Bukan Dewan Perwakilan Rakyat, Tapi Dewan Rakyat

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
9 min readOct 18, 2019

Oleh Panji Mulkillah Ahmad

Ilustrasi oleh Nalta

Gus Dur pernah berkata bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah taman kanak-kanak. Pernyataan beliau masih cocok untuk dihubungkan dengan keadaan DPR saat ini. Berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang bermasalah muncul, kemudian memicu reaksi penolakan dari rakyat. Tak heran jika gelombang aksi massa mahasiswa dan berbagai elemen rakyat lainnya pada waktu belakangan ini, di berbagai tempat, menunjukkan secara terang-terangan ketidakpercayaan pada DPR.

Selain terhadap DPR, rakyat juga menunjukkan rasa kekecewaan pada Presiden. Hal ini tentu wajar adanya karena suatu RUU dapat disahkan menjadi Undang-Undang setelah terlebih dahulu disetujui oleh Presiden. Kekecewaan ini terutama timbul karena janji Jokowi untuk memperkuat KPK begitu cepatnya diingkari, dengan menyetujui Revisi UU KPK yang substansinya malah mengurangi independensi KPK.

Ketidakpercayaan, kekecewaan, dan penolakan, adalah perasaan yang sudah terbiasa dialami oleh rakyat Indonesia pada setiap momen pasca pemilu. Setiap calon presiden atau pun calon wakil rakyat selalu menawarkan janji yang indah kepada calon pemilihnya, dan mengingkari janji itu sesudahnya. Memang, tidak semua janji diingkari. Akan tetapi melihat politik belakangan ini terlalu cepat dan terlalu banyak janji-janji yang diingkari, sehingga yang mana janji yang dipenuhi pun sudah tidak lagi terlihat.

Melihat masalah ini, reaksi rakyat yang muncul adalah melakukan gerakan penolakan atas RUU maupun UU yang telah diketuk. Terkecuali untuk RUU PKS, hampir semua gerakan mengusung penolakan atas RUU dan UU yang sama, seperti RKUHP, Revisi UU KPK, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, dsb. Sekalipun mengusung penolakan yang sama, namun terdapat perbedaan mendasar di antara para kelompok yang sedang aktif turun ke jalan ini. Perbedaan di antara para gerakan penolakan yang ada, terletak pada sasaran serang dan landasannya. Ada yang menyalahkan orangnya, sehingga tuntutannya adalah mendesak agar orang yang menjabat segera mundur. Hal ini tercermin dalam tagar #TurunkanJokowi, misalnya. Ada pula yang melihat sebab persoalan ini karena sistem demokrasi di Indonesia telah dibajak oleh kaum oligarki. Gerakan reformasi 1998 yang telah membuka ruang partisipasi politik rakyat, ternyata diinterupsi oleh elit-elit politik yang berhubungan dengan korporasi. Hal ini tercermin dalam tagar #ReformasiDikorupsi, misalnya.

Tulisan ini bermaksud untuk mengomentari arus kedua gerakan di atas, lalu kemudian menawarkan konsep baru untuk dipertimbangkan menjadi arus alternatif. Saya menyadari bahwa mungkin apa yang ditulis belum tentu merupakan konsep yang benar-benar baru, bahwa mungkin saja di luar sana sudah ada yang memikirkan hal ini.

Saya berpendapat bahwa kedua arus gerakan ini sama-sama mengandung kelemahan. Pada gerakan dengan tagar #TurunkanJokowi, terlepas dari sentimen politik yang ada, gerakan ini melihat bahwa sumber masalah terletak pada orang yang menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk dapat memperbaiki situasi, orang yang menjabat harus diganti dengan orang yang baru. Masalah siapa yang akan menggantikan orang itu tidak perlu dibahas kali ini. Mari kita perjelas bahwa jabatan yang dimaksud adalah presiden.

