#GejayanMemanggil : Gerakan Sosial dalam Pandangan Sites of Memory

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
4 min readOct 30, 2019

--

Oleh Achmad Sofyan

Ilustrasi oleh Laeticia Viorentine

“Gerakan sosial adalah tantangan kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang mempunyai tujuan, dan solidaritas yang serupa, dalam konteks interaksi konfrontatif melawan kelompok elite, lawan, dan penguasa.”

Kalimat Tarrow dalam buku Social Movements and Contentious Politics di atas menjadi landasan awal opini dalam tulisan ini. Teori Tarrow yang merupakan bagian dari ‘teori gerakan sosial baru’ meninggalkan bentuk gerakan sosial lama yang berkarakteristik sebagai gejala penyimpangan (deviant), irasional, dan dianggap sebagai penyakit sosial.

Gerakan sosial baru yang berkembang sejak 1960 sampai 1980-an lebih dipandang sebagai hal positif yang kelahirannya didasari oleh alasan rasional yang mendorong proses demokratisasi dalam hal memperjuangkan hak-hak sipil, gerakan anti kolonial, dan rasial. Hal inilah yang menjadikan gerakan sosial baru meninggalkan pertanyaan ‘mengapa’, dan menggantinya dengan pertanyaan ‘bagaimana’: organisasi sosial tidak saja berjuang demi kepentingan dan tujuan-tujuannya, tetapi pembahasannya juga termasuk strategi dan taktik yang akan dijalankan.

Selanjutnya mari kita masuk ke dalam aksi #GejayanMemanggil yang sudah berlangsung dua jilid. Kalimat Tarrow di atas tentang gerakan sosial model baru mencerminkan aksi #GejayanMemanggil. Gerakan yang menuntut tujuh tuntutan dalam jilid pertama, kemudian berkembang menjadi sembilan tuntutan pada jilid kedua hadir akibat kesamaan sikap dalam memperjuangkan hak-hak sipil yang didasari oleh alasan-alasan yang rasional.

Perubahan pertanyaan dari ‘mengapa’ menjadi ‘bagaimana’ kemudian menjadi memfokuskan gerakan kepada strategi yang digunakan oleh aksi #GejayanMemanggil. Aliansi Rakyat Bergerak menyusun ‘bagaimana’ aksi ini agar dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran.

Beragam pilihan tersedia, mulai dari bakar ban, atau pos polisi, melumpuhkan kegiatan ekonomi, melumpuhkan objek vital pemerintah, dan beragam aksi lain. Aksi ini mengambil posisi nirkekerasan dan mengedepankan sisi humanis dalam menyuarakan pendapatnya. Parade mahasiswa membawa poster, orasi perwakilan dari tiap titik kumpul kampus, kesigapan tenaga medis di lapangan, serta keikhlasan relawan kebersihan yang menyisir satu demi satu sampah nyatanya menjadi strategi yang baik dan efektif untuk mengemukakan aspirasi, dan yang jauh lebih penting memberikan pendidikan politik kepada masyarakat sekitar.

Pilihan bentuk aksi nirkekerasan semacam ini mengingatkan kita ke masa demonstrasi Orde Lama. Contohnya, aksi Tritura yang berisi tiga tuntutan (pembubaran PKI dan ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga kebutuhan pokok) oleh ribuan demonstran angkatan 1966. Soe Hok Gie, selaku tokoh demonstran saat itu memberikan contoh bagaimana demonstrasi nirkekerasan dapat menjadi saluran alternatif lain.

Diskusi dan kajian masif dilakukan bersama Herman Lantang, Aristides, Jopie Lasut, dan beberapa kawan lain dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) saat itu melakukan diskusi mengenai perkembangan politik di Indonesia. Mereka membuat selebaran dan menempelnya di gerbong kereta Stasiun Gambir yang bergerak menuju Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan tujuan menyebarkan gagasan mereka ke daerah.

