugas menjaga ketertiban — mungkin terutama menjaga ‘tatanan’ dari ‘tatanan baru’ Soeharto. Hubungan kekerabatan yang rumit dibangun oleh militer, polisi, pemerintah, dan komunitas pebisnis. Korupsi yang mengakar, dan birokrasi tiran memberikan kesengsaraan pada rakyat.

Pada saat yang sama di tahun 1990-an, para pemuda kelas menengah yang terpengaruh oleh paham Barat mulai berpartisipasi dalam politik melalui organisasi nonpemerintah. Soeharto tergesa-gesa mundur dari jabatannya pada Mei 1998 saat terjadi kelindan antara krisis ekonomi, protes mahasiswa, dan krisis politik. Jadi gerakan mahasiswa bukanlah penyebab langsung runtuhnya rezim Orde Baru, tetapi semangat demokratis, dan partisipasi aktif dalam politik akan terus menginspirasi generasi mendatang.

Selama demonstrasi baru-baru ini di Jakarta dan Yogyakarta, semua mengenang gerakan mahasiswa di 1998. Pada tanggal 22 September, ketika saya membuka Instagram, saya menemukan hampir semua teman-teman Yogyakarta mengunggah postingan dari sebuah akun anonim yang sama #gejayanmemanggil, dan menuliskan waktu, dan tempat berkumpul untuk demonstrasi. Mobilisasi ini sangat disiplin, spontan, dan sulit dilacak. Gejayan adalah sebuah persimpangan tiga arah di Yogyakarta yang menjadi saksi bentrok antara tentara dan mahasiswa pada Mei 1998 yang menewaskan seorang siswa.

Di sisi lain, tanggal 23 dan 24 September juga bertepatan dengan Tragedi Semanggi II yang terjadi di pusat Kota Jakarta pada 24 September 1999. Saat itu pemerintahan transisi memberikan militer kebebasan untuk menjalankan keadaan darurat nasional sesuai dengan kepentingannya. Dalam peristiwa ini seorang mahasiswa bernama Yun Hap tertembak. Tragedi ini belum diperingati secara luas jika dibandingkan dengan peristiwa penembakan Trisakti yang menjadi ikon gerakan mahasiswa 1998 (saat itu empat mahasiswa menjadi korban tewas tertembak). Peringatan tragedi ini semakin menambah semangat ’98 di hati masyarakat. Di sisi lain, kekecewaan dan kesakitan yang dirasakan oleh generasi aktivis ’98 juga meresapi demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini

Dalam 20 tahun terakhir, tampaknya demokratisasi di Indonesia telah membuat kemajuan besar. Para aktivis di ’98 kini sudah berusia hampir 50 tahun, dan telah menjadi garda depan politik dengan beberapa orang yang telah terpilih sebagai anggota parlemen maupun kepala daerah. Namun, masalah yang ditinggalkan oleh Orde Baru tidak pernah secara sistematis dibersihkan. Selain masalah militer, korupsi, dan struktur oligarki yang ditinggalkan oleh Orde Baru, rezim saat ini juga memiliki lebih banyak masalah antar etnis yang sulit untuk diselesaikan, termasuk yang terjadi di Papua.

Demi mencapai ambisi politik, pemuda generasi ’98 yang dulunya mengangkat poster menentang Orde Baru, kini menggabungkan diri dengan rezim yang tidak dapat melikuidasi dirinya sendiri dari warisan buruk masa lalu. Ketika tentara memasuki Papua dan menembaki rakyat di sana, mereka semua tetap diam, dan keheningan mereka lah yang kini menghancurkan hati para pemuda yang melakukan aksi.

Budiman Sudjatmiko adalah salah satu aktivis mahasiswa yang sangat aktif sebelum, dan sesudah 1998. Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang ia dirikan telah memainkan peran penting dalam mobilisasi gerakan sosial, tetapi ia tidak berhasil dalam pemilihan legislatif pertama (1999) setelah gerakan Reformasi. Pada 2004, Budiman beralih ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP, sekarang partai koalisi rezim yang berkuasa) dengan lebih banyak sumber daya politik ditambah jabatan sebagai anggota parlemen selama 2 periode sejak 2009.