Pemerintahan di Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian presiden. Adapun dalam hal pergantian presiden melalui “penurunan”, kita dapat mengambil contoh ada peristiwa 1998. Presidennya berganti dari Soeharto, ke Habibie. Presiden Habibie menerbitkan berbagai produk hukum dan merombak banyak sekali peraturan yang selama ini mengekang kebebasan sipil dan politik rakyat. Namun makin ke sini, kebebasan itu makin dibatasi. Dalam hal kemerdekaan berpendapat di muka umum (contoh aksi massa) misalnya, hal itu dijamin oleh UU №9 Tahun 1998. Namun dalam implementasinya, pemerintah menerbikan aturan-aturan pelaksana yang membatasi beberapa hal. Semisal waktu pelaksanaan aksi massa tidak boleh lewat dari pukul 18.00. Kemudian dalam hal memberikan surat pemberitahuan ke kepolisian, dalam prakteknya surat pemberitahuan dapat dinyatakan tidak diterima jika kepolisian tidak memberikan surat tanda terima pemberitahuan. Berbagai contoh lain tentu dapat diajukan seperti jerat UU ITE, penutupan website, pemblokiran akses internet, pembubaran diskusi ilmiah, pembubaran kegiatan peribadatan, unlawful killings, dsb. Hal ini dapat menjadi cerminan bahwa ganti presiden bukanlah solusi, sebab persoalannya terletak pada sistemnya, dalam artian seluruh perangkat birokrasi, nilai-nilai yang diyakini, dan peraturannya.

Arus kedua, yakni #ReformasiDikorupsi. Dalam pengamatan singkat saya, arus ini mengakui capaian gerakan reformasi 1998 yang telah membuka ruang partisipasi politik rakyat. Hanya saja dalam perjalannya, reformasi ternyata diinterupsi oleh elit-elit politik yang berhubungan dengan korporasi atau yang biasa disebut kaum oligarki. Sikap dari arus ini tidaklah untuk menurunkan rezim yang sedang berkuasa. Hal ini tercermin misalnya dalam aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta. Dalam rilis resminya di Instagram tertanggal 23 September 2019 tertulis, “Aksi #GejayanMemanggil bergerak untuk mengevaluasi pemerintah, bukan untuk menjatuhkannya.”

Saya pun mengakui bahwa reformasi menghasilkan capaian-capaian yang menghasilkan kemajuan bagi demokratisasi di Indonesia. Namun persoalannya, kemajuan itu kian ke sini kian dipukul mundur. Hal ini dikarenakan reformasi itu sendiri lebih menyasar pada reformasi insititusi politik dan tata kelola negara saja, tanpa secara mendasar merombak penguasaan atas sumber daya ekonomi yang selama ini dimonopoli kaum oligarki. Singkat kata, ada dorongan demokratisasi di lapangan politik, namun secara ekonomi masih kapitalistik.

Hadiz dan Robinson (2004) menjelaskan bahwa ketika masa Orde Baru, para oligark berpatron secara terpusat pada Suharto. Pasca Suharto jatuh, para oligarki dan kroni Suharto ini menggunakan instrumen hasil reformasi, seperti demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi, untuk menata kembali hidup mereka. Wood (1995) menilai bahwa dalam hubungan antara demokrasi dalam kapitalisme, maka kedaulatan rakyat tereduksi menjadi kedaulatan parlemen (wakil-wakil rakyat). Parlemen bisa saja akuntabel terhadap para pemilihnya, tapi rakyat (bukan semata pemilih partai tertentu) tidak berdaulat.

Imbasnya, terjadi apa yang disebut Yuki Fukuoka (2013) sebagai demokrasi oligarki, yaitu tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil. Hal ini dapat kita lihat bagaimana masyarakat sipil atau gerakan rakyat yang ada saat ini terfragmentasi, tidak terkonsolidasi, sehingga dengan mudah dikooptasi dan dipatahkan oleh kelas yang berkuasa. Pada proses pemilu 2019 lalu misalnya, masyarakat terbelah antara cebong, kampret, dan golput. Pada gerakan buruh, kaum buruh terbelah antara serikat kuning, serikat plat merah, serikat yang independen, dsb. Begitu pun pada gerakan mahasiswa, perempuan, tani, intelektual, seniman, dsb.

Dari paparan di atas, reformasi adalah seperti yang dikatakan The Panas Dalam dalam lagunya Segelas Kopi :

Teman-teman sedang aksi turun ke jalan

Tuan-tuan sedang asik mencuci tangan

Reformasi gerakan layu sebelum berkembang

Kontradiksi Presentasi dan Representasi

Kekecewaan rakyat hari ini pada orang-orang yang dipilih melalui pemilu, baik itu Presiden maupun DPR, muncul karena inkonsistensi antara janji yang dikampanyekan dengan realisasi kebijakan. Rakyat memiliki kepentingan yang tidak sanggup dihadirkan oleh pemerintahan yang dipilihnya. Dengan meminjam istilah Badiou, saya berpendapat bahwa kekecewaan di atas adalah problem kontradiksi antara presentasi dengan representasi. Dalam konteks ini, rakyat Indonesia berperan sebagai presentasi sedangkan DPR dan Pemerintah adalah representasi.

