#GejayanMemanggil: Perihal Panggilan Moral Kaum Intelektual Publik di Tengah Aktivisme Kemanusiaan

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
9 min readOct 9, 2019

Oleh Hardy Baslon

If structural conduciveness exists,

And if structural strain exists,

And if an appropriate generalized belief exist,

And if precipitating factors occur,

And if the participants can be mobilized to action,

And if social control fails to stop the event,

Then collective behavior will occur.

-Neil Smelser-

#GejayanMemanggil

Nama Gejayan kembali mencuat ke tengah publik sejak tagar #GejayanMemanggil beredar ramai di media social beberapa hari sebelum massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak turun ke jalan pada Senin, 23 September 2019. Massa yang terdiri dari beberapa kelompok mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta maupun masyarakat, berbondong-bondong menuju titik kumpul di pertigaan Jalan Colombo-Gejayan. Aksi tersebut merupakan bentuk lain dari panggilan moral bagi setiap anak bangsa untuk menyatakan protes sosial dalam menanggapi beberapa kejanggalan berdemokrasi di Negara Republik Indonesia. Beberapa kejangggalan tersebut terbaca oleh publik di dalam penyusunan regulasi perundang-undangan yang mengekang hak-hak hidup rakyat Indonesa. Adapun hal-hal yang dituntut dalam aktivisme tersebut, antara lain: RKUHP yang dinilai represif dan merongrong ruang privat rakyat; pengesahan UU KPK yang dinilai dapat melemahkan otoritas kerja dan independensi KPK; RUU Ketenagakerjaan dan RUU Pertanahan yang merugikan rakyat; RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung disahkan; kerusakan lingkungan di wilayah Kalimantan dan Sumatera; serta kriminalisasi terhadap para aktivis di beberapa sektor.

Berdasarkan hasil pembacaan tersebut, ada indikasi bahwa ruang demokrasi sedang dibungkam, reformasi dikorupsi, KPK dikebiri, dan RKUHP mengancam hak asasi manusia setiap warga negara. Bagi mereka, kebijakan-kebijakan negara yang lahir dari tubuh agen-agen politik telah menafikan eksistensi warga negara di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkinkah kita layak menyebutnya sebagai bentuk lain dari representasi karya anak-anak bangsa? Tidak! Semua itu tidak lebih dari sebuah usaha menggarap prestise di penghujung masa kerja DPR-RI periode 2014–2019. Ini adalah fakta bahwa iklim demokrasi kita cenderung pro terhadap kaum elit politik karena tidak melibatkan rakyat dalam menciptakan kebijakan negara agar nama mereka yang diangung-agungkan terselamatkan dan praktik korupsi tidak tercium oleh publik. Dengan demikian, rakyat hanya menjadi objek-objek mati yang dipajang di etalase negara dan para agen politik adalah subjek utama dalam seluruh aktivitas demokrasi.

Demonstrasi Sebagai Aktivisme Kemanusiaan: Bentuk Lain dari Cara Berpikir Dialektis

Demonstrasi adalah salah satu kategori gerakan sosial yang dilakukan oleh sekelompok orang di hadapan umum. Demonstrasi sebagai tindakan kolektif adalah simbol kebebasan berekspresi warga negara untuk menyatakan pendapat dan tuntutan yang di dalamnya terkandung kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah maupun institusi lainnya, yang dinilai cacat secara moral karena hanya mengedepankan kepentingan kaum elit lalu mengabaikan hak-hak hidup banyak orang. Di Negara Republik Indonesia, yang katanya demokratis ini, demonstrasi atau unjuk rasa telah menjadi hal yang umum dilakukan sejak jatuhnya rezim kekuasaan Orde Baru milik Soeharto pada 1998. Berkaitan dengan hal tersebut, aktivisme #GejayanMemanggil dapat dikatakan sebagai gerakan sosial yang mengatasnamakan kemanusiaan. Ia adalah bentuk lain dari cara berpikir dialektis warga negara di tengah wacana dan praktik hegemoni lembaga negara yang berusaha melanggengkan kekuasaannya sambil memproduksi manusia-manusia patuh agar tidak ada perlawanan dari bawah (baca: rakyat kecil).