Mengenai isu separatisme Papua, ia mengambil sikap simpatik terhadap masyarakat Papua dengan mengakui adanya kekerasan yang dilakukan tentara di Papua. Ia juga menentang pemahaman kaku pejabat Indonesia dalam memaknai NKRI. Ia berharap akan ada ruang komunikasi, dan meredakan sentimen separatis. Namun, di saat yang sama ia menolak referendum kemerdekaan Papua, karena khawatir Indonesia akan menghadapi ‘balkanisasi’ perang saudara antar etnis. Seolah-olah konsep-konsep multikulturalisme, demokrasi sosial, simpati, semakin sulit untuk kompetibel dengan kondisi sulit untuk di terapkan di Papua masa kini.

Hari ini, meskipun foto Budiman dengan penulis kiri Indonesia Pramoedya Ananta Toer masih tersebar di internet, atau pemikirannya tentang revitalisasi perdesaan Indonesia dan narasi kontra neoliberalisme juga masih ada di situsnya, tetapi dia tidak dapat menyelamatkan citranya sebagai seseorang yang konservatif secara politik di mata publik. Di sisi lain, pandangan politik kirinya tidak bisa menjadi kehendak PDIP sebagai partai besar yang berkuasa. Dilemanya hampir tak terhindarkan.

Pada Juli tahun ini, Presiden Jokowi secara terbuka mengisyaratkan, “Inilah saatnya generasi aktivis ’98 menjabat sebagai menteri!” Penonton bersorak. Aktivis ’98 berbalik menjadi sebuah aset politik yang cemerlang, tetapi juga semakin jauh dari gambaran politik yang dinamis.

Sisi Lain Warisan 1998: Demokrasi di Pusaran Oligarki

Dalam Pemilu Mei tahun ini, untuk kedua kalinya Jokowi mengalahkan Prabowo, seorang mantan jenderal pada era Soeharto yang menggunakan kendaran politik gerakan Islamis. Indonesia kembali dianggap sebagai model untuk transformasi demokratis di negara otoriter Asia Tenggara. Namun, pelenyapan struktural rezim Orde Baru masih tidak berhasil, dan oligarki masih berakar kuat di Indonesia. Selain para pebisnis dari masa Orde Baru yang masih berkuasa, mantan perwira seperti Luhut Binsar Pandjaitan, dan Wiranto juga menjabat sebagai menteri yang posisinya sangat penting di sebelah presiden.

Setelah jatuhnya Soeharto, beberapa presiden setelahnya mencoba untuk menghapus sisa-sisa warisan Orde Baru. Soeharto berkuasa melalui kudeta milliter, dan selama Orde Baru yang ia dirikan, militer diberikan fungsi ganda sebagai pertahanan nasional, dan pemerintahan demi menjaga stabilitas politik sekaligus menerapkan kebijakan pemerintah.

Saat gerakan Reformasi 1998, Prabowo yang juga merupakan mantan menantu Soeharto dipecat dari jabatan militernya oleh presiden transisi saat itu Presiden Habibie, karena akan melakukan pemberontakan. Ketika Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden di 2002, parlemen memutuskan untuk tidak lagi memesan kursi untuk para militer dan polisi. Sejak 2004, militer dan polisi secara resmi dilarang berpartisipasi dalam politik; tidak memilih dan tidak dipilih dalam Pemilu, atau mengisi jabatan sipil.

Larangan tersebut tidak lantas mencegah pejabat militer yang telah menjadi ‘pensiunan tentara’ memasuki ranah politik, bahkan Presiden Jokowi pun terlihat tidak terlalu ingin menghentikan kondisi ini. Contohnya Wiranto sang jendral bintang empat yang pada 1998 membantu Presiden Habibie menangani kasus Prabowo dan berupaya mengurangi intervensi militer dalam politik Indonesia.

Namun, setelah ’98 dan memasuki era Reformasi, Wiranto juga ikut berinvestasi dalam politik. Setelah gagal dalam pencalonannya sebagai wakil presiden, Wiranto pindah ke kubu Jokowi dan saat ini menjabat sebagai Menkopolhukam. Kasus pelanggaran HAM di Timor Leste yang melibatkan dirinya masih belum tersorot dan diadili.

Setelah konferensi pers tanggal 24 September lalu, Wiranto tiba-tiba menjadi topik hangat dalam postingan Twitter netizen Indonesia. Dia mengkritik bahwa kegiatan demonstrasi yang dilakukan hanya menghabiskan energi, dan tidak relevan, karena RUU yang dipermasalahkan sudah ditunda pengesahannya. Selain itu, beredar ungkapan guyon yang beredar di Twitter, kalimatnya berisi: “Tidak ada yang abadi kecuali Wiranto 1998–2019”. Publik menyadari bahwa ketika Wiranto bicara di layar televisi, sikap kerasnya terhadap massa demonstrasi, bahkan gaya rambutnya persis sama dengan yang dilihat pada ‘98.