Presentasi adalah kehadiran langsung dalam sebuah situasi. Terpresentasikan sama artinya dengan menjadi anggota atau elemen dari sesuatu. Sedangkan representasi adalah modus kehadiran yang tak langsung dalam sebuah situasi. Dalam konteks politik, maka representasi berfungsi menjamin tersalurnya seluruh aspirasi rakyat, atau dengan kata lain menjamin agar seluruh anggota (presentasi) adalah juga bagian dari (representasi) dari suatu himpunan (Suryajaya, 2011).

Kontradiksi antara presentasi dengan representasi dalam konteks Indonesia hari ini muncul karena adanya pertentangan antara kehendak rakyat dengan kehendak pemerintahannya. Melalui pemilu, rakyat memberikan legitimasi untuk berkuasa pada orang-orang yang duduk di pemerintahan. Artinya ada transfer kekuasaan yang bersumber dari kedaulatan rakyat kepada wakil-wakil rakyat dan pemerintah. Namun sayangnya, kekuasaan itu justru digunakan untuk mengkebiri hak-hak rakyat yang dengan kata lain menggerogoti kedaulatan rakyat itu sendiri. Hal ini terjadi bukan semata-mata karena si pejabat itu sendiri yang wataknya tidak amanah, melainkan karena logika representasi itu sendiri yang memungkinkan adanya ketidakamanahan itu.

Badiou mengambil posisi menolak politik representasi. Dalam Being and Event (2005), Badiou menjelaskan bahwa “kuasa” dapat ditransfer, tapi tidak dengan “kehendak”. Ada distingsi yang dalam antara kuasa (dapat ditransmisikan) dan kehendak (tak dapat direpresentasikan). Menurut hemat saya, karena kehendak (will) yang tidak dapat ditranfer dari rakyat ke wakilnya inilah yang membuat para wakilnya dapat bertindak mengatasnamakan rakyat, namun sejatinya memiliki kehendak sendiri untuk kepentingan dirinya sendiri.

Suryajaya (2011) kemudian memaknai bahwa apa yang diinginkan Badiou adalah presentasi murni. Dalam pembahasan di tulisan ini, presentasi murni dapat diartikan sebagai kehadiran rakyat itu sendiri yang tidak membutuhkan wakil-wakil rakyat alias tidak butuh representasi. Jika politik representasi hari ini terlembagakan dalam pemilihan eksekutif dan legislatif dalam kerangka demokrasi perwakilan, maka politik presentasi murni saya memaknainya sebagai demokrasi langsung (direct democracy).

Dewan Rakyat dan Urgensi Reformasi Jilid Dua

Sampai hari ini rakyat Indonesia telah terbiasa menitipkan nasib hidupnya kepada segelintir wakil rakyat. Kita menggaji para perampok dan pemabuk untuk membuat undang-undang yang mengatur hidup kita. Setiap pemilu, entah itu 2019 atau sebelumnya, saya sudah muak dengan argumen, “kalau ingin mengubah keadaan, masuklah ke parlemen” atau “tidak memilih berarti membiarkan yang buruk berkuasa.”

Oligarki bisa berkuasa puluhan tahun lamanya karena kesuksesannya menjauhkan rakyat dari politik. Politik alhasil hanya dimaknai pemilihan umum. Robert Michels dalam bukunya Political Parties (1911) mengatakan bahwa sistem perwakilan kerap mengarah ke oligarki. Teorinya disebut juga sebagai hukum besi oligarki. Alasan kenapa oligarki ini terus berkuasa bukan semata-mata karena demokrasi itu “dibajak” atau “dikorupsi”, melainkan karena proses demokrasi perwakilan itu sendiri yang melahirkan oligarki.

Darcy K. Leach (2005) dalam tafsirnya atas hukum besi oligarki mengungkapkan alasan kenapa oligarki dilahirkan. Dalam sebuah organisasi raksasa (katakanlah negara), banyak kebijakan yang harus dibuat secara harian yang tidak dapat diputuskan oleh banyak orang yang tidak terorganisir. Agar dapat efektif, diadakanlah sentralisasi ke tangan segelintir orang. Segelintir orang ini pada gilirannya malah menumpuk kekuasaan bagi dirinya sendiri. Persoalan kenapa orang-orang mempercayakan kuasa pada segelintir orang itu, Michels berpendapat karena kurangnya sarana teknologi untuk memungkinkan rakyat dalam jumlah yang besar dapat bertemu dan berdebat.