Sebagai bentuk gerakan sosial, aktivisme tersebut sesungguhnya sedang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Munculnya perilaku sosial jenis ini tentu saja didorong oleh situasi politik yang menyebabkan rakyat merasa stres, tertekan, dan cemas dengan hari esok saat kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan moral bangsa ada di ambang batas kehancuran. Bersamaan dengan kesadraan kritis terhadap berbagai fenomena yang tidak beres dalam tatanan social, mereka terdorong untuk melakukan perlawanan dalam bentuk penyampaian protes di muka umum agar aspirasi rakyat yang merasa dinafikan dalam kehidupan berdemokrasi di negara ini dapat terartikulasikan. Harapannya adalah tuntutan mereka dapat didengar dan ditindaklanjuti demi keadilan sosial bagi selutuh rakyat Indonesia. Lantas, kenapa sebagian aktivisme jenis ini sering berujung rusuh dan dianggap “anarkis”?

Dengan membaca aksi protes dari kelompok demonstran yang secara substansial berbenturan dengan apa yang diperjuangkan oleh kepentingan kaum elit, termasuk “kondusivitas struktural” yang mengekang, maka “rusuh” dan “anarkis” adalah hasil akhir yang tidak diharapkan. Jika ditelusuri lebih dalam, di satu sisi, aktivitas protes di muka umum adalah ekspresi kesadaran kritis atau dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari cara berpikir dialektis atas rekaman fakta tentang adanya ketidakadilan struktural yang diciptakan para elit politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Michel Foucault dalam hubungannya dengan konsep parrhesia (berani berkata benar), para demonstran tidak serta-merta dilihat sebagai kelompok manusia yang dipaksa berbicara, tetapi lebih merupakan ketergerakan nurani atas kewajiban untuk berani berkata benar di hadapan mitra wicaranya, yakni para elit politik di tampuk rezim pemerintah yang menyukai hal-hal yang koersif. Di balik aktivisme yang sering dinalar secara timpang tersebut terkandung panggilan moral untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Dalam keberanian untuk berkata benar tentu saja terdapat koinsidensi yang presisi antara kepercayaan (belief) dan kebenaran (truth). Mereka menaruh kepercayaan di benaknya masing-masing bahwa ada kebenaran terselubung di balik semua regulasi yang lahir dari kebijakan-kebijakan negara yang sarat akan kepentingan pribadi maupun korporasi gelap sehingga dapat membahayakan masa depan rakyat. Tentu saja, keberanian berkata benar jenis ini lahir dari berbagai pembuktian yang dapat dijumpai di dalam pengalaman hidup sebagai rakyat yang direpresi bersamaan dengan kesadaran kritis bahwa negara sedang tidak baik-baik saja.

Di sisi lain, elit politik hadir bersama sejumlah kebijakan yang berseberangan dengan kepentingan rakyat sebagai antagonisnya. Dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai agen kontrol sosial dalam setiap tahapan proses, untuk mencegah terjadinya perlawanan sebagai reaksi, negara menempatkan beberapa aparatusnya sebagai penjamin keberlangsungan hegemoni negara. Jika ditempatkan dalam konteks pemikiran Louis Althusser, ini adalah cara negara menginterpelasi rakyatnya untuk turut serta melegitimasi ideologi yang tertanam di dalam berbagai bentuk kebijakan versi rezim yang sedang berkuasa. Dengan cara demikian, berbagai bentuk represi menjadi samar-samar atau tak terpikirkan asal mula dan tujuannya karena sifatnya yang tak kasat mata. Dalam hal ini, tokoh-tokoh agama, komunitas, institusi pendidikan (sekolah dan kampus), dan berbagai lembaga yang bernaung di bawah kekuasaan negara juga turut melanggengkan dominasi negara dalam berdemokrasi. Dengan kata lain, mereka berperan aktif dalam mereproduksi sikap tunduk dan patuh pada setiap massa yang ada di bawah kendalinya, meskipun masa depan bangsa ada dalam posisi terancam.

Celakanya, dalam pandangan mereka, perilaku aksi protes yang ditampilkan — terlepas dari adanya tunggangan kepentingan kelompok terntentu yang ingin membatalkan pelatikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019–2014, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, serta ada indikasi kerusuhan dan sikap anarkis — justru bertentangan dengan nilai-nilai sosial versi penguasa, karena itu perilaku tersebut sering dipandang secara timpang sebagai perbuatan radikal yang “terkutuk”. Bagi mereka, memperjuangan nilai-nilai kemanusiaan seyogianya harus bertautan dan berkelindan dengan nilai-nilai sosial agar dapat diterima dan bahkan diberi apresiasi sebagai kumpulan manusia patuh dan berakhlak mulia. Tanpa ada kesadaran kritis, mereka justru terjebak pada cara berpikir konservatif versi penguasa yang terus mereproduksi nilai-nilai sosial untuk menghasilkan tatanan masyarakat yang patuh secara buta terhadap segala bentuk regulasi yang represif.

