Belajar Mederka dari Papua

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
3 min readNov 8, 2019

Oleh Syahdan Husein

Ilustrasi oleh Laeticia Viorentine

Kata “monyet” adalah kata yang sering digunakan untuk mendiskriminasi suatu bangsa terhadap bangsa lain. Orang pribumi di zaman kolonial sering disebut monyet, seperti prasangka ‘Minke’ (dibaca: Mingke) tentang namanya yang hampir dekat dengan kata “monkey” di mata gurunya dalam novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya A.T. Prasangka yang sama dialami orang kulit hitam atas kulit putih di Amerika Serikat zaman perbudakan.

Penyamaan seseorang dengan binatang adalah suatu adat buruk, tetapi biasa terjadi di lingkungan kita. Akan tetapi pada konteks Papua, hal ini menjadi isu penting; bahwa kata-kata tadi benar-benar harus dihindari. Lalu apa yang menjadi sebab terjadinya perilaku yang tidak pantas yang dialami oleh orang Papua?

Pendidikan multikuluralisme menjadi pembahasan penting dari kasus ini. Representasi orang Papua begitu minim di sekitar kita. Sewaktu kecil, saya tidak melihat adanya identitas di buku-buku SD. Bahkan representasi pahlawan nasional dari Papua saja saya baru ketahui dari mata uang yang baru keluar belum lama ini.

Representasi orang Papua itu sangat penting. Representasi tersebut bukan hanya dari keindahan alam untuk pariwisata semata atau iklan-iklan televisi yang berkaitan tentang keberagaman saja. Coba kita tengok panduan atau ilustrasi pemberitahuan di Puskesmas atau Rumah Sakit, representasi Papua jarang ditemui.

Buku-buku gambar anak kecil, sangat jarang diperkenalkan tokoh-tokoh dengan warna kulit hitam. Ketika ditanya warna kulit orang Indonesia itu apa, sawo matang-lah jawaban yang sering kita dapat. Padahal ada banyak warna kulit selain sawo matang di Indonesia, khususnya orang Papua. Jujur saja, saya baru mendapatkan kelas multikulturalisme di bangku kuliah.

Selain representasi, body shaming adalah hal paling dekat untuk menganalisa hinaan ‘monyet’ tersebut, entah kesamaan warna kulit atau perilaku. Body shaming menjadi senjata yang paling sering digunakan dalam perundungan (bullying). Kata-kata seperti “boncel, kuntet, jangkung, gendut, krempeng, hitam, tonggos, ompong, pesek, pedok, budeg, peang, cacat” paling sering digunakan untuk body shaming.

Standar kecantikan atau ketampanan begitu bringas dalam menilai buruk seseorang. Tidak sedikit perkelahian diawali karena ejekan dan hinaan. Salah satunya terjadi di kejadian pembakaran kantor DPRD Manokwari yang terjadi pada 19 Agustus 2019 oleh masyarakat yang tersulut hinaan “monyet”.

Melalui Siaran Pers №154 pada hari tanggal yang sama, Kominfo sempat melakukan perlambatan akses internet di dua Provinsi Papua Barat dan Papua untuk meredam tersebarnya hoaks dan disinformasi perihal kasus rasialisme yang menimpa mahasiswa Papua setelah hari kemerdekaan Indonesia di Malang dan Surabaya.

Melihat respons masyarakat Papua yang bersikap demikian, tidak bisa dibilang sebagai hal yang reaksioner. Puncak kekecewaan orang Papua kepada pemerintah tidak terjadi sehari, dua hari saja, atau baru-baru ini. Semenjak Orde Baru dibangun dengan tumpahan darah “orang-orang kiri”, korban kekerasan, dan pelanggaran HAM di Papua sering terjadi di zaman serba “siap komandan!” itu.

Pengerukan SDA, “nasi-isasi” kepada orang Papua, penanaman sawit massal (penyawitan), penangkapan dan pemukulan terhadap mahasiswa Papua oleh aparat dan ormas ketika melakukan aksi demonstrasi, seperti yang dialami Filep Karma. Puncak kemarahan yang terpendam turun-temurun tersebut tentu tidak bisa dipadamkan dengan mudah.

Streotyping adalah sisi terkejam dari kebodohan. Oleh karena itu, stereotip buruk harus dihindari untuk menilai seseorang dari ras, warna kulit, agama dan golongan. Pemanggilan “si Pace”, “si Batak”, “si Ambon”, “si Jawa”, “si Cina” merupakan bibit-bibit disintegrasi dari sebuah panggilan kepada seseorang. “Mereka adalah kita“ merupakan slogan yang cocok untuk melawan stereotipe tersebut. Jika seseorang dari suatu ras, suku, bangsa atau agama tertentu berbuat salah seolah-olah kesalahan tersebut dipikul oleh seluruhnya. Hal demikian sungguh tidak adil untuk diterima seseorang atas sesuatu yang bukan kesalahannya.

Nenek saya bercerita mengenai penamaan paman saya yang paling bontot. Suatu hal yang aneh sebagai orang Batak menamai anaknya dengan nama Jawa atas dasar rasa aman dan demi masa depannya yang cerah. Nenek saya memberi nama anaknya dengan nama Jawa, karena pada peristiwa Malari orang Batak di Jakarta dimusuhi atau dibenci dengan alasan orang Batak sebagai salah satu aktor kerusuhan yang melawan Soeharto tersebut.

Tindakan stereotip seperti ini sudah menjamur di sekitar kita. Bentuk penolakan berupa tulisan yang terpajang di depan kos “tidak menerima kos mahasiswa Papua” di daerah Jogjakarta adalah contoh kejam dari stereotip yang pernah dialami oleh orang Papua.

Dengan demikian, sebelum menyoroti persoalan Papua, sebaikanya kita menyoroti lingkungan sekitar kita. Apakah kita sudah terbebas dari watak kolonial dengan menyebut suatu bangsa dengan kata “monyet”?

Menjadi seseorang yang memiliki watak merdeka adalah dengan memerdekakan orang lain. Memerdekakan Papua dari diskriminasi, intimidasi dan sikap rasis dari orang lain adalah tugas sebagai bangsa yang merdeka.

Tulisan pertama kali terbit di teruraitanah.blogspot.com.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.