Demonstrasi Pro-Demokrasi Melampaui Pembelahan Politik

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
5 min readOct 30, 2019

Oleh Eve Warburton; Penerjemah oleh Devananta Rafiq

Ilustrasi oleh Nafiza Rosa

Dalam beberapa minggu terakhir, belasan ribu mahasiswa, dan akitivis turun ke jalan kota-kota besar di Indonesia. Pemrotes menuntut anggota DPR, dan pemerintah menghentikan pembahasan RUU kontroversial yang membatasi kebebasan individu, dan upaya kriminalisasi terhadap tindakan yang dianggap melecehkan institusi negara, termasuk parlemen, dan presiden.

Namun, apa yang meluapkan massa aksi ke jalanan adalah keputusan tergesa-gesa dalam revisi RUU-KPK. UU yang baru akan melemahkan lembaga pengawas ini dengan merongrong independensinya, dan membatasi kewenangan investigasinya.

Ada beberapa hal luar biasa yang dapat dipelajari dari protes-protes ini.

Pertama, para aktivis telah menghidupkan kembali ‘bahasa dari reformasi’, dan hak-hak demokrasi liberal dengan cara yang tidak terprediksi. Kualitas demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun teakhir mengalami kemunduran. Di bawah pemerintahan Presiden Yudhoyono (2004–2014), dan Jokowi (2014–…), institusi dan norma yang melindungi kebebasan sipil, seperti hak minoritas dan perempuan maupun hak kebebasan berekspresi serta beropini, telah terkikis oleh mereka yang berkuasa, dan juga oleh kelompok-kelompok konservatif.

Para analis telah lama mencatat (dan menyayangkan) ketiadaan oposisi publik terhadap fenomena tadi. Indonesia malah beralih ke tatanan yang semakin tidak liberal tanpa adanya perlawanan luas seperti yang baru-baru ini muncul.

Kedua, protes-protes ini tampil secara bipartisan. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia berubah menjadi semakin terpolarisasi. Wacana publik dalam berbagai topik terbelah dalam narasi dukungan politis antara pendukung Jokowi versus Prabowo, dan antara kelompok pluralis versus Islamis. Namun, tidak seperti aksi protes anti-Ahok di 2016/17, atau aksi menolak hasil Pemilu di bulan Mei lalu, kali ini mobilisasi jalanan telah mempersatukan masyarakat dari beragam spektrum ideologis, dan politik.

Kecintaan terhadap KPK, dan krisis kepercayaan terhadap DPR melampaui pembelahan sosial-politik. Entah kamu seorang pluralis, atau Islamis, seorang progresif atau konservatif, pemilih Jokowi atau Prabowo, kamu lebih mungkin berposisi sebagai pendukung KPK, dan membenci parlemen beserta partai politik.

Amatan terhadap data terbaru memperlihatkan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap KPK melampaui pembagian partisan. Grafik di bawah menunjukkan hasil survei pasca-Pemilu yang dilakukan oleh Indikator Politik pada Mei 2019. Para responden ditanyai tentang tingkat kepercayaan mereka terhadap berbagai institusi. Grafik ini membandingkan respons terhadap KPK, dan presiden, terbagi menurut kategori pemilih Jokowi versus Prabowo.

Data tersebut menunjukkan bahwa para pemilih masih terpolarisasi. Pemilih Jokowi masih sangat mempercayai presiden, sementara pemilih Prabowo lebih terbagi. Namun, mereka tidak terpolarisasi dalam kepercayaan mereka terhadap KPK.

Data di atas juga memperlihatkan dukungan yang besar terhadap KPK dari basis pemilih Jokowi. Hal ini dapat menjelaskan perasaan dikhianati, dan kemarahan dari para pendukung presiden yang diekspresikan melalui media sosial, dan aksi jalanan. Kiranya, presiden, dan parlemen bersepakat untuk mempercepat pengesahan RUU-KPK, karena mereka paham tentang dalamnya dukungan publik kepada KPK, dan ingin membatasi kesempatan datangnya kritik, dan oposan terhadapnya. Bagaimanapun juga, hampir tiap survei publik dalam sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan bahwa KPK adalah salah satu institusi yang paling dipercaya di antara para pemilih. Sementara itu, parlemen, dan parpol mendapatkan kepercayaan yang paling sedikit.

Walaupun begitu, tetap ada hal yang tidak disepakati secara bulat di antara para demonstran. Contohnya, ada pihak yang meminta pemerintah untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS). Kendati tuntutan mengenai RUU-PKS ini sering dijadikan sebagai penggambaran demonstrasi secara keseluruhan oleh pers luar, terdapat demonstran yang menganggap pemerintah tidak perlu menghapus larangan berhubungan seks di luar nikah dari KUHP. Faktanya, mahasiswa-mahasiswa yang lebih Islamis mendukung upaya kriminalisasi terhadap apa yang secara moral mereka lihat sebagai dosa.