Pada titik ini, semangat membangun kesadaran kritis bagi semua orang yang menamakan diri sebagai rakyat Indonesia menjadi mutlak perlu agar kekuatan massa menjadi semakin solid dan masif. Lalu siapa yang diharapkan untuk membangun kesadaran kritis tersebut?

Mempertanyakan Panggilan Moral Intelektual Publik

Setelah aksi #GejayanMemanggil berakhir, berbagai tanggapan terhadapnya pun mulai dilontarkan, entah melalui media sosial maupun berbagai bentuk diskusi ringan. Terlepas dari berbagai klaim tentang berhasil atau tidaknya aksi tersebut, pada bagian ini, saya secara khusus menaruh perhatian pada beberapa tudingan yang sangat memprihatinkan. Ada yang menudingan bahwa aksi tersebut telah ditunggangi oleh berbagai kepentingan di luar substansi yang sedang diperjuangkan. Ada juga yang menaruh pesisime bahwa aktivisme tersebut adalah sia-sia karena kebanyakan peserta aksi tidak mengetahui secara pasti duduk persoalan yang diperjuangkan sehingga sulit menggugah kemapanan berpikir para elit politik. Bahkan ada juga yang memilih untuk berdiam diri hanya karena belum sampai pada pengetahuan yang memadai tentang apa yang sedang diperjuangkan. Pertanyaannya adalah: apakah kita rela menerima semua tudingan tersebut sebagai kegagalan berpolitik? Apakah kita patut berdiam diri hanya karena tidak mengetahui substansi persoalan, sedangkan masa depan demokrasi sedang diancam?

Dalam hemat saya, aktivisme #GejayanMemanggil tetap berkedudukan sebagai panggilan moral bagi setiap anak bangsa untuk menyuarakan ketidakpuasannya terhadap berbagai kebijakan elit politik yang tidak prodemokrasi. Paling tidak aktivisme tersebut telah berhasil menciptakan kesadaran kritis bagi banyak orang yang menyaksikannya secara langsung maupun dari hasil pantauannya terhadap beberapa berita yang diekspos oleh berbagai media lokal maupun nasional. Pada akhirnya, sebagaian besar rakyat tahu bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami masalah yang akut. Para elit politik menafikan kesejahteraan warga negara dan cenderung egosentris, ruang privat ditelanjangi, dan hak-hak hidup sebagai warga negara dikendalikan oleh para penguasa. Dampaknya, ketika berhadapan dengan birokrasi di dalam kehidupan berdemokrasi, kita akan selalu menjadi budak regulasi. Dan, di sana ada konflik kepentingan antara pejabat birokrasi dan masyarakat sipil.

Bagi saya, #GejayanMemanggil telah berhasil mengartikulasikan kegelisahan rakyat Indonesia serta mampu merepresentasikan bentuk lain dari intelektual publik; atau sederhananya mereka sedang belajar menjadi intelektual publik yang sesungguhnya di saat masa depan bangsanya sedang ada dalam proses pemberangusan. Akan tetapi, dalam proses pembelajaran tersebut kita semua butuh intelektual publil yang sejati. Siapakah yang dapat dikategorikan sebagai intelektual publik yang sejati tersebut? Ini merupakan pertanyaan krusial manakala kebanyakan rakyat merasa kehilangan sosok yang dapat dijadikan sebagai panutan dalam proses menjadi maupun regenerasi intelektual publik. Tidak ada yang secara terbuka mendukung aktivisme dalam hal fasilitasi dan mobilisasi motivasi serta kehendak kuat mereka dalam menciptakan perubahan sosial.

Sebagai peserta didik yang selalu dicekoki berbagai macam teori kritis dalam rangka memperkaya ilmu pengetahuan tanpa aktivasi ataupun implementasinya di dalam praktik hidup harian, saya merasa gagal menjadi mahasiswa. Membangun fondasi bagi sikap dan kesadaran kritis di ruang kuliah, tetapi tidak dilibatkan secara aktif dalam menyatakan sikap di tengah keresahan dan kegamangan yang dialami oleh masyarakat di depan mata adalah hal yang ilusif dan sia-sia belaka. Proses perkuliahan tidak lebih dari reproduksi kepatuhan yang mengabaikan penderitaan orang lain. Ia hanya menjadi ajang kompetisi pengetahuan antarmahasiswa untuk mengejar prestasi atau hanya menjadi ladang melahap ilmu pengetahuan tanpa harus menyatakan sikap kritis di muka umum karena dianggap membahayakan masa depan kampus maupun zona aman di pusaran para elitnya. Bentangan karpet merah yang memberi kenyamanan di setiap pijakan kaki menuju masa depan maupun balutan hawa sejuk di dalam menara gading telah membuat kita semua lupa bahwa ada ancaman badai di luar sana. Eksistensi kita direduksi hanya sebatas menjadi onggokan daging di atas tulang-belulang yang menari-nari di atas ketidak-adilan sosial.