Pertanyaan kemudian, kenapa gerakan #GejayanMemanggil memilih demonstrasi nirkekerasan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita masuk ke dalam pemahaman ‘sites of memory. Pierre Nora, sejarawan asal Prancis, mengemukakan ‘sites of memory sebagai pertemuan antara sejarah dan memori. Nora mengembangkan gagasan Maurice Halbswach, sosiolog Prancis, yang mengenalkan konsep memori kolektif. Halbswach mengatakan bahwa setiap orang memiliki ingatan individu, dan kelompok, sehingga interaksi sosial baik pribadi maupun kelompok menentukan bagaimana seorang mengingat pengalaman dari masa lalu dan apa yang diingatnya.

Hal inilah yang kemudian menjadi dasar Nora dalam mengemukakan teori ‘sites of memory’. Teori ini menyubordinasikan antara yang-embodied (memori yang bersifat menubuh pada individu, atau sekelompok orang), dan yang-embedded (sejarah yang menempel pada seseorang, atau sekelompok orang). Hasil subordinasi dari keduanya menghasilkan penanda ingatan masa lalu sebagai sebuah memori, tetapi tetap dalam kuasa sejarah. Hal ini membuat memori tidak lagi bersifat spontan, tetapi menjadi bagian dari ‘duty of remember’.

Artinya, secara tidak langsung aksi #GejayanMemanggil telah membuat suatu peristiwa (momen) menjadi sebuah ‘monumen’ yang akan diingat oleh individu, dan kelompok sebagai sebuah memori. Hal ini memungkinkan aksi #GejayanMemanggil juga sangat bisa ditulis sebagai salah satu sejarah alternatif gerakan sosial demonstrasi di masa mendatang, yaitu sebuah gerakan nirkekerasan yang menyajikan sisi humanis dalam pelaksanaannya.

Tidak ada yang salah dengan demonstrasi. Tidak ada yang salah dengan mengemukakan pendapat. Tidak ada yang salah dengan gerakan turun ke jalan. Yang salah adalah tindakan represif aparat keamanan serta provokasi negatif terhadap pergerakan.

Terakhir, saya mengutip lirik Morgue Vanguard dalam lagu “Kontra Meurta”:

“Akan datang hari di mana melawan penindasan adalah kesia-siaan

Akan datang zaman yang akan memberi karpet merah bagi despot, rezim, tiran, fir’aun dan segala kata macam gantinya

Akan tiba waktu di mana setiap orang menjilat pantat kekuasaan dan berpura-pura menjadi pahlawan

Akan selalu ada mendung bergelayut, kala dibantai tanpa ujung, kala mengalah, kala hidup tak berarti apapun, dan kala kematian datang.

Kita bisa percaya bahwa kanker kekalahan menempel pada paru-paru takdir, serupa nikotin

Dan pada akhirnya akan ada waktu berpetualang berakhir

TAPI TIDAK HARI INI

Niscaya terbungkam, tidak hari ini

Langit pasti menutup, tapi tidak hari ini

Detaknya akan berdiri, rangkul kawan kalian kanan kiri

Gelap pasti kan datang, TAPI TIDAK HARI INI.”

Referensi

Budiawan, ed (2015). Sejarah dan Memori : Titik Simpang dan Titik Temu. Yogyakarta : Ombak.

Matulessy, Andik. (2013). Political Efficacy, Political Trust dan Collective Self Esteem dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa. Jurnal Penelitian Psikologi Vol. 04, №01. Hal. 89. http://jurnalpsikologi.uinsby.ac.id/index.php/jurnalpsikologi/article/view/16/9

Listiyawan, I. (2019). Soe Hok Gie, dan Strategi Kritik Mahasiswa pada Pemerintah. Diambil dari https://www.indonesiana.id/read/122532/soe-hok-gie-dan-strategi-kritik-mahasiswa-pada-pemerintah.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.