Demonstrasi tanpa Pemimpin

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
4 min readOct 9, 2019

Oleh Hatib Abdul Kadir

Ilustrasi oleh Laeticia Viorentine

Maret 2017, ketika musim semi baru tiba, tepat dua bulan setelah pelantikan Donald Trump, ratusan ribu manusia menyemut turun ke jalan di kota-kota besar Amerika Serikat. Mereka melakukan rally Hari Perempuan, “Women’s March”.

Di tengah menyelesaikan studi doktoral, saya ikut berjejal-jejal di antara mereka.

Belasan ribu manusia berkumpul di Oakland hingga siang. Lantas, dilanjutkan menuju San Francisco (SF). Kereta-kereta bawah tanah penuh dengan pendemo. Ketika di SF, jumlah manusia membengkak. Kami melakukan pawai di jalanan utama hingga pukul 10 malam. “Women’s March” adalah demonstrasi model terkini, tidak ada penggerak utama. Semuanya berangkat dari kemarahan atas terpilihnya pemimpin demagog yang punya bertumpuk kasus pelecehan seksual, Donald Trump.

Saat ini dan ke depan, kita akan menyaksikan gerakan protes sosial tanpa pemimpin di belahan dunia Amerika, Afrika Utara, Timur Tengah, hingga Asia Timur. Masyarakat demokrasi mulai mendefinisikan relasi sosial mereka. Mereka mengkritisi pemimpin sentralistis, organisasi vertikal dengan figur karismatik, dan institusi birokrasi yang menjadi belenggu partisipasi mereka dalam kehidupan politik. Protes terhadap hierarki politik itu ditranslasikan dalam gerakan protes sosial.

Tingginya krisis kepercayaan terhadap pemimpin diejawantahkan oleh masyarakat dengan tidak menetapkan satu pemimpin dalam gerakan protes. Para demonstran melihat penggerak demonstrasi justru mirip dengan pemimpin otoriter. Menariknya, jikapun ada seorang pemimpin, dia harus ditutupi topeng seperti Subcomandante Marcos dalam gerakan komunitas Zapatista di Meksiko. Topeng tersebut dapat dikenakan siapa pun. Namun, kita tidak pernah tahu siapakah sesungguhnya di balik topeng tersebut. Bisa jadi dia adalah seorang transgender, gay, atau bahkan seorang perempuan.

Di Amerika, “Black Lives Matter” (BLM), “Me Too Movement”, hingga “Women’s March” adalah sekian gerakan protes sosial yang tidak menempatkan salah satu tokoh individu yang dianggap sebagai motor penggerak demonstrasi. Fenomena itu juga terjadi secara global. Gerakan protes tidak lagi mempunyai figur sentral seperti Che Guevara, Martin Luther King, Fred Hampton, dan Nelson Mandela.

Contoh paling nyata adalah “Arab Spring”, gerakan demonstrasi menentang para pemimpin otoriter Timur Tengah dari Tunisia, Mesir, hingga Libya. Asef Bayat dalam bukunya, Revolution without Revolutionary (2017), menunjukkan perbedaan gerakan “Arab Spring” dan “Revolusi Iran” yang menjadikan Khomeini sebagai figur sentral gerakan. “Arab Spring” merupakan gerakan spontan dari kaum lumpenproletariat atau pekerja sektor informal seperti pedagang buah, pakaian bekas, kaum miskin kota, anak muda, hingga penganggur. Mereka berbagi mimpi serupa tentang kehidupan yang diinginkan. Beberapa waktu hal serupa terjadi pada gerakan protes anak-anak muda di Hongkong terhadap integrasi Tiongkok. Serta, yang paling akhir tentu saja gerakan protes mahasiswa Indonesia dan siswa STM di Jakarta terhadap berbagai RUU.

Teori Konspirasi dalam Gerakan Protes di Indonesia

Gerakan menentang RUU mungkin memang benar ada elite politik oligarki yang menunggangi. Namun, tidak menutup kenyataan bahwa hal tersebut diawali dari emosi kolektif masyarakat yang telah menumpuk terlebih dahulu. Mereka yang percaya ada para penunggang di balik gerakan protes belakangan ini cenderung berpandangan pada teori konspirasi.

Tom Nichols, The Death of Expertise (2014), menunjukkan teori konspirasi mirip dengan takhayul (superstitious) karena memanipulasi bukti-bukti nyata yang kompleks dengan merapikan fakta dalam satu penjelasan rapi dan runtut. Teori konspirasi menarik bagi orang awam karena ia cermin moral panik. Dalam situasi yang berubah cepat, orang awam sering berkesimpulan bahwa dari semua kekacauan, ada aktor ”utama” yang berada di balik layar. Teori tersebut menyenangkan bagi mereka yang tidak sabar dengan kompleks dan kacaunya fakta lapangan. Namun, teori itu sekaligus menciptakan ketakutan pada diri sendiri karena aktor utama tersebut dipercaya memiliki kekuatan super yang mampu menyetir pilihan hidup kita.

Tuduhan gerakan protes mahasiswa sebagai ditunggangi jelas merupakan bagian dari teori konspirasi. Tidak adanya pemimpin pemersatu menunjukkan bahwa gerakan itu lahir dari kolektivitas perasaan antarmanusia yang tidak saling terhubung satu sama lain, tetapi mempunyai struktur perasaan yang sama. Struktur perasaan (structure of feeling), meminjam istilah Raymond Williams seorang ahli cultural studies Marxist, muncul dari kesamaan akan perasaan terpinggirkan, tekanan terhadap kebebasan, terbatasnya akses, hingga rasa frustrasi melihat paparan (exposure) segelintir elite korup dan berfoya-foya.

Kesamaan perasaan itu bergerak dan berhubungan satu sama lain. Kemunculan gerakan protes menjadi proses mimetik. Ia tercipta, kemudian ditiru di tempat lain, lantas berkembang ke berbagai arah dengan tidak linier. Saat ini kita menyaksikan pemimpin protes tidak menjadi orkestra gerakan, tetapi hanya menjadi operator sederhana dalam kumpulan manusia (multitude).

Gerakan saat ini seperti konser atau siulan para budak di perkebunan kapas Amerika. Dengan lirik-lirik berkodenya, para budak saling mentransfer pesan. Panggilan (calls), dan tanggapan (responses), keduanya bersifat saling menyahut. Namun, antara si pemanggil, dan yang menanggapi setara dan tidak berjarak. Akhirnya mereka saling berpartisipasi membentuk ritme nyanyian bersahutan dan sinkron dari Jogjakarta, lantas Malang, lalu Jakarta, Surabaya, Kendari, Ternate, hingga Wamena.

Tulisan ini pertama kali terbit di Jawa Pos.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.