Jika kepatuhan buta terus di(re)produksi di setiap institusi pendidikan, niscaya sikap kritis para peserta didik akan mati. Dengan demikian, intelektual publik yang kritis terancam punah dan regenerasinya menjadi sesuatu yang mustahil terjadi. Tentu saja masih ada sisa-sisa dari mereka yang terancam punah itu tetap menunjukkan taringnya di hadapan regulasi yang mengekang. Akan tetapi, di saat yang sama, mereka ada dalam sebuah ranah ke-di-antara-an (in-betweeness) untuk mengatakan “ya” sekaligus “tidak” pada setiap tuntutan nuraninya. Keadaaan inilah yang kadang melahirkan disposisi batin dan kegamangan berpikir untuk menentukan sikap. Lantas kita bertanya: apakah kita mutlak perlu tunduk atau diam di balik kepatuhan itu demi menjaga zona aman masing-masing individu? Hemat saya, sikap jenis ini adalah petaka yang berujung pada (re)produksi nalar timpang yang kaya secara teoretis, tetapi minim dan bahkan nihil dalam praktik.

Lalu bagaimana kita menyikapinya? Di satu sisi, kita wajib — perlu digarisbawahi bahwa saya tidak sedang berpretensi untuk menjadi intelektual publik yang sejati — mencari peluang untuk berani keluar dari zona aman di balik menara gading dan karpet merah yang memberi jaminan kesejahteraan pribadi di masa depan. Tujuannya adalah hanya sekedar membangun konsolidasi bersama mereka yang berjuang keras tanpa peduli pada setiap tetesan peluh dan air mata di bawah teriknya matahari agar mereka dapat menjadi kuat dan tak hilang pengharapan karena merasa didukung oleh banyak pihak. Ini adalah prakondisi awal yang memungkinkan kita untuk menciptakan wadah yang mampu menampung lalu menyaring berbagai macam aspirasi massa, termasuk aliansi-aliansi dan kelompok sosial yang ada demi menghindari polarisasi kekuatan perlawanan sambil tetap menjaga semangat juang yang sama dalam menuntut keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di sisi lain, untuk menindaklanjuti semuanya itu, kita butuh keterlibatan aktor-aktor potensial yang mampu menjelaskan pokok persoalan secara logis dan rasional. Dalam hal ini, kehadiran mereka mampu mempertegas kepercayaan dan kebenaran yang terekam dalam kesadaran kritis massa partisipan yang memiliki kepedulian yang sama pada pentingnya gerakan sosial untuk menuntut keadilan dan hak-hak hidup banyak orang. Kehadiran mereka juga menjadi penting untuk menjamin keberhasilan beraspirasi sambil menghindari terjadinya hal-hal yang dituduh sebagai tindakan “rusuh” dan “anarkis”. Jangan sampai ketegangan struktural di antara kedua belah pihak (massa dan para elit bersama aparatusnya) tersebut dibaca sebagai perang pembelaan diri untuk mendapat simpati publik. Ini sama saja dengan meruntuhkan wibawa perjuangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, kehadiran mereka juga menjadi penyedia akses menuju negosiasi di dalam tubuh kekuasaan politik karena memiliki jaringan di pusaran para elit. Bersama mereka, kita diberi ruang dialog untuk bernegoiasi dengan para pengambil kebijakan agar aspirasi yang diusung dapat ditanggapi secara langsung sambil berharap bahwa tuntutan rakyat didengar dan dilaksanakan demi keberlangsungan hidup yang lebih demokratis di hari esok.

Sebagai catatan akhir, sembari mengingat #GejayanMemanggil-II pada Senin, 30 September, saya mengajak kita semua untuk berani keluar dari zona aman kita masing-masing karena kemanusiaan kita sedang diusik, dan negara kita sedang tidak baik-baik saja. Tanamkan ini di isi dadamu! Saya, kamu, dan mereka adalah kita yang sedang merajut tekad untuk berani berkata benar kepada dunia. Sudah cukup kita tidur pulas bersama sejuta jaminan kesejahteraan yang egosentris di balik ketidak-adilan social. Bangun! Turun! Lawan!

Wake me up when September ends — Green Day

Salam waras!

Proletar Bebas

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.