Netizen menilai bahwa mereka menghadapi veteran yang sama dengan yang dihadapi ayah mereka dulu saat berdemo. Dalam pernyataan terbarunya, Wiranto bahkan menuduh tujuan gerakan mahasiswa adalah untuk mencegah Jokowi menyelesaikan jabatan presiden yang kedua kalinya, seolah-olah ia adalah juru bicara Jokowi.

Jendral bintang empat lainnya adalah Luhut yang menjabat sebagai Menko Kemaritiman dalam pemerintahan Jokowi. Kementerian-kementerian yang dibawahinya seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pariwisata adalah bidang-bidang sentral dalam agenda pembangunan ekonomi.

Luhut memiliki hubungan pribadi yang baik dengan Prabowo. Mereka bahkan pernah membentuk kerajaan bisnis setelah pensiun dari militer. Pada pemilihan presiden tahun 2014, Luhut menjadi pendukung Jokowi dan membuat hubungannya dengan Prabowo semakin jauh. Namun, Luhut masih dianggap sebagai penengah kedua kubu. Terlihat bahwa posisi para pejabat militer dalam pemerintahan Jokowi masih sangat penting.

Tanpa latar belakang politik, Jokowi mampu membentuk citra dirinya sebagai amatir politik yang bersih, dan ini menjadi keunggulan yang kompetitif. Namun, di sisi lain hal ini membatasi pemerintahannya, karena kurangnya dukungan partai yang kuat. Sejak menjabat di tahun 2014, Jokowi telah membentuk jaringan yang berisi mantan pejabat militer yang ia percayai. Luhut, Wiranto, dan pejabat militer lainnya bersedia bekerja sama sejak masa awal pemerintahannya. Wiranto, dan Luhut yang juga berasal dari rezim Orde Baru bersama dengan Prabowo kini menjadi tangan kanan Jokowi yang dianggap merupakan kebalikan dari Orde Baru.

Walaupun menurut hukum, tentara sudah tidak ambil bagian di politik, tetapi ia masih menjadi salah satu kekuatan terpenting dalam politik Indonesia. Sebuah jejak pendapat menunjukkan bahwa militer adalah lembaga resmi paling populer di Indonesia. Sama seperti pada era Soeharto, tentara Indonesia masih berpartisipasi dalam agenda politik,dan pembangunan nasional melalui proyek infrastruktur dan perdesaan.

Selain mengandalkan amnesti militer dan politik, Jokowi juga mengusulkan agar 60 perwira TNI diizinkan mengisi jabatan sipil tanpa masa pensiun. Veteran Indonesia yang merupakan warisan Orde Baru masih belum mengubah kebiasaan lamanya. Padahal para veteran lain juga menghadapi masalah dari pekerjaan usai pensiun. Para veteran mungkin saja beralih ke kubu ekstrimis agama, dan menyerang balik presiden. Mendukung gagasan militer kembali ke politik ini sekali lagi membuat para kritikus khawatir akan kebangkitan kembali para perwira militer.

Papua yang Menggantung

Masalah-masalah keterkaitan antara oligarki, dan militer ini turut serta menyandera proses penyelesaian masalah di Papua — bahkan turut serta memicu terjadinya kasus akhir-akhir ini. Pada perayaan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus tahun ini, bendera merah putih berkibar di seluruh negeri untuk merayakan kemenangan perjuangan melawan penjajah yang ke-74 tahun. Di Surabaya selaku ibu kota Provinsi Jawa Timur, polisi membobol paksa asrama daerah dan menangkap 43 mahasiswa Papua yang dicurigai melemparkan bendera Indonesia ke dalam parit. Selain mendapat kekerasan fisik, mahasiswa yang ditangkap juga mendapat kekerasan verbal seperti panggilan monyet, anjing, dan babi.

Dua hari setelah penangkapan itu, warga kedua provinsi di Papua melakukan demonstrasi. Selama bertahun-tahun, inilah protes terbesar yang pernah terjadi di sana. Sejumlah besar gedung pemerintah dibakar. Mahasiswa Papua spontan juga melakukan aksi di jalan. “Jika kami adalah monyet, jangan paksa monyet menaikkan bendera merah putih.”