Terlebih lagi, corak bipartisan dari pemrotes ini nampak signifikan jika diletakkan pada latar mendalamnya polarisasi politik akibat Pemilu 2019.

Catatan ketiga dari demonstrasi-demonstrasi ini adalah tersibaknya masalah representasi di Indonesia. Pemilu yang telah terinstitusionalisasi selama dua puluh tahun terakhir telah menunjukkan dari survei ke survei bahwa masyarakat luas mendukung secara penuh Pemilu di tiap level pemerintahan. Pada saat yang sama, banyak masyarakat yang tidak percaya atau merasa tidak direpresentasikan oleh entah itu partai politik atau politisi yang mereka coblos.

Sebuah riset baru-baru ini bisa digunakan untuk menggambarkan terputusnya relasi antara politisi, dan pemilih pada isu korupsi. Pada akhir 2018, sebagai bagian dari proyek survei kolaboratif dengan Edward Aspinall, Burhanuddin Muhtadi dan Diego Fossati, kami menyurvei politisi Indonesia dari berbagai daerah. Mereka adalah politisi di tingkat provinsi. Walaupun bukan politisi tingkat nasional, mereka adalah bagian dari kelompok elite pemerintah, dan anggota parpol yang sama menjalankan representasi di tingkat parlemen nasional.

Kami bertanya kepada mereka, apa tiga kebijakan prioritas dari pemerintah yang mereka percayai harus berlaku saat ini? Kemudian kami membandingkannya dengan respons dari populasi yang lebih luas.

Kedua kelompok responden menempatkan kebijakan ekonomi sebagai prioritas pertama. Prioritas kedua bagi responden warga negara adalah korupsi; bagi politisi prioritasnya adalah kriminalitas, dan penegakan hukum. Pada sisi yang lain, isu kriminalitas, dan penegakan hukum berada jauh di bawah prioritas masyarakat, sama seperti fakta bahwa isu korupsi bukanlah prioritas utama bagi para politisi.

Data ini dapat membantu kita memahami kemarahan publik. Para politisi yang egois bergegas demi dirinya sendiri mengesahkan RUU yang melemahkan KPK, dan dalam prosesnya secara sengaja tidak mengacuhkan aspirasi warga negara. Pada saat yang sama, mereka memprioritaskan revisi terhadap KUHP yang mana hanya sedikit pihak yang menguatirkan isu kriminalitas, dan keamanan. Revisi terhadap KUHP yang menguntungkan bagi mereka, meliputi ‘pasal penghinaan’ terhadap presiden, dan parlemen yang tidak jelas dalam mendefinisikan apa itu ‘penghinaan’. Kedua revisi UU tersebut melindungi para politisi dari pengawasan, dan kritik publik, serta memperburuk “defisit akuntabilitas dari pejabat terpilih” di Indonesia.

Respons para politisi terhadap reaksi ini memberi kesan terhadap ketidakmampuan mereka dalam memahami, atau berempati dengan keluhan dari pemrotes. Saat tulisan ini dibuat, parlemen telah setuju untuk menunda — bukan membatalkan — revisi terhadap KUHP. Jokowi juga masih belum membatalkan UU-KPK yang baru. Anggota partai Jokowi juga secara terbuka mengkritik ide pembatalan UU-KPK ini, karena dianggap tidak menghormati otoritas dari parlemen.

Presiden secara umum menolak tuntutan dari aksi mahasiswa, dan meminta para mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya melalui jalur hukum serta menggugat UU yang dipermasalahkan di Mahkamah Konstitusi. Pemerintah terus berupaya untuk mendelegitimasi para pemrotes dengan menyalahkan mereka sebagai “aktor anarkis” yang bertujuan bukan untuk melindungi demokrasi Indonesia, tetapi menurunkan Jokowi. Padahal di lapangan lebih banyak bukti mengenai kekerasan, dan represi yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Sekarang sudah lebih dari seminggu sejak demonstrasi dimulai, dan para mahasiswa serta aktivis lainnya tidak lagi sekadar memprotes konten dari UU yang tidak demokratis. Mereka juga memprotes cara pemerintah merespons aksi tersebut. Lebih penting lagi, warga Indonesia dari kedua spektrum politik yang terbelah dapat bersatu untuk melawan apa yang mereka lihat sebagai ‘kelas politisi’, dan ‘sistem politik’ yang telah gagal merepresentasikan kepentingan orang banyak mengenai transparansi, dan akuntabilitas.

Sekarang, tergantung Jokowi untuk memilih apakah ia akan berpihak kepada sistem tersebut, atau dengan para warga negara yang berusaha mengubahnya.

Tulisan ini pertama kali terbit dengan judul “Indonesia’s pro-democracy protests cut across deep political cleavages” di New Mandala.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.