Michels hidup di awal abad 20, di saat sarana komunikasi termaju saat itu adalah telepon kabel. Kita saat ini hidup di abad 21, dalam perkembangan sarana komunikasi yang lebih maju. Melalui internet, kecerdasan buatan, big data, saat ini umat manusia sudah memungkinkan untuk mendiskusikan dan berdebat tentang politik tanpa harus bertatap muka langsung. Berkat kompetisi antar kapitalis, harga ponsel pintar pun semakin murah sehingga dapat diakses oleh kalangan massa rakyat pada umumnya. Kondisi masyarakat saat ini sudah berubah drastis sehingga hukum besi oligarki sudah dapat dipatahkan, dan warisan lama sistem demokrasi perwakilan sudah tidak sanggup membendung kehendak rakyat. Ketika kondisi material masyarakat telah berubah, maka bangunan politiknya juga harus dapat merespon perubahan itu.

Dalam konteks ini, saya bermaksud membangkitkan wacana berdirinya Dewan Rakyat sebagai manifestasi sistem demokrasi langsung, atau “presentasi murni” dalam istilah Badiou. Dewan Rakyat tidaklah seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi para wakil-wakil rakyat. Dewan Rakyat berisi utusan atau delegasi yang tidak berperan untuk mewakili, melainkan petugas, fasilitator, atau dengan kata lain bekerja untuk melayani berjalannya demokrasi langsung. Jika selama ini undang-undang yang lahir hanya berdasarkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, maka di zaman Dewan Rakyat, undang-undang hanya dapat lahir berdasarkan persetujuan rakyat secara langsung. Adapun para utusan di dalam Dewan Rakyat hanya bertugas untuk menerjemahkan kehendak konstituennya dalam bentuk draf undang-undang. Para utusan ini bukanlah wakil, melainkan pekerja. Pengambilan keputusan dilakukan melalui referendum atau plebisit.

Melalui kemajuan teknologi, proses transfer informasi, jajak pendapat, konsutasi publik, dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan mudah. Rakyat dapat secara langsung menyatakan setuju, tidak setuju, atau revisi atas suatu rancangan undang-undang secara online. Hal ini bisa menggunakan perangkat ponsel pintar yang dimiliki, ataupun lewat fasilitas dari desa/kelurahan terdekat yang telah terhubung internet.

Pada zaman Dewan Rakyat ini, rakyat dapat mengkonsolidasikan dan merawat kedaulatannya sehingga terbebas dari oligarki. Rakyat bisa menciptakan hukum untuk mengakomodir hak-hak yang selama ini belum dapat terwujud dalam sistem demokrasi perwakilan, semisal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Juga bisa menetapkan kebijakan berdasarkan apa yang paling mendesak bagi rakyat, semisal redistribusi tanah bagi buruh tani dan tani miskin tak bertanah, pendidikan gratis bagi seluruh rakyat, dsb.

Untuk dapat merealisasikan ide ini maka dibutuhkan reformasi sekali lagi. Jika reformasi 1998 telah berhasil membuka saluran demokratisasi sekalipun tidak pada akhirnya disumbat oleh oligarki, maka kita perlu reformasi jilid dua untuk mengakhiri oligarki selamanya. Kita akan membuat kehidupan politik di mana keberadaan oligarki tidak lagi diperlukan.

Eskalasi gerakan massa yang makin membesar kali ini membawa energi yang begitu besar. Energi ini jika tidak digunakan untuk mendorong perubahan yang lebih maju, maka hanya akan menguap sia-sia. Mau tidak mau, gerakan massa hari ini perlu untuk memajukan tuntutan politiknya. Dari yang awalnya berfokus pada merespon beberapa RUU dan masalah aktual yang ada, menjadi menuntut adanya perombakan sistem sosial-politik yang menjamin terwujudnya demokrasi sejati.

Daftar Pustaka

Fukuoka, Yuki, “Oligarchy and Democracy in Post-Soeharto”, Political Studies Review II, no. I, 2013.

Michels, Robert, 1915, diterjemahkan oleh Eden and Cedar Paul, Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, Hearst’s International Library Co

Leach, Darcy K., “The Iron Law of What Again? Conceptualizing Oligarchy Across Organizational Forms”, Sociological Theory, Volume 23, Number 3, September 2005

Robison, Richard and Vedi R Hadiz, 2004, Reorganizing Power in Indonesia: The Politic of Oligarchy in an Age of Market. London and New York: Routledge.

Suryajaya, Martin, 2011, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, Yogyakarta: Resist Book.

Wood, Ellen Meiskins, 1995, Capitalism Against Democracy: Renewing Historical Materialism, Cambridge: Cambridge University Press

Tulisan ini pernah dimuat di Suluh Pergerakan.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.