Pada saat yang sama, tayang film adaptasi dari novel Bumi Manusia karya penulis legendaris Indonesia Pramoedya. Tokoh utama pria dalam novel itu bernama Minke dengan karakter seorang pribumi anti kolonial yang oleh kaum putih dipanggil “monkey”.

Kisah ini membuktikan bahwa tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Seperti halnya kisah yang dialami Minke, orang Papua juga mengalami diskriminasi dari kelompok dominan, tetapi kali ini kelompok dominan itu adalah Suku Jawa. Aktivis kemerdekaan Papua, Filep Karma, pada 2014 dalam buku karyanya yang berjudul Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua menceritakan pengalamannya belajar di sebuah universitas Kota Solo. “Saya sering mendengar teman saya menyebut Papua sebagai ‘monyet’,” ungkapnya.

Papua terletak di bagian paling timur Indonesia, dulu disebut Nugini Belanda. Setelah 15 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Belanda masih menyebarkan nasionalisme Papua dalam skala besar. Pada 1 Desember 1961 bahkan dicetuskan pendirian Republik Rakyat Papua Barat. Delapan hari setelah berdirinya Papua Barat, tentara Indonesia menyerbu tempat itu hingga akhirnya diambil alih oleh PBB. Hal ini dilakukan oleh Soekarno selaku Presiden pertama Indonesia yang percaya bahwa bangsa Indonesia berdiri atas paham anti imperialis, dan anti kolonialisme mengakui daerah kepulauan Belanda membentang dari Madagaskar hingga Nugini, dan memiliki kedaulatan di Papua Barat. Hingga akhir 1969, lewat sebuah referendum yang sangat dimanipulasi, Papua Barat (dulunya disebut Irian) bergabung dengan Republik Indonesia.

Saat ini, bahkan dengan sumber daya mineral yang kaya, termasuk dari Freeport sebagai tambang emas terbesar di dunia, Papua masih menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Gerakan Papua Merdeka dan Gerakan Pembebasan Papua Barat merupakan upaya untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan bagi Papua bahkan setelah pada 2001 Provinsi Papua dijadikan daerah otonomi khusus yang mendapat hak yang lebih besar untuk mengatur pemerintahannya sendiri.

Pada Desember 2018, 24 orang pekerja proyek konstruksi diculik dan dieksekusi oleh tentara pembebasan Papua Barat. Hal ini mendesak pengerahan militer, dan puluhan ribu warga dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka. Mayoritas penduduk Indonesia tidak bisa memahami situasi ini. Entah orang Jawa, Sunda, Melayu atau bahkan Tionghoa tidak pernah pergi ke Papua selama masa hidupnya, karena biaya dari Jakarta ke Papua seringkali sebanding dengan biaya ke Eropa.

“Di Indonesia yang ideal, seorang laki-laki dari Papua tinggal di Jakarta dan bekerja untuk pemerintah. Ia menikahi seorang perempuan yang berasal dari Padang, Indonesia bagian barat. Mereka bersama membuka sebuah rumah makan dan memperkerjakan seorang wanita muda suku Sunda. Pelanggan mereka biasanya adalah orang Jawa, Betawi, dan kelompok suku lainnya.” Plot di atas adalah naskah kedua tulisan penulis populer Indonesia, Eka Kurniawan, untuk sitkom yang berjudul “Keluarga Minus” beberapa tahun yang lalu.

Di satu sisi, plot ini menunjukkan daya tarik Indonesia sebagai negara multi etnis. Di sisi lain, ini juga menyiratkan kontradiksi mendasar yang sulit dibenarkan. Kami adalah banyak, kami adalah satu, bagaimana “banyak” bisa menjadi “satu”? Saat proses “banyak” melebur jadi “satu”, “banyak” yang mana yang harus menjadi sedikit; “banyak” yang mana yang harus menjadi lebih banyak?.

Indonesia menghadapi demo besar-besaran selama beberapa hari terakhir, polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstran. Untuk terus memimpin bangsa dengan latar belakang etnis, bahasa, dan budaya yang sangat kompleks, Presiden reformis Jokowi, mencoba untuk menyeimbangkan keadaan dengan paradigma pembangunan ekonomi. Namun, paradigma ini jika dihadapkan dengan permasalahan etnis umpama memadamkan api dengan teko. Ia dihadapkan oleh masalah politik dan sejarah yang lebih lama dan mendalam.

Mahasiswa yang bersekolah di Jawa bukan hanya semata mahasiswa dari Papua, atau Indonesia bagian Timur lainnya. Namun, karena perbedaan warna kulit, bahasa, dan kebiasaan lain, mereka semua pernah mendapat pengalaman sebagai ‘warga negara kelas dua’, atau bahkan pernah dipanggil dengan sebutan “monyet”.

Saya tidak tahu apakah Jokowi pernah memikirkan ini, bahwa penekanan terhadap kemakmuran dan kemajuan dapat menciptakan rasisme dengan menyematkan topi ‘terbelakang’ bagi mereka yang dianggap gagal dari daerah marjinal. Dalam pemilihan umum tahun ini, Jokowi memenangkan 78% suara di Papua. Ia juga nampaknya berupaya memastikan setidaknya mengunjungi Papua dua kali setahun. Menurut Jakarta Globe, Jokowi pergi ke Papua 12 kali sebelum pemilihan tahun ini. Namun, tetap hubungan antara orang Papua dan Jakarta masih sangat tegang.

Aktivis dan sutradara terkenal Dandhy Laksono ditangkap karena pernyataannya tentang Papua yang dianggap tidak pantas. Penangkapan ini tepat seperti tuntutan kelima dari 7 tuntutan demonstran, yaitu mengakhiri kriminalisasi terhadap para aktivis sosial. Namun, tampaknya militer dan polisi masih belum menyerah. Film dokumenter garapan Dandhy Laksono berjudul “Sexy Killer” yang beredar pada masa sebelum Pemilu tahun ini menggambarkan Indonesia, bagaimana sumber daya alam dan mineralnya yang kaya dituai oleh pejabat tinggi di Jakarta, dan bayaran mahal atas kerusakan lingkungan akibatnya dibayar oleh rakyat seperti masyarakat asli Papua sampai para nelayan di Laut Jawa Utara.

Secara kebetulan, beberapa hari sebelum penangkapan Dandhy, ia melakukan debat terbuka tentang masalah Papua dengan Budiman Sudjatmiko, seorang tokoh yang sudah dibahas di atas. Budiman bicara tentang bagaimana referendum kebebasan Papua dapat mencelakai diri mereka sendiri, dan Indonesia, sedangkan Dandhy berulang kali menekankan pada kerusakan yang diakibatkan oleh militer Indonesia pada rakyat Papua. Kolom komentar video ini di Youtube dibanjiri dengan pujian kepada argumen Dandhy yang dianggap beralasan dan berdasar. Tahun-tahun itu, Budiman yang dengan malu-malu di depan kamera meneriakkan jargon untuk mengakhiri rezim Soeharto, hari ini meskipun masih dihormati sebagai tokoh ’98, tampaknya sudah ketinggalan zaman.

Sampai saat ini, masalah Papua masih menggantung, mungkin masih akan berlanjut di masa yang akan datang dan sumber daya alamnya yang kaya akan terus membuat bangsa Amerika dan Eropa menatap iri. Di antara tujuh tuntutan utama, kaum progresif hanya membahas tentang pengakhiran kontrol militer, tetapi tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelah kontrol militer itu berakhir.

Bahkan jika referendum terbuka dibuat, masalah akan semakin sulit karena struktur populasi kedua provinsi Papua saat ini. Masalah struktur populasi akibat program transmigrasi yang berisi pengiriman penduduk sejak zaman Belanda dengan memindahkan populasi dari pulau-pulau padat seperti Jawa, dan Bali ke pulau-pulau terbelakang untuk mengembangkan pertanian di masa Orde Baru yang diadakan tahun 1980-an. Sekarang jumlah orang Jawa sudah sebanding dengan jumlah orang asli Papua.

Pada akhirnya, masih ada banyak hal yang belum selesai dibahas oleh para aktivis di Indonesia. Generasi aktivis ’98 mewariskan tidak saja demokratisasi, tetapi juga menyisakan peninggalan Orde Baru berupa struktur oligarki politik, dan problem ketidaktegasan hukum terhadap dwifungsi militer. Kemandegan proses pencarian resolusi terhadap keduanya turut berdampak pada menggantungnya proses penyelesaian masalah Papua.

(Keming, Kelompok Menulis Peduli Indonesia)

Pertama kali terbit dengan judul “未完成的1998:惡法危機、巴布亞暴動,與印尼的街頭怒火” di The Initium Media.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Published in Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Written by Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.